
Salah satu murid Syekh Syarafuddin (ق), yang kini berusia 120 tahun dan tinggal di Bursa, yaitu Eskici Ali Usta, meriwayatkan,
“Syekhku adalah seorang yang penuh keajaiban. Suatu ketika, saat aku masih muda, aku berada di Istanbul dan baru saja mengambil bai‘at dalam tarekat dari Syekh Syarafuddin (ق). Aku bertemu dengan salah seorang temanku dari Daghestan, tetapi ia keras kepala dan tidak percaya pada tasawuf. Aku berpikir untuk berbicara padanya, melunakkan hatinya, dan menceritakan karamah-karamah Syekhku. Tetapi justru ia yang berhasil memengaruhiku dan mengubah keyakinanku. Aku gantungkan tasbihku di dinding dan berhenti berdzikir. Hampir seketika itu juga, aku dikuasai oleh hawa nafsuku dan dua kali aku melakukan dosa besar.”
“Setelah satu minggu, aku pergi ke Sirkeci dan melihat Syekh sedang berada di jalan. Beliau juga sedang berjalan di daerah itu menuju Rashadiyah. Ketika aku melihatnya datang dari satu arah, aku berlari ke arah lain untuk menghindarinya. Saat aku bersembunyi di jalan yang lain, aku merasakan ada tangan di punggungku, dan Syekh berkata kepadaku, ‘Mau ke mana engkau, wahai Ali?’ Aku pun kembali bersamanya, dan di perjalanan aku berpikir, ‘Aku tidak bisa lagi menyembunyikan diriku dari Syekh, dan Syekh tidak akan bisa membawaku kembali lagi.’”
Kami terus berjalan hingga kami bertemu seseorang bernama Huseyyin Effendi. Syekh berkata kepadaku, “Ketika engkau pertama kali datang kepadaku, aku memandangmu, dan aku melihat ada akhlak yang buruk dalam dirimu. Setiap orang memiliki akhlak yang baik bercampur dengan akhlak yang buruk. Ketika engkau mengambil bai‘at, semua amal buruk yang telah engkau lakukan sebelumnya aku ubah menjadi amal baik. Kecuali dua hal: nafsu syahwat dan amarah. Minggu lalu, kami telah mencabut dari dirimu dua akhlak buruk itu, yaitu nafsu dan amarah.” Saat beliau menyebutkan dua hal itu, aku tahu bahwa beliau telah menyertaiku dan menyaksikan nafsu serta amarahku. Aku pun mulai menangis dan menangis tanpa henti. Ketika aku sedang menangis, Syekh Syarafuddin (ق) mulai berbicara dengan orang bernama Huseyyin itu dalam bahasa yang belum pernah kudengar sebelumnya, padahal aku berasal dari Daghestan dan mengenal semua bahasa di daerahku. Belakangan aku mengetahui bahwa Syekh Syarafuddin (ق) berbicara dalam bahasa Suryani, sebuah bahasa yang sangat langka.
“Setelah dua jam menangis, beliau berkata, ‘Cukup menangis! Allah telah mengampunimu dan Nabi (ﷺ) telah mengampunimu.’ Aku berkata, ‘Wahai Syekhku, benarkah engkau telah memaafkanku? Benarkah Nabi (ﷺ) telah memaafkanku? Benarkah Allah telah mengampuniku? Benarkah para syekh yang bermata terbuka juga telah memaafkanku? Aku kira apa yang kulakukan itu hanya aku sendiri yang tahu, tapi sekarang aku sadar bahwa kalian semua melihatku.’ Beliau berkata, ‘Wahai anakku, kami adalah para khadam di pintu Nabi (ﷺ) dan pintu Allah. Apa pun yang kami mohon kepada mereka, mereka kabulkan, karena kami berada dalam hadirat mereka dan kami adalah satu.’ Aku bertanya, ‘Sebagai tanda terima kasih dari pihakku, karena aku telah diampuni, apa cara terbaik untuk bersyukur kepada Allah dan menghormati engkau dan Nabi (ﷺ)? Apakah dengan merayakan maulid, menyembelih kambing, atau sedekah lainnya?’ Beliau menjawab, ‘Yang kami inginkan darimu hanyalah satu: agar engkau senantiasa menjaga dzikir dalam Tarekat Naqsybandiyah.’ Inilah yang terjadi padaku bersama Syekh Syarafuddin (ق).”
Salah satu teman Eskici Ali Usta yang telah hijrah bersamanya dari Daghestan pernah menerima sepucuk surat dari Syekh Sharafuddin saat ia masih di Daghestan. Dalam surat itu tertulis, “Tinggalkan Daghestan. Di sana tidak ada lagi spiritualitas. Tempat itu sudah tidak berada dalam Perlindungan Ilahi karena terlalu banyak kezaliman. Datanglah ke sini, ke Turki, ke Rashadiyah.” Orang itu hanya meletakkan surat Syekh Sharafuddin ke samping dan mengabaikannya, sambil berpikir, “Bagaimana mungkin aku meninggalkan seluruh hartaku dan semua yang kumiliki di sini?” Tak lama kemudian, pasukan Rusia menaklukkan kotanya dan mengambil semua miliknya. Saat itulah ia teringat surat yang dikirimkan oleh Syekh. Akhirnya ia berhasil melarikan diri ke Turki dan ke Rashadiyah, namun ia telah kehilangan keluarganya dan harta bendanya akibat keterlambatannya.
sumber:
The Naqshbandi Sufi Way: History and Guidebook of the Saints of the Golden Chain
oleh Mawlana Shaykh Hisham Kabbani