Unknown's avatar

Kabar Gembira bagi Indonesia karena Memilih Pemimpin Islam yang Baik

Mawlana Shaykh Hisham Kabbani

Jakarta, 12 Mei 2012
Shuhbah bersama para Tokoh Nahdlatul Ulama


A`ūdzu billāhi min asy-Syaythāni ‘r-rajīm. Bismillāhi ‘r-Rahmāni ‘r-Rahīm.  Alhamdullāhi Rabbi ‘l-`ālamīn, wa ‘sh-shalātu wa ‘s-salāmu `alā asyrafi ‘l-Mursalīn, Sayyidinā wa Nabiyyinā Muhammadin wa `alā ālihi wa shahbihi ajma`īn.

أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
Athi`ūllāha wa athi`ū ‘r-Rasūla wa ūli ‘l-amri minkum.
Taatilah Allah, taatilah Rasul serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. (Surat an-Nisā’, 4:59)

Wahai ikhwan dan akhwat sekalian, pada hari ini kita datang ke sini, pertama-tama dan yang utama adalah untuk saling belajar satu sama lain dan memetik hikmah, sebagaimana yang dikatakan oleh Sayyidina `Ali (radhiyallāhu `anhu wa karramallāhu wajhah),

ان العلم و راس الحكمه مخافة الله
An al-`ilma wa rā’su ‘l-hikmah wa makhāfatullāh.
Ilmu dan pokok dari hikmah itu adalah takut kepada Allah (swt).

Kepemimpinan itu mempunyai kaidah dan aturan dan orang-orang yang terlibat sama-sama harus memahami aturan tersebut dan menerapkannya secara nyata agar tidak terjerumus dalam kesalahan.  Jika ia melakukan kesalahan, ia akan diminta pertanggung jawaban atas kesalahan yang diperbuatnya.  Kepemimpinan itu bukanlah suatu hal yang mudah. 

Kepemimpinan itu merupakan salah satu hal terpenting bagi umat Islam dan ini merupakan salah satu hal yang terpenting yang dibicarakan dalam Islam.  Nabi (saw) bersabda, “Jika kalian bertiga, maka hendaklah salah seorang (di antara kalian) memimpin.”  Seorang amir atau pemimpin adalah orang yang memegang tanggung jawab, dan perintahnya harus dilaksanakan, oleh karena itu ia harus bijaksana dan mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang luas dan kedudukan yang tinggi sehingga ia mampu menjelaskan apa yang ia inginkan kepada orang-orang. 

Seorang pemimpin itu tidaklah musti seorang pemilik mobil mewah, atau pemilik pesawat atau pemilik kapal.  Sebaliknya, ia bisa saja merupakan orang yang paling miskin harta di antara masyarakat, namun paling kaya ilmunya.  Sebagaimana yang dikatakan oleh Sayyidina `Ali (ra), “Ilmu menjagamu, sedangkan engkau menjaga harta.”  Ilmu itu menjaga manusia.  Ilmu itu penting bagi setiap warga negara, bagi setiap Muslimin dan Muslimat karena ilmu itu akan menjaga manusia agar tidak membuat kesalahan yang fatal yang mungkin akan merugikan mereka dan merugikan masyarakat dan mengantarkan mereka ke neraka, karena kurangnya pengetahuan mereka dan fatwa-fatwa yang mereka keluarkan yang tidak ada kaitannya dengan Islam.  

Jadi yang utama bagi seorang alim adalah mencintai orang-orang yang dibimbingnya; dan yang utama bagi seorang pemimpin adalah menjaga orang-orang yang dipimpinnya.  Seorang pemimpin atau presiden juga harus bisa memahami urusan rakyatnya dan mengeluarkan fatwa berdasarkan hal tersebut.  Oleh karena itu kepresidenan jika itu karena hawa nafsu atau karena kecintaannya untuk menjadi seorang pemimpin; kita tidak dapat menerimanya; tetapi bila jabatan kepresidenan itu demi kemaslahatan umat maka kita akan menyambutnya.   

Nabi (saw) mengajari para Sahabatnya yang mulia, membuat mereka paham dan mengangkat derajat ilmunya.  Beliau merawat dan mengawasi mereka; dan menghafalkan Qur’anil kariim,  mengajari mereka hikmah dan mensucikan diri mereka, hingga mereka menjadi para pemimpin tertinggi dalam Islam.  

Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi (saw) adalah,

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
Iqrā bismi Rabbika ‘Lladzī khalaq.
Bacalah, dengan menyebut Nama Tuhanmu yang menciptakan. (Surat al-`Alaq, 96:1)

“Bacalah wahai Muhammad (saw), ajari umat untuk membaca agar mereka pandai dan paham,” namun membaca tidak seperti membaca kisah-kisah, melainkan membaca untuk dan pemahaman dan ilmu.  Maka belajarlah wahai umat Islam dan jangan malas; karena kalian adalah pemimpinnya dan kalian adalah orang yang akan menggandeng tangan-tangan hamba sesuai dengan apa yang Allah (swt) inginkan bagi umat.

Jika kita tengok sejarah di masa lampau, kita melihat bahwa setiap raja atau kepala suku atau pemangku wilayah, mereka mempunyai seorang syekh yang disebut Syekhul Islam yang bijaksana tempat raja bekonsultasi mengenai urusan rakyat.  Syekh lalu mengeluarkan fatwa dan raja memperhatikan fatwa ini yang kemudian mengeluarkan perintah berdasarkan fatwa tersebut.  Sekarang ini kita tidak melihat bahwa presiden atau pemangku wilayah atau penguasa mempunyai Syekhul Islam.  Mereka hanya memiliki anak-anak muda yang tidak mengerti apa yang mereka katakan. 

Sebagaimana firman Allah di dalam kitab suci al-Qur’an, 

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Yā ayyuha an-nāsu inna khalaqnākum min dzakkarin wa untsa wa ja`alanākum syu`uban wa qabā’il li-ta`arafū, Inna akramakum `ind-Allāhi atqākum. inna Allāha `alīmun khabīr.
Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti. (Surat al-Hujurāt, 49:13)

Seperti yang terjadi pada hari ini di majelis ini, yang merupakan majelis silaturahim, di antara kita semua, kita bisa berkumpul bersama untuk saling mengenal dan saling mencintai, dengan mahabbah Nabi (saw) dan umatnya.  

Allah (swt) berfirman di dalam kitab suci Al-Qur’an,

وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ
W `atasimū bi hablillāhi jamiyy`an wa lā tafarraqū.
Berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali Allah dan janganlah bercerai-berai. (Surat Āli-`Imrān, 3:103)

Oleh karena itu, seorang penguasa harus menyatukan rakyatnya dan bukan untuk memisahkan mereka dan membuatnya menjadi partai-partai yang berbeda-beda dan berjauhan; dan setiap partai senang dengan apa yang dimilikinya, karena partai-partai itu adalah partainya syayāthīn.  Islam tidak memiliki partai.  Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap.  Perpecahan tidak dapat diterima; dan hal ini tidak dapat disangkal, karena ia adalah agama samawi, sebagaimana firman Allah,  

اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ
Inna ad-dīna `inda Allāhi al-Islām.
Sesungguhnya agama dalam pandangan Allah adalah Islam (tunduk kepada Kehendak-Nya). (Surat Āli-`Imrān, 3:19)

Seringkali penguasa bukanlah seorang yang alim, tetapi ilmu selalu menjadikan orang berilmu lebih tinggi daripada penguasa karena orang yang berilmu memahami urusan kaum Muslimin, sedangkan penguasa tidak memahami urusan kaum Muslimin karena mereka tidak memahami apa pun tentang agama.  Orang-orang alimlah yang memahaminya.  Oleh karena itu di zaman kita sekarang para alim wajib menerangi jalan para penguasa sehingga mereka dapat menjalankan pemerintahan sesuai dengan Kehendak Allah `azza wa jalla.  

Para alim mempunyai ilmu tentang fiqh, tafsir, hadits dan ilmu fatwa dan ushuluddin dan semua referensinya, sedangkan para peguasa tidak mempunyai pengetahuan tentang hal-hal tersebut; sebaliknya, ia memiliki pengetahuan tentang politik, di mana politik itu selalu mengandung kebohongan, tidak ada kebenaran di dalamnya, sebaliknya ia berbohong pada manusia dan saling memfitnah sehingga mereka bisa menang menjadi penguasa dan bisa memerintah manusia dengan apa yang tidak dikehendaki oleh Allah azza wa jalla.

Penguasa yang tidak alim adalah orang yang tidak mempunyai rasa takut kepada Allah!  Contoh salah satu penguasa yang takut kepada Allah (swt) adalah Sayyidina `Umar (ra).  Para Khulafā’ur Rāsyidūn dengan sungguh-sungguh memperhatikan urusan kaum Muslimin.  Sayyidina `Umar (ra) pergi ke rumah-rumah kaum Muslim di malam hari dengan menyamar dan membagikan makanan kepada orang-orang yang membutuhkan.  Sekarang ini para penguasa tinggal di istananya sambil  makan dan minum sementara orang-orang kelaparan di luar, di padang gurun atau di pedesaan.  

Sekarang ini di dunia–tidak hanya terjadi di negara tertentu saja, tetapi di semua negara kita melihat bahwa kerabat, anak-anak, dan orang-orang yang dekat dengan presiden, merekalah yang bisa mengakses keuangan dan harta milik negara.  Mereka mengambil uangnya dan menyimpannya di kantong-kantong mereka.  Sementara itu masyarakatnya masih miskin.  Bahkan seorang sopir presiden pun mempunyai proyek atau diberi proyek; ia menarik keuntungan dan memasukkan uangnya ke dalam sakunya.  

Jadi nasihat saya, pertama untuk diri saya sendiri dan untuk kalian adalah bahwa kalian adalah ulama bagi umat; dan sebagai Nahdlatul Ulama, kalian wajib bersikap moderat dalam pemerintahan.  Kalian harus menjadi pemimpin di negeri ini, karena keputusan kalian akan berasal dari Syariah dan itu datang dari agama; dan itu datang dari mahabbatun Nabi (saw).  Jadi kalian akan berhasil dan dihargai dan kalian akan menjadi orang-orang yang dicintai rakyat dan mereka akan mendoakan kalian.  Ini merupakan tanggung jawab bagi kalian.  Ini adalah tanggung jawab besar yang ada di pundak kalian.  Jika kalian tidak menghendaki hal tersebut, kalian akan diminta pertanggung jawabannya pada Hari Kiamat di hadapan Allah dan Rasul-Nya (saw).

Selain itu, kalian adalah Ahlu ‘s-Sunnah wa ‘l-Jama`ah, jadi kalian mempunyai tanggung jawab sebagai Ahlu ‘s-Sunnah wa ‘l-Jama`ah.  Lihatlah apa yang terjadi dengan ketua dari Nahdlatul Ulama yang menjadi presideng di negeri ini, Presiden `Abdurrahman Wahid.  Beliau telah berbuat banyak untuk negara.  Tetapi Iblis dan syaithan datang menyerangnya hingga mereka menyingkirkannya dari pemerintahan, karena beliau berasal dari Ahlu ‘s-Sunnah wa ‘l-Jama`ah, beliau adalah seorang alim dari Universitas al-Azhar, beliau tahu apa yang seharusnya dibutuhkan oleh kaum Muslim, dan beliau paham tentang keadilan.  Oleh karena itu, kalian semua wahai Nahdlatul Ulama, kalian harus melakukannya, kalian harus bersatu, saling mendukung, untuk memerintah dengan adil berdasarkan agama Allah `azza wa jalla, berdasarkan Islam; sebagaimana Allah berfirman, “Sesungguhnya agama di Sisi Allah adalah Islam.” 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيْمِ 
Bismillāhi ‘r-Rahmāni ‘r-Rahīm
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ
Yā ayyuhalladzīna āmanū ‘ttaqūllāh wa kūnū ma` ash-shādiqīn.
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tetaplah bersama orang-orang yang benar (dalam perkataan dan perbuatan).  (Surat at-Tawbah, 9:119)

Wahai Muslim, wahai Mukmin, orang-orang yang saleh, bertakwalah kepada Allah dalam perbuatan kalian; bertakwalah kepada Allah dalam hari-hari kalian; bertakwalah kepada Allah dalam malam-malam kalian; bertakwalah kepada Allah dalam rezeki kalian; bertakwalah kepada Allah dalam keadilan kalian; bertakwalah kepada Allah dalam segalah hal, dan tetaplah bersama para ulama yang benar.  Dukunglah mereka siang dan malam dalam upaya mereka, dalam kedatangan dan kepergian mereka; dalam segala hal yang mereka inginkan, kalian dukung mereka sehingga mereka dapat meraih kekuasaan dan mendeklarasikannya di tengah masyarakat bahwa keadilan adalah asas dalam Islam.

Wahai Ulama! Wahai para pengajar dan para filsuf!  Pernahkah kalian mendengar atau membaca di buku apa pun, baik di buku-buku Islam ataupun buku-buku non-Islam bahwa Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq (ra) atau Sayyidina `Umar bin Khaththab (ra) atau Sayyidina `Utsman bin Affan (ra) atau Sayyidina `Ali (karramallāh wajhah), mengatakannya sendiri atau menyebut gelar mereka sendiri, dengan mengatakan, “Aku adalah Doktor Abu Bakar ash-Shiddiq,” atau “Aku adalah Doktor `Umar bin Khaththab,” atau “Aku adalah Profesor Ustman bin Affan,” “Dan Aku adalah Qadi Ali bin Abi Thalib.”  Apakah mereka mengatakan hal seperti itu?  TIDAK!  Mereka merendahkan dirinya di hadapan umat, mereka hanya menyebut namanya saja, “Abu Bakar ash-Shiddiq,” “`Umar bin Khaththab.”  Bahkan sekarang ini, jika kita membaca khotbah Jumat, kita hanya menyebutkan, “Abu Bakar ash-Shiddiq wa `Umar bin Khaththab wa Utsman bin Affan wa `Ali (karramallāh wajhah), dan kita tidak mengatakan, “Profesor Abu Bakar ash-Shiddiq,” atau “Profesor Fulan” seperti halnya bagi para ulama sekarang ini, mereka bangga disebut “Profesor wa Doktor, wa BBS, wa MMS, wa FFS, wa SS seterusnya.” (tertawa)

Sebaliknya, para Sahabat yang mulia (ra), mereka mendapat gelar mereka dari Nabi (saw) karena keadilan dan kecintaan mereka terhadap Nabi (saw) dan terhadap Islam. Nabi (saw) bersabda,

أصحابي كالنجوم بأيهم اقتديتم اهتديتم
Ash-hābī ka ‘n-nujūm bi ayyihim aqtadaytum ahtadaytum.
Sahabatku bagaikan bintang (di malam yang gelap); Siapa pun di antara mereka yang kamu ikuti, niscaya kamu akan mendapat petunjuk.
(`Abd ibn Humayd, ad-Daraqutnii, ibn `Adiyy, ibn `Abd al-Barr, dengan rantai hasan tetapi artinya sahih)

Allah `azza wa jalla mengatakan tentang Sayyidina Abu Bakar (ra), “Ketika ia berkata pada Sahabatnya (Surat at-Taubah, 9:40),” Allah (swt) menjadikannya sebagai Sahabat Nabi (saw).  Mengenai Sayyidina `Umar (ra), Nabi (saw) bersabda, “Seandainya ada Nabi setelahku, maka ia adalah `Umar.”  Dan kepada Sayyidina Utsman (ra), beliau (saw) menyebutnya Dzun-Nurayn, maksudnya beliau membawa “Dua Cahaya dari Cahaya Nabi (saw),” (yakni kedua putrinya).  Dan kepada Sayyidina `Ali (ra), beliau (saw) bersabda, “Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah pintunya.”  Dan Ustman (ra) adalah orang yang mengumpulkan Qur’an.  Mereka mendapat gelar-gelar mereka dari Allah dan Rasul-Nya (saw).  Mereka tidak mendapat gelar mereka dari dunia atau dari universitas. Allah memberi mereka gelar-gelar ini karena kecintaan mereka kepada-Nya, dan kecintaan mereka kepada Rasul-Nya (saw).  

Jadi jika ulama merendahkan dirinya, “Barang siapa yang merendahkan dirinya karena Allah, maka Allah (swt) akan mengangkat derajatnya dan barang siapa yang takabbur, maka Allah akan merendahkannya.”  Oleh sebab itu, marilah kita tawaduk wahai Nahdlatul Ulama, wahai Ahlu ‘s-Sunnah wa ‘l-Jama`ah.  Kalian adalah ulama bagi umat, dan kalian adalah orang-orang yang tawaduk, dan ini adalah majelis yang tawaduk, di mana orang-orang kaya dan miskin duduk bersama tanpa ada perbedaan di antara mereka.

Pernahkah kalian mendengar bahwa Abu Hanifah an-Nu`man (ra) berkata tentang dirinya sendiri, “Aku adalah Doktor Abu Hanifah an-Nu`man,” atau, “Aku adalah Profesor Malik,” atau, “Aku adalah Doktor Syafi’i,” atau, “Aku adalah Doktor Ahmad bin Hanbal”?  Mereka adalah orang-orang yang rendah hati dan mereka ditinggikan oleh manusia.  Jika kita merendahkan diri kita, Allah akan mengangkat derajat kita; tetapi jika kita sombong, Allah akan merendahkan kita.  Seperti yang kami sebutkan, ini adalah majelis yang tawaduk di mana orang miskin dan orang kaya duduk bersama.  Para pedagang, pengusaha, ustadz, murid, semuanya duduk berkumpul di sini.  Dan inilah yang disukai Allah.  Dan Nahdlatul `Ulama adalah sebuah organisasi yang rendah hati.  Jadi kalian harus berkumpul bersama insyaAllah dan kuatkan tekad kalian untuk menjadi salah satu pemimpin di negeri ini sehingga keadilan sampai ke tangan mereka. 

Ketika urusan umat telah diluruskan; persoalan para ulama telah diluruskan, keadilan dapat ditegakkan di antara manusia, maka kita tidak lagi membutuhkan apa yang mereka sebut “petugas keamanan.” Siapakah insan kamil itu, siapakah manusia yang sempurna itu?  Bukankah beliau Nabi (saw)? Apakah beliau memiliki petugas keamanan atau apakah rumahnya terbuka untuk semua orang? Orang-orang keluar masuk tanpa ada petugas keamanan.  Beliau tidak membutuhkannya karena Allah (swt) menjaganya!  Dan kalian, masya Allah ahlu Nahdlatul `Ulama, kalian tidak mempunyai petugas keamanan, tidak ada apa-apa di sana.  Ada? Di luar.  Allahu Akbar!

Oleh karena itu, jika kalian tidak menjaga umat, dan keadilan tidak ditegakkan, maka semua orang akan membutuhkan keamanan.  Tetapi bila umat dijaga dan keadilan ditegakkan, tidak ada yang membutuhkan keamanan itu.  Jadi ini adalah tandanya tidak ada keadilan, tidak ada rasa aman, tidak  ada cinta, tidak ada sesuatu yang berkenan bagi Allah `azza wa jalla saat ini.

Saya sampaikan kata-kata ini dan saya berharap kalian memaafkan saya jika saya berbicara terlalu panjang.  

Wa min Allahi ‘t-tawfīq, semoga Allah mengaruniai kesuksesan, dan memudahkan segala urusan kalian dan melegakan hati kalian, insyaAllah

bi hurmati ‘l-habīb, bi hurmati ‘l-Fātihah. (Doa)

http://sufilive.com/Good_Tidings_to_Indonesia_for_Choosing_Good_Islamic_Leaders-4330.html
© Copyright 2012 Sufilive. All rights reserved. This transcript is protected by international copyright law. Please attribute Sufilive when sharing it. JazakAllahu khayr.

Leave a comment