Unknown's avatar

Kampung Dzikir di Turki

Syekh Muhammad al-Madani (ق)

Sultan Abdul Hamid, Sultan Kekhalifahan Utsmaniyah, adalah seorang pengikut Thariqah Naqsybandiyah, dan beliau mengambil bai‘at dari Syekh Muhammad al-Madani (ق). Sultan memberinya kebebasan untuk memilih sebidang tanah mana pun di Istanbul untuk membangun sebuah zawiyah bagi Thariqah dan rumah untuk dirinya. Namun beliau menjawab, “Pilihan itu bukan urusan kita, melainkan urusan Hadirat Ilahi.” Maka beliau menunggu hingga keesokan harinya, dan Sultan Abdul Hamid datang dengan penuh semangat untuk mendengar jawabannya. Syekh Muhammad al-Madani (ق) berkata kepadanya, “Wahai anakku, Allah telah menunjuki aku pada suatu tempat dari mana Thariqah Naqsybandiyah akan berkembang. Di sanalah para pengikut tulus dari Daghestan akan berada, dan di sanalah Thariqah Naqsybandiyah akan tumbuh, serta di sanalah keponakanku akan menerima wewenang Thariqah.” Sang Sultan pun berkata, “Apa pun yang telah engkau putuskan, aku akan menaati keputusanmu.”

Keesokan harinya, Abu Muhammad al-Madani (ق) berkata kepada Sultan, “Kirimlah aku ke Yalova. Antara Yalova dan Bursa adalah tempat yang kutuju.” Sultan pun mengatur sebuah kereta kuda untuk membawanya ke mana pun beliau ingin pergi. Ketika beliau sampai di daerah Yalova, beliau membiarkan kuda-kuda itu berjalan sesuka mereka. Mereka berhenti di suatu tempat dekat Orhangazi. Di sana, di tengah hutan, beliau membangun rumah pertama dari kayu. Tak lama kemudian, 680 rumah telah berdiri di hutan itu. Tempat itu kemudian dinamakan Rashadiya, diambil dari nama Sultan Rashad, dan kini dikenal sebagai Gunekoy.

Semua pendatang yang datang dari Siberia dan dari Kaukasus pindah ke kampung tersebut, tempat di mana Syekh Muhammad al-Madani (ق), juga Syekh Syarafuddin (ق) dan Syekh `Abdullah (ق) berada. Suatu ketika, orang-orang datang mengadu kepada Syekh Muhammad al-Madani (ق), “Bagaimana kami akan makan? Tidak ada apa-apa di sini.” Beliau menghentakkan kakinya ke tanah, dan di tempat beliau menghentakkan kaki ditemukan tambang tanah liat dan bijih besi. Pada saat yang sama, sebuah pohon tumbang. Dengan tanda-tanda ini, beliau menunjukkan kepada mereka bahwa mereka akan mencari penghidupan melalui pertambangan tanah liat dan besi, serta memanen kayu. Tak lama kemudian, telah berdiri 750 rumah, dua masjid, dan satu sekolah yang memiliki enam belas ruangan untuk pendidikan anak-anak.

Beberapa tahun kemudian, saat terjadi Perang Balkan, pasukan Yunani dan Serbia yang sedang memerangi Turki datang ke kampung ini. Banyak rumah dihancurkan dan banyak penduduk melarikan diri. Setelah serangan itu, hanya tersisa 220 rumah. Namun, tidak ada yang terjadi pada masjid, dan seluruh shalat tetap terus dilaksanakan.

Di kampung itu tidak ditemukan keburukan atau kerusakan. Tidak ada minuman keras, tidak ada perjudian, tidak ada kemaksiatan. Sejak kecil, setiap orang dibesarkan dengan berdzikir. Itu adalah sepotong surga. Semua orang hidup dalam harmoni, berdzikir setiap malam. Itu adalah kampung ideal dan kota ideal. Itulah sebabnya Syekh pernah berkata kepada Sultan Abdul Hamid, “Cahaya akan memancar dari kampung itu.”

Kampung itu dipenuhi berkah. Mereka tidak membutuhkan pasokan dari luar. Kayu tersedia untuk dibakar saat cuaca dingin. Mereka memiliki hewan ternak sendiri dan menanam makanan mereka sendiri. Setiap gerakan dan perbuatan penduduk kampung disertai dengan dzikir. Para ibu menyusui anak-anak mereka sambil berdzikir. Para lelaki bekerja dengan iringan dzikir. Seluruh kampung dipenuhi dengan dzikir. Begitulah cara Syekh Abu Muhammad al-Madani (ق), Syekh Syarafuddin (ق), dan kemudian Syekh `Abdullah ad-Daghestani (ق) membina penduduk kampung. kampung itu kemudian dikenal di seluruh Turki sebagai “Kampung Dzikir.”

Suatu ketika, pada malam ke-27 Ramadhan, malam Lailatul Qadar, beliau memimpin dzikir bersama seluruh penduduk desa.  Beliau berkata, “Semua orang sedang berdzikir. Seluruh hewan pun berdzikir bersama kita.  Cacing-cacing pun berdzikir bersama kita. Burung-burung berdzikir.  Setiap makhluk di desa ini berdzikir bersama kita, kecuali satu hewan yang terpisah dari ayahnya dan sedang dalam kesedihan.  Allah tidak ridha. Nabi ﷺ tidak ridha.  Para wali pun tidak ridha.  Dan semua ini hanya karena gurauan anak-anak!”

Lalu beliau berkata kepada pemilik rumah tempat dzikir itu dilaksanakan, “Pergilah kepada anakmu dan tanyakan apa yang ia simpan di dalam kotak.”  Ia pun pergi kepada anaknya dan bertanya, “Apa yang kau simpan di dalam kotak?  Hewan apa yang kau tangkap?”  Anak itu bingung dan menjawab, “Kotak apa?  Aku hanya punya kotak korek api kecil, dan di dalamnya aku masukkan seekor cacing kecil.”  Lalu dikatakan kepadanya, “Ambillah cacing itu dan kembalikan ke tanah.”

Dari kejadian itu, penduduk desa memahami dan mendidik anak-anak mereka dengan pemahaman bahwa menyakiti makhluk apa pun, sekecil apa pun, akan menyebabkan ketidaksenangan dan kemurkaan dari Allah, dari Nabi ﷺ, dan dari para wali. Karena pengajaran yang sedalam itu, desa tersebut menjadi bersih dan suci dari segala perbuatan salah.

sumber:
The Naqshbandi Sufi Way: History and Guidebook of the Saints of the Golden Chain
oleh Mawlana Shaykh Hisham Kabbani

Leave a comment