
Shaykh Nour Kabbani
Zawiyah Fenton, MI, 10 Juli 2025
Insyāʾ Allāh beberapa kata, karena orang-orang terus datang ke sini. Semoga Allah Subhanahu wa Ta‘ala, mengizinkan cinta itu untuk meresap ke dalam hati kita. Mengapa kalian datang ke sini? Mengapa kalian pergi ke mana-mana? Beberapa orang, mereka suka pergi ke Italia. Beberapa orang suka pergi ke Spanyol. Beberapa orang suka pergi ke Prancis. Beberapa orang suka pergi ke Las Vegas. Beberapa orang suka pergi ke L.A., kota New York. Menurut kalian mengapa mereka ingin pergi ke sana? Ada sesuatu di hati mereka yang menggerakkan mereka ke sana. Keinginan datang ke hati kalian, atau ke hati kita, dan keinginan itu mendorong kita untuk pergi ke mana pun kita mau, karena kita mau area itu. Kita mencari semacam kesenangan di area itu, bukan?
Mengapa kalian bepergian? Mereka bilang untuk bekerja. Itu adalah penyiksaan. Mereka pergi bekerja. Alhamdulillah, semoga Allah memberi kalian banyak rezeki, tidak masalah. Tetapi beberapa orang, ketika mereka ingin datang ke tempat yang mereka tuju, tidak ada pekerjaan di dalamnya. Mereka hanya datang menghabiskan waktu. Mengapa mereka datang? Karena ada sesuatu di hati mereka yang membawa mereka ke sana. Jadi mengapa orang datang dari Dallas? mengapa orang berasal dari DC? Apa yang ada di hati kalian? Mengapa orang datang dari San Antonio? Ada pasangan dan anak-anak mereka datang dari Seattle. Mengapa? Apa yang ada di hati kalian yang mengantar kalian ke sini?
Allah (swt) telah menempatkan sesuatu di hati manusia. Saya mencoba untuk mengingat sebuah ayat—selalu dihubungkan dengan Kalamullah.
أَسْتَعِيذُ بِاللَّهِ
وَاتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ
Astaʿīdzu billāh: Wa-tlu mā ūḥiya ilayka mina-l-kitāb
Aku berlindung kepada Allah, “Bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu dari Kitab (Al-Qur’an)” (QS al-Ankabut, 29:45)
Ada perintah untuk Rasulullah: Wa-tlu mā ūḥiya ilayka mina-l-kitāb. Surah mana itu, Syekh? Ya? Al-Ankabut. Surah Al-Ankabut: Wa-tlu maa uuḥiya ilaika minal kitaabi wa aqimiṣ ṣalaah. Wahai kekasihku, beritahu mereka. Bacakan kepada mereka, bacakan untuk mereka apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Kitab itu.
Jadi ketika seseorang sedang duduk, seperti yang guru kami telah ajarkan kepada kami, ketika dua orang duduk bersama, satu berbicara, satu mendengarkan. Orang yang berbicara akan mendapat manfaat karena dia mengingat, atau dia diingatkan, dan yang mendengarkan juga mendapat manfaat karena mereka juga mengingat. Tetapi apa yang kalian bicarakan? Kalian berbicara untuk Allah, oleh Allah, kepada Allah. Billāh lillāh—kalian bicara untuk Allah (swt), itu berarti kalian membaca dari Kitab Suci-Nya. Jika kalian tidak membaca dari Kitab Suci, bacalah. Maka perintah untuk Rasulullah (saw): katakan kepada mereka apa yang telah diturunkan kepadamu dari Kitab itu.
Jadi apa yang diwahyukan dalam Kitab itu? Satu ayat yang saya ingat, dalam Surah Al-Baqarah:
أَسْتَعِيذُ بِاللّٰهِ: وَلَكُمْ فِي ٱلْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَىٰ حِينٍ
Astaʿīdzu billāh: wa lakum fī al-arḍi mustaqarrun wa matāʿun ilā ḥīn.
Aku berlindung kepada Allah: Dan bagi kamu di bumi ada tempat menetap dan kesenangan sampai waktu yang ditentukan.(QS. al-Baqarah, 2: 36)
Wahai Adam dan Hawwa, serta anak-anakmu—ketika semuanya turun, Allah (swt) berfirman bahwa—di bumi kau akan memiliki tempat tinggal, kau akan menetap di bumi, dan kau akan mendapat manfaat dari bumi sampai dengan waktu yang telah ditentukan. Jadi, kehidupan di bumi ini adalah untuk mendapat manfaat dari apa yang ada di dalamnya sampai waktu yang telah ditetapkan—dan waktu itu adalah kematian. Kau punya pemukiman di bumi; kau akan menetap di sana. Dikatakan bahwa jasad Adam–fisik Adam, tempatnya adalah di bumi. Namun hati Adam menetap dalam tubuh fisiknya, dan Cinta Allah menetap di hati Adam. Jadi, Cinta Allah Subhanahu wa Ta‘ala ada di hati Adam—yang ada dalam fisik Adam, yang berada di bumi. Di bumi, kau akan menetap.
Dikatakan bahwa qalb (hati) adalah bumi bagi Cinta Allah. Para awliyaullah mengatakan bahwa Sayyidina Adam telah makan dari Syajarat al-Maḥabbah al-Ilāhiyyah—Pohon Cinta Ilahi. Ketika beliau menggigitnya, dikatakan padanya, “Jangan mendekatinya, karena jika engkau menyentuh Cinta-Ku—jika engkau merasakannya, maka kau akan merindukan-Ku.” Tinggalkan itu, nikmati kesenangan. Tetapi mengapa engkau menginginkan rasa rindu itu?
Cinta memberi kalian penderitaan atau kenikmatan? Bagaimana menurut kalian? Cinta sejati—saya tidak berbicara tentang cinta kucing, karena itu berbeda—cinta sejati, terutama ketika kekasih kalian jauh dari kalian. Dia berfirman, “Jangan makan dari pohon itu.” Para awliya mengatakan bahwa salah satu maknanya, salah satu hakikat dari pohon itu, adalah bahwa itu adalah Pohon Cinta Ilahi.
Karena Sayyidina Adam (as) telah melihat tingkatan yang lebih tinggi dari levelnya di surga, dan beliau berkata, “Ya Rabbi, aku ingin mencapai tingkatan itu.” Maka dikatakan kepadanya, “Tingkatan itu akan tercapai dengan tangisan, dengan kerinduan.” Tapi tidak ada tangisan di surga. Tidak ada kerinduan di sana—segala yang kau inginkan tersedia. Kau selalu dalam kebahagiaan, tidak ada tangisan.
Jadi ketika beliau menggigit pohon itu, dikatakan bahwa beliau telah menggigit benih dari cinta—Cinta Ilahi. Dan Cinta Ilahi itu menetap di hatinya. Maka, di dalam hati manusia, ada Cinta Ilahi yang mereka bawa dari surga. Dengan Cinta Ilahi itu, mereka mencari jalan kembali. mengapa mereka harus kembali? Karena mereka menginginkan Sang Ilahi. Itulah fitrah manusia: dalam hati manusia ada cinta yang telah Allah tanamkan di sana. Dan cinta itu yang mendorong kalian menuju tujuan kalian.
Jika kalian mencintai pantai di Prancis—di Nice, saya tidak tahu pantai apa pun yang mereka miliki di sana, tetapi kalian akan pergi ke sana. Jika kalian mencintai kota-kota seperti Venesia, Florence, dan kota-kota lain di Italia, kalian akan pergi ke sana. Jadi, apa yang mendorong orang datang ke sini? Apa yang ada di dalam hati mereka?
Saya melihat beberapa orang di belakang, bukan dari Michigan, tetapi dari luar negara bagian. mengapa mereka datang sampai ke sini? Karena Cinta Ilahi itu menarik mereka ke sini. Karena Cinta Ilahi itu—ketika Allah berkata mustaqar, yang berarti kalian menetap di bumi, matāʿun, kalian harus mendapat manfaat dari apa yang ada di bumi. Cinta Ilahi yang ada di hati kalian di bumi, kalian harus menemukan cara untuk menumbuhkannya.
Untuk tumbuh menjadi apa? Untuk tumbuh menjadi pohon. Pohon itu akan memberi kalian buah. Kalian akan menggigit buah itu dan kalian akan menemukan Cinta Allah (swt). Kalian akan menemukan makrifat Allah (swt)—pengetahuan tentang Allah (swt). Jika kalian menemukan yang tepat… jika pohon itu bisa memberi kalian buah penyingkapan, kalian akan diberi penyingkapan. Jika pohon itu menghasilkan buah musyāhadah, kalian akan melihat apa yang tidak dilihat orang lain. Jika pohon itu menghasilkan buah wuṣūl, yakni sampai dan mencapai Hadirat Ilahi, kalian akan mencapainya. Jika pohon itu menghasilkan buah wiṣāl berupa koneksi dengan Hadirat Ilahi—hubungan dengan markas besar—seperti yang biasa dikatakan Mawlana Shaykh Nazim (q), jika kalian bisa mencapainya, jika kalian bisa mencapai wiṣāl tersebut, jika kalian bisa mencapai buah hubungan, kalian akan memilikinya. Dan setelah koneksi tersebut adalah kamāl, kesempurnaan.
Pohon apa itu? Apakah benih dari pohon itu? Di bumi, benih itu adalah Lā ilāha illā Allāh, Muḥammadun Rasūlullāh (saw), tergantung pada waktu kalian hidup, wahai manusia—jika kalian hidup di zaman nabi-nabi terdahulu, kalian harus percaya kepada nabi yang diutus saat itu. Tetapi saat ini sekarang, kita percaya kepada Lā ilāha illā Allāh, Muḥammadun Rasūlullāh (saw). Jadi, Cinta Ilahi yang ada di hati kalian, benih Lā ilāha illā Allāh, Muḥammadun Rasūlullāh (saw) di bumi ini, kalian harus menemukan cara untuk menyiraminya. Apa yang terjadi ketika kalian menyiram benih? Tanaman tumbuh. Setelah tanaman tumbuh, apa yang terjadi? Mereka berbuah.
Jadi kalimah ṭayyibah, seperti yang dikatakan Allah (swt) —Cinta Ilahi itu, dan Pengakuan Ilahi itu, pengakuan atas Kesatuan Ilahi dan kerasulan utusan-Nya. Kalian percaya. Kita percaya kepada Muḥammadun Rasūlullāh (saw).
Cinta Ilahi dan pengakuan atas Kesatuan Ilahi—jika kalian menyertainya dengan ʿamalun ṣāliḥ, jika kalian menemukan cara untuk menumbuhkannya, apa yang akan terjadi padanya? Allah (swt) berfirman, itu akan menjadi seperti pohon. Bukankah begitu, Imam Sahib?
وَمَثَلُ كَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ
Wa-masalu kalimatin ṭayyibatin ka-syajaratin ṭayyibah
Perumpamaan kalimah yang baik adalah seperti pohon yang baik (QS.Ibrahim, 14: 24)
Kalimah ṭayyibah tersebut—yakni Lā ilāha illā Allāh, Muḥammadun Rasūlullāh (saw). Itu adalah cinta, bahwa kalian telah menggigit pohon itu yang dilarang bagi kalian untuk dirasa, karena itu adalah Cinta Ilahi—Pohon Cinta Ilahi. Kalian merasakannya, maka kalian akan menderita. Mengapa? Karena kalian akan jauh dari kekasih kalian. Kalian harus menemukan cara untuk kembali kepada hubungan itu—menjangkau dan menghubungkan pada Hadirat Ilahi.
Jadi, Allah (swt) berfirman bahwa pohon itu memberikan buah setiap saat.
تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍۢ
Tuʾtī ukulahā kulla ḥīn
Ia memberikan buahnya pada setiap waktu. (QS.Ibrahim, 14: 25)
Ia menghasilkan buah kapan saja—selalu ada buah di atasnya, atas perintah dan dengan izin Tuhannya. Allah (swt) mengizinkan pohon itu, yang ada di hati kalian untuk menghasilkan buah. Dan ketika kalian menggigit buah-buahan yang ada di hati kalian—buah dari iman dan amal salih—dengan mengucapkan Lā ilāha illā Allāh, Muḥammadun Rasūlullāh (saw), itu adalah iman. Amal salih adalah apa yang Allah (swt) tetapkan untuk kita.
Mengapa Dia menetapkan semua hal ini untuk kita? Agar kalian bisa menumbuhkan iman kalian sampai menjadi pohon yang bisa kalian makan buahnya. Buah pertama adalah ma‘rifah, pengetahuan tentang Allah (swt). Ketika kalian mengizinkan Lā ilāha illā Allāh, Muḥammadun Rasūlullāh (saw) dan Cinta Ilahi itu tumbuh di hati kalian, hal pertama yang akan datang adalah ilmu tentang Allah—pengenalan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketika kalian mengenal-Nya, kalian mencintai-Nya karena segala sesuatu yang telah Dia berikan kepada kalian. Apa yang Dia berikan? Segalanya. Tuhan memberi kita segalanya. Ketika kalian mengenal-Nya, kalian mencintai-Nya. Ketika kalian mencintai-Nya, kalian mulai melihat-Nya.
Bagaimana mungkin kalian tidak melihat-Nya di sekitar kalian? Bukan dengan mata kepala ini, tetapi dengan mata iman. Segala sesuatu di sekeliling kalian adalah ciptaan-Nya, pekerjaan-Nya, perbuatan-Nya. Kalian mulai mengamati-Nya. Itulah maksud Rasulullah (saw) ketika bersabda bahwa engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Itu berarti kalian bisa sampai pada tingkat di mana kalian seakan-akan melihat-Nya di mana-mana. Jika kalian bisa mengatakan bahwa Dia tidak berada di satu tempat tertentu, tapi kalian tetap bisa melihat-Nya, maka itulah musyāhadah—penyaksian. Ketika kalian mulai melihat-Nya, maka kalian telah mencapai-Nya.
Ketika Dia selalu bersama kalian, sebagaimana yang telah kami katakan dalam ṣuḥbah sebelumnya, bahwa Allah (swt) berfirman kepada Nabi Musa, “Begitu engkau mengingat-Ku, engkau telah mencapai-Ku.” Maka kalian pun menjadi terus berada dalam keadaan dzikir—ingat terus-menerus—ketika kalian mengenal tentang Allah. Dan ketika kalian jatuh cinta kepada Allah (swt) karena pengetahuan itu, kalian mengenal-Nya, kalian mencintai-Nya, kalian melihat-Nya. Ketika kalian melihat-Nya, Dia tidak lagi menyembunyikan Diri-Nya dari kalian. Kalian selalu hadir bersama-Nya, dan Dia pun selalu hadir bersama kalian. Itulah wuṣūl—sampainya kalian kepada-Nya.
Kemudian datanglah koneksi: hubungan dengan-Nya. Orang-orang yang datang dari luar negara bagian ini—mengapa mereka datang? Karena mereka memiliki Cinta Ilahi itu di dalam hati mereka. Mereka telah menanam benih Lā ilāha illā Allāh, Muḥammadun Rasūlullāh (saw) dalam hati mereka, dan mereka sedang mencoba menemukan tempat dan cara agar benih itu—Lā ilāha illā Allāh, Muḥammadun Rasūlullāh (saw)—tumbuh dari benih menjadi batang, batang yang tebal dan kemudian tumbuh menjadi besar, sehingga mereka bisa menjadi senang dengan apa yang ditawarkannya.
Apakah kalian pernah membacanya di dalam surah al-Fath? Dalam surah al-Fath, Allah (swt) berbicara tentang perumpamaan orang-orang beriman. Perumpamaan orang-orang yang beriman disebutkan dalam Taurat, bahwa mereka memiliki tanda-tanda di wajah mereka dari bekas sujud. Agama Yahudi berfokus pada ketaatan fisik dan aturan-aturan lahiriah, sementara agama Kristen datang untuk aspek batin manusia. Keduanya digabungkan dalam Islam.
Syariah mengajarkan bagaimana berperilaku secara eksternal, sedangkan tariqah menunjukkan bagaimana berperilaku secara internal. Perilaku batin itu adalah benih iman, yang kemudian tumbuh menjadi tanaman dan akhirnya menjadi pohon besar yang buahnya dapat dinikmati. Mereka yang telah menanamnya akan sangat bahagia, mereka akan kagum atas apa yang Allah (swt) berikan kepada mereka. Jadi orang-orang yang datang dari luar negara bagian itu, mereka datang untuk mengizinkan benih itu tumbuh.
Bagaimana benih itu tumbuh? Atau hal pertama yang diberikan kepada kalian adalah ma‘rifah—pengetahuan. Kita berada di sini untuk apa? Untuk mencari ilmu. Tentang siapa? Tentang dunia? Untuk mencari ilmu tentang keuangan? Tentang politik? Tentang pendidikan? Tidak. Kita di sini untuk mencari pengetahuan tentang Tuhan kita, Allah (swt). Tuhan dari segala sesuatu. Pencipta segala sesuatu. Jadi kita berkumpul di sini untuk mencari pengetahuan tentang Dia. Lalu, untuk memperoleh cinta kepada-Nya karena pengetahuan yang telah kalian terima.
Kita tidak mencari dunia ini. Seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya, ada sebuah hadits yang saya temui. Dalam hadits itu tertulis, Allah Ta‘ala berfirman kepada Dawud—semoga kedamaian tercurah atasnya, Nabi Allah Dawud, yang mereka sebut Raja Daud, apa pun gelarnya. Nabi Allah Dawud ‘alayhi salam. Allah berfirman,
يَا دَاوُودُ، مَثَلُ الدُّنْيَا مَثَلُ جِيفَةٍ اجْتَمَعَتْ عَلَيْهَا الْكِلَابُ
Yā Dāwūd, maṯalu ad-dunyā maṯalu jīfatin ijtama‘at ‘alayhā al-kilāb.
“Wahai Dawud, perumpamaan dunia itu seperti bangkai yang dikerumuni oleh anjing-anjing.”
Wahai Dawud, perumpamaan dunia adalah seperti bangkai, mayat, yang dikerumuni oleh hiena (sejenis anjing–penerj). Apakah engkau pernah melihat hiena, Syekh? Ya, benar. Apakah kalian melihat hiena di dunia? Ketika seseorang memakan bangkai, merobek-robeknya, setiap orang menariknya ke arah mereka. Yang satu berkata, “Ini milikku,” yang lain menarik dari sisi lain dan berkata, “Ini punyaku.” Masing-masing dari mereka memakan sesuatu, tapi mereka semua tetap menarik bangkai itu. Dia berfirman bahwa dunia itu seperti daging binatang mati yang dikerumuni oleh hiena. Apakah kalian suka menjadi seperti hiena-hiena itu? Merobek daging dari bangkai yang mati?
Jadi, kita tidak berkumpul di sini untuk dunia. Kita tidak tertarik menjadi seperti hiena, merobek-robek daging dari binatang mati atau bangkai. Kita di sini untuk memperoleh ilmu tentang Pencipta kita. Itu adalah Cinta Ilahi di mana ayah kalian telah menggigit buah itu di sana, dan kini datang kepada kita semua. Jadi itu adalah fitrah. Allah (swt) telah menjadikan hati kalian sebagai tanah yang subur untuk menerima benih Keesaan Allah (swt).
Dengan amal saleh dan perbuatan baik yang telah Allah (swt) tetapkan, benih Keesaan Allah dan kenabian dari Nabi-Nya mulai tumbuh, dan kalian mulai memetik buahnya, buah ma‘rifah, buah mahabbah, buah musyāhadah, buah wuṣūl, dan buah wiṣāl. Ilmu, cinta, penyaksian, sampai, hubungan dengan Hadirat Ilahi dan mencapai kesempurnaan. Itulah yang kita lakukan. Kami tidak punya urusan untuk berseteru dengan siapa pun.
Setiap orang bebas menghadiri majlis mana pun yang mereka suka. Setiap orang bebas menerima nasihat dari siapa pun yang mereka kehendaki. Semua orang bebas berteman dengan siapa pun yang mereka suka. Kita tidak punya masalah dengan siapa pun. Kita tidak menyimpan dendam kepada siapa pun. Orang-orang bebas. Tetapi kita berkumpul untuk mencari ilmu tentang Allah (swt) dan memperoleh Cinta Allah (swt). Itulah sebabnya, Allah (swt) berfirman di dalam Al-Qur’an—dalam Surah Al-‘Ankabut, tepat setelah ayat yang berbunyi, “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Kitab dan dirikanlah shalat”—Allah (swt) berfirman dalam ayat berikutnya,
وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ ۖ وَقُولُوا آمَنَّا بِالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَأُنْزِلَ إِلَيْكُمْ ۚ وَإِلَـٰهُنَا وَإِلَـٰهُكُمْ وَاحِدٌ ۖ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
Wa lā tujādilū ahla al-kitābi illā bi-allatī hiya aḥsanu illā alladzīna ẓalamū minhum, wa qūlū: āmannā bi-alladzī unzila ilaynā wa unzila ilaykum, wa ilāhunā wa ilāhukum wāḥid, wa naḥnu lahu muslimūn.
Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah (kepada mereka), “Kami telah beriman kepada (Kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kamu; Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah satu; dan kami hanya berserah diri kepada-Nya.” (QS. al-Ankabut, 29:46)
Jangan berdebat dengan orang-orang yang memiliki ilmu, Ilmu Ilahi. Jangan berdebat dengan mereka. Sebaliknya, katakanlah pada mereka, “Kami beriman kepada apa yang diberikan kepada kami, dan kami beriman kepada apa yang diberikan kepadamu. Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu, dan kami telah berserah diri kepada-Nya.” Kita percaya dengan apa yang telah diberikan kepada kita, dan kita percaya dengan apa yang telah diberikan kepada mereka.
Hari ini, mereka mengirimkan pesan kepada saya dari Dallas. “Syekh, ada kebingungan besar. Kami tidak tahu harus bagaimana,” kata mereka. Apa yang harus dilakukan? “Kita percaya dengan apa yang telah diberikan kepada kita. Kita percaya dengan apa yang telah diberikan kepada mereka. Tuhan kita dan Tuhan mereka adalah satu. Kita telah berserah diri kepada-Nya.”
Yang terbaik di antara kalian adalah yang paling saleh, dan yang paling takut kepada Allah (swt). Bukan berdasarkan standar ini atau standar itu; atau dari perkataan ini atau perkataan itu. Apa yang diberikan kepada kalian, dan apa yang diberikan kepada kami—kami percaya kepada semua itu. Kami tidak punya masalah. Tuhan kita adalah satu. Dan kami tunduk kepada-Nya.
Jadi apa yang diwahyukan dalam Kitab-Kitab Suci, kita percaya. Apa yang diwahyukan dalam Kitab Suci kita, kita percaya. Tuhan kita dan Tuhan mereka, dan Tuhan setiap orang adalah satu. Kita telah tunduk kepada-Nya, kita telah tunduk pada kehendak-Nya. Semoga Allah (swt) mengampuni kita. Semoga Allah (swt) mengampuni kita.
Jadi, itulah yang perlu kalian lakukan. Duduklah bersama siapa pun yang kalian inginkan, carilah ilmu tentang Tuhan kalian. Biarkan benih cinta itu tumbuh. Biarkan benih Lā ilāha illā Allāh, Muḥammadun Rasūlullāh (saw) itu tumbuh. Sampai kapan? Sampai kalian menggigit buah-buahannya.
Mawlana Syekh Nazim (q) mengatakan—semoga Allah (swt) mensucikan asrarnya—beliau mengatakan bahwa mereka telah memasukkan ke dalam gudang segala jenis benih, benih gandum. Saya berusaha mengingat kisah yang beliau sampaikan, tapi inilah kesimpulan dari kisah itu. Mereka telah menaruh benih di gudang gandum. Ya, mereka menaruh benihnya di sana, tapi mereka tidak menanamnya. Mereka hanya menyimpannya. Mawlana Syekh Nazim (q) mengatakan bahwa benih yang disimpan, sedikit dari mereka menemukan jalan ke dalam tanah, ke ladang. Tapi kebanyakan dari mereka tetap tinggal di gudang. Dan mereka dimakan oleh tikus-tikus syaitan, dimakan oleh cacing-cacing ego, dimakan oleh hawa nafsu. Semuanya habis. Gudang itu adalah dunia. Benih-benih itu adalah benih yang telah dikirim Allah (swt) untuk kalian, benih Lā ilāha illā Allāh, Muḥammadun Rasūlullāh (saw). Dia berfirman, “Ambillah benih itu dan tanam di ladang, lalu lihat apa yang akan diberikannya kepadamu.” Ia akan memberi kalian dunia kalian sendiri. Setiap benih akan memberi kalian bagiannya sendiri. Ia akan menjadi dunianya sendiri. Itu adalah kalian. Kalian akan muncul, kalian menunjukkan kesempurnaan kalian.
Benih dari sebuah pohon apel akan tumbuh dan menunjukkan kesempurnaan sebagai pohon apel. Tapi jika benih itu tidak menemukan ladang, apa yang terjadi padanya? Ia akan membusuk. Jadi Allah (swt) telah memberikan benih-benih itu kepada kita masing-masing. Dia berfirman, “Tanamlah ia di ladang itu.” Di mana ladangnya? Hati kalian. Jadi, Lā ilāha illā Allāh, akan menumbuhkan iman di dalam hati. Itulah yang kalian butuhkan. Kalian harus mengizinkan Lā ilāha illā Allāh itu masuk ke dalam hati kalian dan tumbuh dengan Kitab Suci dan dengan doa. Bukan dengan hal lain.
Orang-orang membuang-buang waktunya untuk omong kosong. Mereka menyia-nyiakan waktunya untuk sesuatu yang tidak akan pernah mereka miliki. Semoga Allah (swt) mengampuni kita. Jadi, ketika kalian mencapai Allah (swt) dan kalian mencapai kesempurnaan, itulah tujuannya.
Sayyidina Malik bin Dinar berkata, “Suatu ketika aku sedang dalam perjalanan ke Makkah untuk haji. Dalam perjalanan, aku bertemu dengan seorang pemuda.” Beliau bertanya, “Dari mana asalmu?” Ia menjawab, “Aku dari Dia.” Beliau bertanya lagi, “Ke mana engkau akan pergi?” “Aku akan pergi menuju Dia.” Beliau berkata, “Aku tidak melihat apa pun yang kau bawa: makanan, minuman… siapa yang mendukungmu atau memberimu semua itu?” Ia menjawab, “Itu terserah Dia.” “Aku berasal dari-Nya.” Itulah orang yang sempurna, yang tidak melihat apa pun selain Allah (swt). “Aku akan menemui-Nya, dan dari-Nya pula makanan dan minumanku berasal.”
Beliau berkata, “Tidak, tidak bisa seperti itu. Kau butuh air dan makanan di gurun ini. Katakan padaku, apa yang kamu miliki dari zād, dari perbekalan? Apa yang kau bawa bersamamu saat meninggalkan rumah?” Ia berkata, “Aku membawa lima huruf.” Orang yang sempurna tidak membutuhkan apa pun kecuali Allah dan Kitab-Nya, Kalam-Nya. Ia berkata, “Aku membawa lima huruf dari Kitab Allah (swt).” Beliau bertanya, “Huruf apa yang kau bawa?” Ia menjawab, “Aku membawa Kāf, Hā, Yā, ‘Ain, Ṣād.” Pernahkah kalian bertemu dengan huruf-huruf Kāf, Hā, Yā, ‘Ain, Ṣād? Beberapa ulama berkata bahwa huruf-huruf Muqaṭṭaʿāt (المُقَطَّعَات), huruf-huruf tunggal itu adalah awal dari Nama-Nama Suci Allah (swt), Asmāʾullāh al-ḥusnā. Beberapa di antara mereka mengatakan demikian.
Jadi pemuda ini berkata, “Aku membawa lima huruf ini.” Jadi Sayyidina Malik bin Dinar—yang juga merupakan seorang wali besar, bertanya, “Apakah makna dari Kāf, Hā, Yā, ‘Ain, Ṣād itu?” Pemuda itu menjawab, “Kāf berarti Kāfī; Hā berarti Hādī; Yā berarti Muʾaddī; ʿAin berarti ʿAlīm; Ṣād berarti Ṣādiq.”
فَمَنْ كَانَ صَحِيبُهُ كَافِيًا، وَهَادِيًا، وَمُؤَدِّيًا، وَعَالِمًا، وَصَادِقًا، فَلَا يَحْتَاجُ إِلَى زَادٍ، وَلَا يَخْشَى، وَلَا يَخَافُ، وَلَا يَضِلُّ.
Fa-man kāna ṣaḥībuhū kāfiyan, wa hādiyan, wa muʾaddiyan, wa ‘āliman, wa ṣādiqan, fa-lā yaḥtāju ilā zādin, wa lā yakhsyā, wa lā yakhāfu, wa lā yaḍillu.
Maka barang siapa yang sahabat (pendamping)-nya adalah (Tuhan) yang Maha Mencukupi, Maha Pemberi Petunjuk, Maha Penyampai (amanat), Maha Mengetahui, dan Maha Jujur, maka ia tidak membutuhkan bekal, tidak merasa takut, tidak gentar, dan tidak akan tersesat.
Demikian bunyi kisah itu dalam bahasa Arab.
Pemuda itu berkata, “Aku membawa lima huruf ini.” Ketika ditanya, “Apa lima huruf ini?” Ia menjawab, “Kāf adalah untuk Kāfī—Yang Maha Mencukupi untukmu. Hā adalah untuk Hādī—pemandu, yang membimbingmu. Dia cukup untukmu. Dia membimbingmu. Yā adalah Muʾaddī—yang menyampaikanmu, yang menyelamatkanmu, yang membuatmu sampai. ʿAin adalah ʿĀlim—yang mengetahui, yang mengetahui segalanya, yang telah melihat kebenaran. Ṣād adalah Ṣādiq—yang jujur, yang mengatakan kebenaran.”
Ia berkata, “Siapa pun yang memiliki sahabat yang mencukupinya, yang membimbingnya, yang menyampaikannya ke tempat yang ia tuju, yang mengetahui segalanya tentang dirinya dan apa yang terjadi di sekitarnya, dan yang selalu memberitahunya yang benar—jika seseorang memiliki sahabat seperti itu, mereka tidak akan pernah tersesat; mereka tidak akan pernah takut; dan mereka tidak akan pernah tidak punya apa-apa.”
Lihat orang itu—yang telah mencapai kesempurnaan. Ia melihat bahwa Allah (swt) mencakupi segalanya untuknya. Jadi, mengapa kita duduk di sini? Untuk mencapai tingkat ilmu tersebut; untuk mencapai tingkat maḥabbah tersebut, untuk mencapai tingkat maʿrifah tersebut. Temukanlah itu. Jika kalian dapat menemukan seseorang yang menunjukkan jalan-jalan ini kepada kalian, tetaplah bersamanya. Didiklah diri kalian—jika kalian ingin menyebutnya begitu. Ingatlah diri kalian dan tingkatkan diri kalian. Biarkan pohon itu tumbuh di dalam diri kalian.
Semoga Allah (swt) mengampuni kita.
Jadi, alhamdulillah, apa yang kita ambil dari para syuyukh kita, kita senang dengannya. Apa yang mereka ambil dari sana, kita juga percaya padanya. Tuhan kita dan Tuhan mereka adalah satu. Lalu, mengapa harus ada pertengkaran terus-menerus?
Tumbuh dan mencapai Hadirat Ilahi berarti menumbuhkan benih itu, membiarkannya tumbuh, dan membiarkannya mengangkat kalian. Pohon-pohon itu akan muncul dari hati kalian. Fondasinya sangat padat, sangat aman dan stabil. Ia tidak bisa digoyahkan, dan ia akan menjulang sampai ke langit. Itulah yang kalian butuhkan.
Wahai insan, kalian membutuhkan batang kacang ajaib itu. Siapa tahu, mungkin begitu awal mula cerita itu muncul. Mungkin seseorang membaca tentang Islam lalu berkata, “Oh, sebutir kacang… benih ajaib… dan ia tumbuh menuju langit, mencapai awan.” Itulah Lā ilāha illā Allāh, Muḥammadun Rasūlullāh (saw).
Wa min Allāh at-tawfīq, bi ḥurmati al-Ḥabīb, ṣallallāhu ʿalayhi wa sallam wa bi-sirri Sūrat al-Fātiḥah