Unknown's avatar

Kisah Pertemuan Pertama Mawlana Syekh Nazim dengan Grandsyekh Abdullah Fa’iz ad-Daghestani

Mawlana Syekh Nazim dalam usia 23 tahun, ketika beliau pertama kali bertemu Grandsyekh `Abdullah.

Syekh Nazim (q) bercerita,

“Aku tinggal bersama Syekh Munir al-Malek selama satu bulan.  Setelah itu, beliau mengatur keberangkatanku ke Homs dan dari Homs menuju Damaskus. Aku tiba di Damaskus pada hari Jumat, tahun 1945 M /1365 H, bertepatan dengan awal tahun Hijriah.  Aku mengetahui bahwa Syekh ‘Abdullah tinggal di daerah Hayy al-Maidan, dekat makam Sayyidina Bilal al-Habashi dan banyak keturunan Ahlul Bait.  Itu adalah kawasan kuno yang dipenuhi peninggalan bersejarah sejak dahulu kala.

Aku tidak tahu rumah yang mana milik Syekh.  Saat aku berdiri di jalan, tiba-tiba aku mendapatkan sebuah penglihatan: aku melihat Syekh keluar dari rumahnya dan memanggilku masuk.  Ketika penglihatan itu berakhir, aku melihat sekeliling, tetapi jalanan kosong.  Saat itu kota sedang dibombardir oleh Prancis dan Inggris.  Semua orang ketakutan dan bersembunyi di dalam rumah. Aku seorang diri di jalanan, merenung dalam hati untuk mengetahui rumah yang mana milik sang Syekh.  Lalu, dalam sebuah penglihatan, aku melihat sebuah rumah dengan pintu yang sangat spesifik.  Aku mencarinya hingga kutemukan pintu itu.  Saat aku mendekat untuk mengetuk, pintu itu langsung terbuka dan Syekh berkata, ‘Selamat datang, anakku, Nazim Effendi.’

Penampilannya yang luar biasa langsung menarik hatiku.  Belum pernah aku melihat seorang Syekh seperti beliau. Cahaya memancar dari wajah dan dahinya.  Kehangatan terpancar dari hatinya dan dari senyumnya yang bersinar.  Beliau mengajakku naik ke lantai atas menuju kamarnya, sambil berkata, ‘Kami telah menunggumu.’”

“Di dalam hati, aku merasa sangat bahagia bisa bersamanya, tetapi aku juga merasakan kerinduan yang mendalam untuk mengunjungi Kota Suci Nabi ﷺ. Aku bertanya kepadanya, ‘Apa yang harus aku lakukan?’ Beliau menjawab, ‘Besok aku akan memberimu jawabannya.  Sekarang, beristirahatlah.’ Beliau memberiku makan malam, lalu kami menunaikan shalat Isya bersama dan aku pun tidur.  Di pagi hari, beliau membangunkanku untuk shalat tahajud.  Tak pernah seumur hidupku aku merasakan kekuatan dalam shalat seperti yang kurasakan bersama beliau.  Aku merasa berada dalam Hadirat Ilahi dan hatiku semakin terpaut kepada beliau.

Kemudian datang sebuah penglihatan: aku melihat diriku menaiki sebuah tangga dari tempat kami shalat menuju Bayt al-Ma’mur, Ka‘bah di langit, langkah demi langkah.  Setiap anak tangga adalah suatu maqam (tingkatan spiritual) yang beliau anugerahkan kepadaku.  Di setiap maqam itu, hatiku menerima ilmu yang belum pernah kupelajari ataupun kudengar sebelumnya. Kata demi kata, kalimat demi kalimat, disusun dalam cara yang begitu agung, ditransmisikan langsung ke dalam hatiku di setiap maqam yang kujalani, hingga kami sampai di Bayt al-Ma’mur.  Di sana aku melihat 124.000 nabi berdiri dalam shaf untuk shalat, dengan Sayyidina Muhammad ﷺ sebagai imam.  Di belakang mereka, berdiri 124.000 sahabat Nabi ﷺ dalam shaf.  Lalu aku melihat 7.007 wali dari Tarekat Naqsybandiyah berdiri dalam shaf di belakang mereka. Setelah itu, aku melihat 124.000 wali dari tarekat-tarekat lainnya berdiri dalam shaf untuk shalat.”

Masih ada dua tempat kosong di sisi kanan Abu Bakar ash-Shiddiq.  Grandsyekh pergi ke tempat kosong itu dan membawaku bersamanya, lalu kami menunaikan shalat Subuh.  Tak pernah seumur hidupku aku merasakan manisnya shalat seperti itu, dan ketika Nabi Muhammad ﷺ mengimami shalat, keindahan bacaannya tak terlukiskan.  Itu adalah pengalaman yang tak bisa dijabarkan dengan kata-kata, karena itu adalah perkara Ilahi.  Ketika shalat berakhir, penglihatan itu pun berakhir, dan aku mendengar Syekh berkata kepadaku untuk mengumandangkan adzan Subuh.”

Beliau menunaikan shalat Subuh dan aku shalat di belakangnya.  Di luar, aku bisa mendengar suara bombardir dari kedua pasukan.  Beliau memberiku bai’at dalam Tarekat Naqsybandiyah dan berkata, “Wahai anakku, kami memiliki kekuatan untuk menjadikan seorang murid mencapai maqamnya hanya dalam satu detik.” Ketika beliau mengatakan itu, beliau menatap langsung ke dalam hatiku, dan saat itu juga warna matanya berubah: dari kuning menjadi merah, kemudian putih, hijau, dan akhirnya hitam. Warna-warna itu berubah seiring dengan aliran pengetahuan spiritual yang beliau curahkan ke dalam hatiku, sesuai dengan setiap warna tersebut.

Cahaya kuning adalah yang pertama dan berkaitan dengan maqam Hati (Qalb). Di tahap ini, beliau mengalirkan seluruh jenis ilmu lahir yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan sehari-hari.  Kemudian, dari maqam Rahasia (Sirr), beliau mengalirkan ke dalam hatiku seluruh ilmu dari empat puluh tarekat yang berasal dari Sayyidina ‘Ali , dan aku mendapati diriku telah menjadi seorang mursyid dalam semua tarekat itu. Saat mentransmisikan ilmu maqam ini, mata beliau berwarna merah.

Tahap ketiga adalah Rahasia dari Rahasia (Sirr as-Sirr), yang hanya diizinkan bagi para syekh Tarekat Naqsyabandiyah, yang imamnya adalah Sayyidina Abu Bakar.  Saat beliau mencurahkan ilmu tahap ini ke dalam hatiku, mata beliau berubah menjadi putih. Lalu beliau membawaku ke Maqam Tersembunyi (Khafa), yaitu maqam pengetahuan spiritual tersembunyi, di mana mata beliau berubah menjadi hijau.

Kemudian beliau membawaku ke Maqam Fana yang Sempurna, maqam yang Paling Tersembunyi (Akhfa), di mana segala sesuatu lenyap dan tidak ada yang tampak, dan warna matanya menjadi hitam.  Di maqam ini beliau membawaku ke hadirat Allah.  Setelah itu, beliau mengembalikanku ke alam eksistensi.

Kecintaanku kepada beliau saat itu begitu dalam, sehingga aku tak sanggup membayangkan berjauhan darinya.  Aku tak menginginkan apa pun selain tetap bersamanya selamanya dan melayani beliau.  Namun badai datang, angin puting beliung turun, dan kekacauan mengancam ketenangan.  Ujian itu amat besar.  Hatiku dilanda keputusasaan ketika beliau berkata, “Anakku, kaummu membutuhkanmu.  Aku telah memberimu cukup untuk sekarang.  Kembalilah ke Siprus hari ini.”

Aku telah menempuh perjalanan satu setengah tahun untuk mencapainya. Aku hanya menghabiskan satu malam bersamanya.  Dan kini beliau memerintahkanku kembali ke Siprus, tempat yang tak kulihat selama lima tahun.  Itu adalah perintah yang sangat berat bagiku, namun dalam tarekat, seorang murid harus tunduk dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak sang syekh.

Setelah mencium tangan dan kakinya serta meminta izin darinya, aku mencoba mencari cara untuk kembali ke Siprus.  Perang Dunia Kedua sedang mendekati akhir.  Tidak ada transportasi.  Saat aku berada di jalan sambil memikirkan hal ini, seseorang datang kepadaku dan berkata, “Wahai Syekh, apakah engkau butuh tumpangan?”  Aku menjawab, “Ya!  Ke mana engkau akan pergi?”  Dia berkata, “Ke Tripoli.”  Dia membawaku dengan truknya dan setelah dua hari kami tiba di Tripoli.  Ketika kami sampai di sana aku berkata, “Antarkan aku ke pelabuhan.”  Dia bertanya, “Untuk apa?”  Aku menjawab, “Untuk mencari kapal menuju Siprus.”  Dia berkata, “Bagaimana caranya?  Tidak ada yang berlayar di laut dengan perang besar yang sedang berlangsung ini.”  Aku berkata, “Tak apa, cukup antarkan saja aku ke sana.”  Dia pun membawaku ke pelabuhan dan menurunkanku di sana.

Aku kembali terkejut ketika melihat Syekh Munir al-Malek datang menghampiriku.  Dia berkata, “Cinta apa yang dimiliki oleh kakekmu untukmu ini?  Nabi ﷺ kembali datang kepadaku dalam mimpi dan berkata, ‘Anakku Nazim akan datang.  Jagalah dia.’”
 
Aku tinggal bersamanya selama tiga hari.  Aku memintanya membantu mengatur perjalanan ke Siprus.  Beliau mencoba, tetapi saat itu tidak mungkin karena perang dan kelangkaan bahan bakar.  Beliau tidak menemukan apa pun kecuali sebuah perahu layar.  Beliau berkata kepadaku, “Kau bisa pergi, tapi itu berbahaya.”  Aku berkata, “Aku harus pergi, karena itu perintah dari Syekhku.” Syekh Munir membayar mahal kepada pemilik perahu agar mau membawaku. Kami pun berlayar.  Perjalanan itu memakan waktu tujuh hari untuk mencapai Siprus, perjalanan yang biasanya hanya memakan waktu empat jam dengan kapal motor.

Begitu aku mendarat dan menginjakkan kaki di tanah Siprus, seketika sebuah penglihatan spiritual terbuka dalam hatiku.  Aku melihat Grandsyekh ‘Abdullah Daghestani berkata kepadaku, “Wahai anakku. Tidak ada satu pun yang mampu menghalangimu untuk melaksanakan perintahku.  Engkau telah mencapai banyak hal karena mendengar dan menerima.  Mulai saat ini aku akan selalu tampak di hadapanmu.  Kapan pun engkau arahkan hatimu kepadaku, aku akan hadir. Pertanyaan apa pun yang kau miliki, akan langsung dijawab dari Hadirat Ilahi. Keadaan spiritual apa pun yang kau inginkan akan diberikan kepadamu karena ketundukan totalmu.  Para wali semuanya ridha kepadamu, Nabi ﷺ ridha kepadamu.”

Begitu beliau mengatakan itu, aku merasakan kehadirannya di sampingku, dan sejak saat itu beliau tak pernah meninggalkanku.  Beliau selalu berada di sisiku.

sumber: https://naqshbandi.org/the-naqshbandi-golden-chain/the-chain/shaykhh-muhammad-nazim/