
Mawlānā Syekh Nour Kabbani
Permata Hijau, 19 September 2025
Syai’an lillāh, yuṣliḥ aḥwālanā, wa yuballighunā āmālanā.
Sedikit demi Allāh, perbaikilah keadaan kami, dan sampaikanlah kami kepada harapan-harapan kami.
Fataqbalūna ‘indakum yā rijālallāh.
Maka terimalah kami di sisi kalian, wahai para wali Allāh.
Allāhumma aj‘alhum ya’khudhū fī aydīnā yā Rabb. Āmīn.
Ya Allāh, jadikanlah mereka memegang tangan kami, wahai Tuhan. Āmīn.
Rijālallāh rijālallāh a‘īnūnā bi ‘awnillāh,
Wahai para rijālullāh (wali-wali Allāh), tolonglah kami dengan pertolongan Allāh.
wa kūnū awnalanā lillāh ‘asā naḥẓā bi faḍlillāh.
Jadilah kalian penolong kami karena Allāh, semoga kami memperoleh anugerah Allāh.
InsyāʾAllāh mereka akan menuntun kita, insyāʾAllāh mereka akan memberi syafaat untuk kita di hadirat Rasūlullāh (saw).
Khuẓū bi-‘ayninā yā sādatinā al-kirām, wasyfa‘ū la‘inda Rasūlillāh ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Tuntunlah kami dengan penuh perhatian, wahai para pemimpin kami yang mulia, dan mohonkanlah syafaat bagi kami di hadapan Rasūlullāh (saw).
Kalian memerlukan wasilah untuk datang kepada Rasūlullāh (saw). Kita tidak cukup suci untuk berada dalam hadirat yang suci itu. Jangan berpikir bahwa kalian bisa langsung mendatanginya. Barangkali seperti kaleng yang terbakar, ia akan meledak. Saya akan menyampaikan beberapa kalimat agar kalian bisa menangkap maksudnya.
Kita tidak cukup suci untuk berada di hadirat mereka. Salah satu Nama Suci Allāh (swt) adalah al-Quddūs, Yang Mahasuci. Sayyidinā Mūsā (as) berada di al-Wādi al-Muqaddas, lembah yang suci. Allāh berfirman kepada Sayyidunā Mūsā (as), “Lepaskanlah sandalmu, jangan ada kotoran di sini.” Kotoran tidak bisa diterima di Hadirat Allāh (swt). Jika tidak, engkau tidak bisa berada di sana. Jangan berpikir bahwa kalian bisa langsung mencapai Allāh, sebagaimana yang mereka katakan.
Allāh berfirman, fakhla‘ na‘layka, lepaskanlah kedua sandalmu. (Surat Ṭāhā, 20: 12). Awliyāullāh menjelaskan bahwa itu adalah sandal secara fisik dan juga sandal yang kalian bawa secara rohaniah–kotoran yang kalian bawa secara rohaniah. Apakah kedua sandal rohaniah ini? Mereka adalah qālib wan-nafs, tubuh dan ego. Tubuh penuh dengan nafsu hewani, quwwah bahīmiyyah, kekuatan bahā’im, daya kebinatangan: makan, minum, kawin; syahwatul ḥarām, tubuh ini membawa syahwat dan cenderung untuk memenuhi syahwat tersebut. Jadi Allāh (swt) berfirman, “Tinggalkanlah syahwat itu, tinggalkan nafsu terhadap kesenangan yang kotor selain daripada Hadirat-Ku.” Dan kotoran yang lainnya selain daripada tubuh itu adalah an-nafs al-ammārah.
Apakah yang diperintahkan ego kepada kalian? an-nafs al-ammāratun bis-sū’, apakah arti sū’? Menyakiti, membahayakan. Ego memerintahkan untuk menyakiti. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Awliyāullāh, al-quwwah as-sab‘iyyah, kekuatan yang kalian bawa dalam diri kalian untuk menyakiti orang lain. Itu adalah ghaḍab. Syahwah wal-ghaḍab. Jika kalian membawa syahwat dalam diri kalian, jika kalian membawa ghaḍab di dalam diri kalian, kalian tidak layak untuk berada di Hadirat Allāh (swt), kalian mempunyai kotoran dalam diri kalian.
Awliyāullāh telah datang untuk melakukan apa? Untuk membersihkan kotoran dari syahwat dan ghaḍab dalam hati kita. Ketika kalian menjadi ṭāhir, ketika kalian telah suci dari syahwatul ḥarām, suci dari ghaḍab nafsānī, maka kalian menjadi ṭāhir, suci. Ketika kalian ṭāhir–Syekh Shohib, kalian menjadi al-Hādī, menjadi seorang pembimbing. Ini adalah nama-nama Rasūlullāh (saw): al-Ṭāhir, al-Hādī, itu adalah Ṭāhā. Mā anzalnā ‘alaika al-Qur’āna li-tasyqā, (Surat Ṭāhā, 20: 2). Ketika kalian menjadi Ṭāhā, ketika kalian menjadi ṭāhir dan hādī, Allāh (swt) akan mendukung kalian dengan al-Qur’ān. Ketika kalian tidak ṭāhir, ketika kalian tidak suci, maka kalian tidak hādī, kalian akan menuntun orang kepada apa yang kalian senangi, bukan kepada apa yang disenangi Allāh (swt). Kalian menjadi seorang pembohong. Kalian mengatakan, “Aku membimbing kepada Allāh, tetapi kalian kāżib, kalian bohong. Kalian membimbing kepada diri kalian sendiri. Itu adalah quwwah nukiyyah, sebagaimana yang dijelaskan oleh Awliyāullāh, ada al-quwwah bahīmiyyah, al-quwwah as-sab‘iyyah, dan al-quwwah nukiyyah, karakteristik kekuatan kebinatangan—sab‘iyyah artinya singa, di mana mereka menyerang, membunuh, menyakiti, bertindak keji, merusak, menghancurkan, sebagaimana ego kita dengan ghaḍab yang ingin melakukan itu semua; kemudian ada quwwah nuqiyyah, yang berkaitan dengan ucapan–bukannya menjadi ṣādiq, mereka malah menjadi kāżib. Quwwah nukiyyah adalah ketika kita berbicara bohong maka kita menjadi Syaiṭān.
Jadi orang yang tidak suci, ia membimbing orang kepada dirinya sendiri dan ia berbohong kepada mereka. Jadi syahwat harus pergi. Nafsu kalian terhadap apa pun yang ada di dunia harus keluar dari hati, jika kalian ingin menjadi hādī, jika kalian ingin menjadi pembimbing, tidak boleh ada tempat untuk dunia dalam hati kalian. Dunia harus pergi dari hati kalian.
Apakah engkau hafizh Syekh Shohib? Siapa yang hafizh? Sidi Abdullah?
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِّنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ ۚ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ
A‘ūżū billāhi mina as-syaiṭāni ar-rajīm.
Wa lā tamuddanna ‘aynayka ilā mā matta‘nā bihī azwājan minhum zahratal-ḥayāti ad-dunyā linaftinahum fīh, wa rizqu rabbika khayrun wa abqā.
Dan janganlah sekali-kali engkau (Muḥammad) tujukan pandanganmu kepada apa yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka berupa perhiasan kehidupan dunia, untuk Kami uji mereka dengan hal itu. Dan karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal. (Surat Ṭāhā, 20: 131)
“Janganlah engkau memandang kepada apa yang telah Kami berikan kepada mereka dari mawar dunia ini, dari bunga-bunga dunia ini, dari kekayaan dunia ini; agar Kami dapat menguji mereka dengan apa yang Kami berikan kepada mereka.” Jadi Rasūlullāh (saw) diperintahkan, “Wa lā tamuddanna, jangan menjulurkan pandanganmu kepada apa yang telah Kami berikan kepada mereka.” Apakah ini berasal dari Surat Ṭāhā? Mungkin itu berasal dari ayat pada akhir Surat Ṭāhā. Dan di dalam Surat lainnya, saya pikir di Surat al-Hijr. Saya berharap dapat membacanya. Kita harus membaca al-Qur’ān, jangan lupa Syekh Shohib, setiap hari satu juz al-Qur’ān. Jadi, saya berusaha untuk membaca satu juz al-Qur’ān dan saya sampai pada ayat tersebut di dalam Surat al-Hijr.
لَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِّنْهُمْ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ
Lā tamuddanna ‘aynayka ilā mā matta‘nā bihī azwājan minhum wa lā taḥzan ‘alayhim wakhfiḍ janāḥaka lil-mu’minīn.
“Jangan sekali-kali engkau tujukan pandanganmu kepada apa yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka, dan jangan bersedih hati terhadap mereka. Dan berendah dirilah terhadap orang-orang yang beriman.” (Surat al-Ḥijr, 15: 88)
Jangan meregangkan mata kalian. Jangan melihat Ferrari ketika lewat, ok? Jangan melihat seperti ini (memperagakan melihat sesuatu sampai badannya berputar). Jika kalian melakukannya berarti kalian mempunyai syahwat. Apakah engkau melihatnya Diomande? Haram, Syekh. Itu adalah perintah Allāh kepada Rasūlullāh (saw). Kalian harus mengikutinya jika kalian ingin berada di jalan Ṭāhā, di jalan ṭāhir hādī. Kalian harus mengikuti jalannya Rasūlullāh (saw).
Allāh (swt) telah memerintahkan, “Lā tamudanna ‘aynayka ilā mā matta‘nā bihi azwājan minhum — jangan menjulurkan matamu, jangan meregangkan matamu, jangan membiarkan matamu mengikuti apa yang telah Kami berikan kepada mereka sebagai kesenangan.” “Wa lā taḥzan ‘alayhim—di dalam Surat al-Hijr, dan jangan bersedih hati terhadap mereka. Tinggalkan mereka. Wa-khfiḍ janāḥaka lil-mu’minīn, dan bawalah orang-orang beriman di bawah sayapmu.”
Jadi jika kalian ingin menjadi Ṭāhā, ingin mengikuti jalannya Ṭāhā – kita tidak akan pernah bisa benar-benar menjadi Ṭāhā, astaghfirullāh — itulah sebabnya kita mengatakan, “Yā Sayyidī, khuż bi-yadī, pegang tanganku. Bagaimana aku bisa menjadi seperti itu?” Tetapi jika kalian ingin menjadi seorang pembimbing, kalian harus memastikan bahwa kalian adalah ṭāhir dari syahwat dan ghaḍab, bebas dari nafsu dunia ini dan kemarahan dari dunia ini.
Allāh (swt) telah menyempurnakan Rasūlullāh (saw), dan beliau bertanya kepada Allāh (swt), “Yā Rabbī, bagaimana dengan umatku?” Dia menjawab, “Beri tahu mereka bagaimana mereka harus mengikutimu.” Jangan pernah berpikir bahwa Rasūlullāh (saw) tidak sempurna sebelum beliau menjadi Nabi. Jangan berpikir bahwa beliau tidak sempurna sebelum beliau mencapai usia 40 tahun, kemudian beliau menjadi sempurna setelah beliau berusia 40 tahun. Muḥammad telah dipuji sejak masa azali dan akan terus dipuji hingga abadi, beliau adalah Muḥammad sejak awal hingga akhir, sejak masa azali, masa yang tak bermula hingga abadi, masa yang tidak berkesudahan. Beliau selalu sempurna, tidak pernah tidak sempurna. Tetapi Allāh (swt) memenuhi keinginannya itu, “Jika mereka mengikutimu, maksudnya al-Qur’ān, jika mereka mengikuti al-Qur’ānil Karīm, jika mereka mengikuti wahyu, mereka akan menjadi sempurna sebagaimana engkau sempurna sejak masa azali hingga abadi.”
Jadi hal pertama yang akan dilakukan seorang Syekh adalah menyingkirkan syahwat itu dari kalian. Beliau akan memberitahu kalian untuk meninggalkan setelan Gucci-kalian dan pakailah turban. Tinggalkan setelan Versace kalian dan pakailah busana Muslim, busana Sunnah. Beliau akan mengatakan kepada kalian untuk meninggalkan wajah yang tercukur rapi dan biarkan janggut kalian tumbuh. Apakah kalian bisa? Itu adalah dunia. Setelan Versace itu adalah agar kalian terlihat indah di dunia. Kalian tidak akan menggunakan setelan Versace di Akhirat. Tidak ada setelan Versace di Akhirat, itu hanya untuk dunia. Ini adalah zīnatul-ḥayāt ad-dunyā, perhiasan kehidupan dunia, zahratul-ḥayāt ad-dunyā, keindahan (bunga) kehidupan dunia, gemerlap kehidupan dunia ini. Kilau atau bling-bling dari dunia ini.
Namun Allāh menciptakan manusia berbeda-beda. Tidak semua orang akan menjadi seorang syekh. Harus ada level yang berbeda di dunia agar dunia ini tetap berjalan. Jika semua orang pergi ke jalan Allāh–sebagaimana yang dikatakan oleh Awliyāullāh, wa law syā’a lahadākum ajma‘īn, dan kalau Allāh menghendaki, niscaya Dia memberi petunjuk kepada kalian semuanya. (Surah An-Naḥl, 16: 9). Tetapi jika kalian semua berada di jalan menuju Akhirat, dunia ini akan runtuh. Itu bukanlah hikmah. Oleh sebab itu Allāh (swt) yang menuntun dan menjaga jalan yang benar. Kemudian beliau mengatakan bahwa ada jalan lain, dan jika Dia mau, Dia bisa membimbing semua ke jalan itu. Bacalah surah an-Naḥl,
وَعَلَى اللّٰهِ قَصْدُ السَّبِيْلِ وَمِنْهَا جَاۤىِٕرٌ ۗ وَلَوْ شَاۤءَ لَهَدٰىكُمْ اَجْمَعِيْنَ
Wa ‘alallāhi qaṣdu as-sabīli wa minhā jā’ir, walau syā’a lahadākum ajma‘īn.
Dan kepada Allāh-lah (terletak tanggung jawab) menunjukkan jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan itu ada yang bengkok. Sekiranya Dia menghendaki, niscaya Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya. (Surah An-Naḥl, 16: 9)
Allāh (swt), Dialah yang bertanggung jawab untuk membimbing kalian ke jalan yang benar, dan begitu banyak di antara jalan itu adalah jalan yang salah, dan jika Dia menghendaki, Dia bisa membimbing kalian semua ke jalan yang benar. Tetapi itu tidak berhasil, itu tidak terjadi, karena kalau tidak, kita semua berada di jalan menuju Akhirat. Tidak ada orang yang akan mendapatkan iPhone, AI, dan Google. Tidak akan ada orang yang melakukan semua hal yang kita butuhkan itu untuk terus bertahan hidup di dunia.
Jadi, Allāh tidak menghendaki hal itu. Maka sebagian orang harus ada yang melakukan pekerjaan ini, tetapi Dia membimbing orang yang Dia kehendaki untuk melakukan pekerjaan lainnya. Jadi jika Dia membimbing para Syuyukh ini untuk memimpin; kalian memimpin jemaah kalian, Dia membimbing kalian untuk memimpin jemaah kalian, maka nasihat saya kepada kalian, jika kalian telah memilih jalan ini, kalian harus memastikan bahwa kalian harus menjadi ṭāhir.
Jadi, ya, kita semua mempunyai nafsu ini, syahwat, ghaḍab, dan kaẓib. Ketika ia masuk ke dalam hati kalian, kalian harus menyadarinya. Ketika ia masuk ke dalam hati kalian, kalian harus berjuang untuk menyingkirkannya. Berhati-hatilah. Berusahlah untuk mengingat ayat,
إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِّنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُم مُّبْصِرُونَ
Inna allażīna ittaqaw iżā massahum ṭāifun mina asy-syayṭāni tażakkarū fa-iżā hum mubṣirūn.
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, apabila mereka ditimpa waswas dari setan, mereka ingat (kepada Allāh), maka ketika itu juga mereka melihat dengan terang. (Surat al-A‘rāf, 7: 201).
Ketika Syaiṭān menyentuh kalian dengan syahwat, ghaḍab, dan kaẓib, ketika ia menyentuh hati kalian, tażakkarū–mereka ingat, fa-iżā hum mubṣirūn–maka mereka melihat sekarang. Jadi Syaiṭān akan datang, saya tidak mengatakan bahwa kita–mā syāʾ Allāh… Saya juga, Syaiṭān datang kepada saya, Syaiṭān juga datang kepada kalian, Syaiṭān tidak akan meninggalkan kita sendirian. Dia akan datang, tetapi kalian harus ingat, dan kalian akan melihat bahwa, “Yā Rabbī, aku berusaha melakukan yang terbaik, tetapi Syaiṭān datang kepadaku. Tolonglah aku.” Kalian ucapkan, “A‘ūżū billāhi mina as-syaiṭāni ar-rajīm. Ambillah dunia ini, apa pun yang telah datang ke jalanku untuk menipuku, untuk menjebakku dengan syahwat ini, dengan ghaḍab ini. Izinkanlah aku menjadi bagian dari orang-orang yang ṭāhir, maka singkirkanlah itu.”
Karena jika kalian tidak ṭāhir, Allāh tidak akan menerima amal kalian. Kalian berada di zawiyah selama berbulan-bulan, bertahun-tahun, bahkan ratusan tahun, amal itu tidak akan diterima. Rasūlullāh bersabda,
إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا
innallāha ṭayyibun lā yaqbalu illā ṭayyiban
Sesungguhnya Allāh Mahabaik, dan Dia tidak menerima kecuali yang baik. (Muslim).
Allāh (swt) adalah al-Quddus, Allāh (swt) itu Mahasuci, Allāh (swt) itu Mahatinggi, dan Allāh (swt) tidak menerima apa pun kecuali yang suci dan tinggi hanya untuk Hadirat-Nya. Innallāha ṭayyibun lā yaqbalu illā ṭayyiban, Dia tidak menerima apa pun, kecuali amal yang suci. Berhati-hatilah. Berhati-hatilah.
Saya sudah sering mendengar ayat ini dari Mawlana Syekh Hisham (q); saya berusaha mengingat Suratnya, tetapi saya tidak bisa menyebutkannya, tetapi insyāʾAllāh kalian bisa mengingatnya.
وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
Wa qadimnā ilā mā ‘amilū min ‘amalin fa ja‘alnāhu habā’an manṡūrā
Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan (amal itu) debu yang beterbangan. (Surat Al-Furqān, 25: 23)
“Wa qadimnā ilā mā ‘amilū min ‘amalin, Kami membawa, Kami datang untuk melihat amal yang telah mereka kerjakan, fa ja‘alnāhu habā’an manṡūrā, Kami jadikan amal itu debu yang beterbangan. Kami hancurkan, lumatkan menjadi debu.” Mā syāʾ Allāh Mawlana Syekh Hisham sering mengingatkan saya dan mengingatkan yang lain bahwa Allāh (swt) mampu untuk menghancurkan semua amal yang telah kalian lakukan, jika ia tidak dilakukan dengan benar. Hidup kalian akan menjadi sia-sia; hidup kalian berjalan mengikuti keinginan diri kalian sendiri. Kalian mengaku sebagai orang besar, tetapi kenyataannya kalian bekerja untuk hawa nafsu ego kalian yang rendah. Maka Mawlana mengatakan, “Berhati-hatilah agar amal kalian tidak menjadi habā’an, debu yang dilemparkan ke wajah kalian.”
Itu ada di dalam Surat Al-Furqān, pada awal juz 19, satu, dua, tiga, atau empat ayat ke bawah. Jadi temukanlah awal juz 19. Wa qadimnā ilā mā ‘amilū min ‘amalin.
Mereka ini adalah para Syuyukh (maksudnya merujuk pada para pemimpin zawiyah–red.). Mereka berpikir bahwa mereka telah melakukan sesuatu yang baik kepada umat, tetapi kemudian mereka menyadari bahwa mereka melakukannya demi diri mereka sendiri. Ḥayyul mustaqarran wa aḥsanu wakīlā, (Allāh) Yang Mahahidup, tempat menetap yang sejati, dan sebaik-baik Pelindung.
Jadi bacalah al-Qur’ān setiap hari dan ingatlah ayat ini. Bukan hanya membaca tetapi tidak memahaminya, tetapi bacalah artinya sehingga kalian dapat memperoleh manfaat. Jika kalian ingin mengikuti Rasūlullāh (saw), beliau membawa al-Qur’ān untuk kalian, bukan untuk beliau. Beliau sudah sempurna. Beliau sudah mencapai Allāh (swt), bukan sekarang, tetapi sejak masa azali. Saya mendengar dari Mawlana Syekh Nazim (q), sejak kapankah Lā ilāha illā Allāh? Sejak kapan?
(kembali ke amal yang menjadi debu–red.) Semuanya lenyap. Mā syāʾ Allāh kalian melakukan żikir bertahun-tahun, tetapi itu menjadi debu yang dilemparkan ke wajah kalian. Kalian melakukan haji dan umrah, dengan membawa seluruh pengikut kalian, tetapi itu menjadi debu yang dilemparkan ke wajah kalian, habā’an manṡūrā, karena niatnya tidak khāliṣ, niatnya tidak murni untuk Allāh. Kalian menyekutukannya. Itu untuk Allāh, tetapi juga untuk ego kalian. Jadi itu adalah syirik.
Jadi Sidi Shohib, mereka itu tidak berada di kursi panas. Engkaulah yang berada di kursi panas. Engkau di kursi panas, saya di kursi panas. Kalian pikir nyaman di kursi panas? Cobalah! Di Akhirat, bukan di sini. Di sini itu memang menyenangkan, ya. Mawlana Syekh Nazim (q) mengatakan bahwa Mereka tidak membawa domba ke pengadilan, tetapi Mereka membawa gembalanya ke pengadilan. Jika kalian imam, maka kalian bertanggung jawab atas semua orang di belakang kalian. Namaz (ṣalāt) mereka adalah berdasarkan namaz kalian. Jika namaz kalian mempunyai kekurangan, mereka akan meminta kepada Allāh (swt), mereka akan mengatakan, “Yā Rabbī, Imam kami bodoh. Ia tidak melakukannya dengan benar, kami menginginkan ṡawāb–pahala kami darinya.”
Mā syāʾ Allāh setiap orang ingin menjadi imam. Semua orang di belakang kalian akan bertemu dengan kalian pada Hari Perhitungan. “Yā Rabbī, orang ini melakukan kesalahan. Aku mengikutinya di belakangnya. Aku menginginkan ḥasanah-ku darinya. Berikanlah kepadaku.” Itulah sebabnya Rasūlullāh (saw) bersabda, “Jangan terburu-buru menjadi imam.” Lebih baik menjadi mu’azzin. Mengumandangkan azan itu lebih baik karena segala sesuatu yang mendengarkan azan kalian akan menjadi saksi kalian pada Hari Perhitungan, bahwa kalian mengatakan, “Allāhu Akbar, Allāhu Akbar,” bahwa kalian mengucapkan syahadat, bahwa kalian mengumandangkan azan. Bukan hanya manusia, tetapi juga ḥajar dan syajar, batu dan pohon.
Jadi kalian mengetahui semua ini. Saya tidak sedang mengajari kalian sesuatu, tetapi saya mengingatkan. Saya mengingatkan diri saya sendiri. Itulah yang selalu dikatakan oleh Syuyukh kita. Wa żakkir! Dan berilah peringatan! Jangan menganggap seolah-olah mereka tidak tahu dan saya mengajari mereka. Mereka mengetahui semua hal ini, tetapi mereka lupa. Perintah Allāh (swt), amr,
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَىٰ تَنفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
Wa żakkir fa innaż-żikrā tanfa‘ul-mu’minīn
Dan berilah peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin. (Surat Aż-Żāriyāt, 51:55).
Ingatkan mereka, sesungguhnya ketika mereka ingat, itu akan bermanfaat bagi Mukmin. Jadi, Syekh Shohib, ada pintu keluar; kau bisa pensiun. (tertawa) “Aku sudah selesai, aku tidak ingin melakukan ini. Aku tidak ingin duduk di kursi panas.” Bisakah kalian melakukannya? Tidak, karena kita mencintai dunia. “Apa maksudmu aku bukan Syekh lagi?” “Apa maksudmu aku bukan mu‘allim lagi?” Tidak!
Oleh sebab itu ketika seorang murid atau quḍāt atau hakim, orang-orang besar, putri kerajaan dan Sultan mendatangi Awliyāullāh; Awliyāullāh akan meletakkan pada mereka, sebagaimana yang kita ketahui melalui kisah asal Turkiye bahwa beliau meletakkan ciğer (dibaca: jier) atau jeroan hati pada seorang qāḍī (hakim), Aziz Mahmud Hüdayi, lalu berkata, “Pergilah ke pasar wahai qāḍī , dengan pakaian mewahmu dan juallah jeroan hati ini.” Jeroan hati itu masih meneteskan darahnya. “Juallah jeroan ini kepada setiap orang yang mengenalmu. Juallah hati yang penuh darah itu.” Jadi ia pergi meninggalkan dergah Syekh, zawiyah Syekh dan bersembunyi di balik dinding. Pertama ia tidak mau melakukannya. Mereka meletakkan jeroan hati itu di pundaknya, dan ia pergi meninggalkan zawiyah lalu bersembunyi di balik dinding dan melihat siapa yang ada di pasar, apakah ia mengenalnya atau tidak; apakah mereka mengenalinya atau tidak. Itu adalah pertarungan antara dirinya dengan Syaiṭān dan egonya.
Pertarungan dengan Syaiṭān terjadi di balik dinding itu. “Aku adalah seorang yang besar,” “Aku adalah seorang alim,” “Aku sudah sekolah,” “Aku mempunyai ijazah,” “Aku mengetahui ini dan itu,” “Kau mengatakan bahwa aku harus pergi seperti ini?” Itu adalah egonya yang berkata kepada Aziz Mahmud Hüdayi sebelum ia menjadi seorang Wali. Tetapi ia tetap melakukannya. Ia mengikuti perintah Syekh. Itu sangat berat baginya. Mereka membuat sebuah film tentangnya dan aktornya memainkan perannya dengan sangat baik. Orang-orang menertawakannya, anak-anak memukulinya, dan mereka mengatakan bahwa ia sudah gila; karena sungguh, jika seseorang ingin menapaki jalan Allāh, mereka akan mengatakan bahwa kalian sudah gila.
Jadi ketika ia mengikuti perintah Syekh, syahwat di hatinya–syahwat terhadap dunia menghilang. Kecintaan terhadap penampilan, kecintaan terhadap kekuasaan, kecintaan terhadap ketenaran menghilang dari hatinya, demikian pula dengan ghaḍab. Orang-orang mengolok-oloknya, menamparnya, bahkan menendangnya. Ghaḍab di dalam dirinya yang ingin membalas, menendang kembali, menampar kembali, menyerang kembali juga menghilang. Tanpa madad (dukungan) kita tidak bisa melakukan itu. Yang perlu kalian lakukan adalah melakukan langkah pertama.
إِن تَقَرَّبْتَ إِلَيَّ شُبْرًا فَقَرَّبْتُ إِلَيْكَ ذِرَاعًا
In taqarrabta ilayya syubran, fa qarrabtu ilayka żirā‘an
Barang siapa mendekat kepada-Ku sejengkal, niscaya Aku mendekat kepadanya sehasta.
“Jika engkau mendekati-Ku sejengkal, Aku akan mendekatimu sehasta. Jika engkau melangkah mendekati-Ku, Aku akan berlari mendekatimu.” Itulah madad-nya. Tidak ada madad tanpa langkah pertama. Dan langkah pertamanya adalah dengan mengatakan, “Aku melakukan perintah Syekhku.” Setelah itu, kekuatan akan datang menyingkirkan semua syahwat, ghaḍab, kāżib, hiqd, hasad, semua kotoran itu. “Lepaskan kedua sandalmu.” Tinggalkan semua kotoran itu, semua kotoran itu akan meninggalkan hati kalian.
Jadi Syekh, saya menyesal terhadapmu, saya menyesal terhadapnya, saya menyesal pada diri saya sendiri. Ketika ayah saya wafat, selama tiga bulan saya menyesal terhadap diri saya sendiri. Saya tidak menginginkannya. Kalian bisa melihat kembali, saya tidak memberikan baiat selama dua atau tiga bulan. Ketika Mawlana Syekh Nazim (q) wafat, keesokan harinya baiat diberikan. Mereka tergesa-gesa. Saya menyesal terhadap diri saya sendiri, saya tidak ingin berada di kursi panas di Akhirat. Di manakah iman untuk Akhirat? Mereka bergegas, mengatakan, “Baiat, baiat, baiat…” Apa itu baiat? Nanti dulu, apa yang terjadi bila kalian memberikan baiat? Apakah kalian memikirkannya? Apakah kalian berbohong kepada mereka? Apakah kalian mengkhianati mereka? Orang-orang mempercayai kalian. Mereka mempercayakan diri mereka kepada kalian untuk dibawa kepada Rasūlullāh (saw). Apakah kalian mampu membawa mereka kepada Rasūlullāh (saw)? Jujurlah dengan diri kalian sendiri.
Lihat, apakah ada seseorang yang dapat membawa mereka kepada Rasūlullāh (saw)? Tidak! Karena ḥubbud-dunyā ada di dalam hati mereka. Mereka tidak mau mencari orang lain. Siapa yang mampu membawa mereka kepada Rasūlullāh (saw)? “Bukan aku,” mereka seharusnya mengatakan seperti itu. Adakah orang yang mau mengatakan seperti itu? Jujurlah dengan diri sendiri—kalau tidak, pertama kalian sudah berbohong kepada diri kalian sendiri dan kepada orang-orang di dalam sana. Tetapi karena mereka bukan alim, mereka tidak merasa takut.
Allāh (swt) mengatakan kepada kalian,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Innamā yakhsyallāha min ‘ibādihi al-‘ulamā’
Sesungguhnya yang benar-benar takut (kagum dan tunduk) kepada Allāh di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama. (Surat Fāṭir, 35: 28)
Orang yang takut dengan hal tersebut adalah siapa? Orang yang mempunyai ilmu tentang hal itu adalah seorang alim. Kalian tidak bisa menjadi Wali jika kalian jahil. Wali tidaklah jahil. Kalian harus menjadi alim, dan ketika kalian alim maka kalian akan merasa takut terhadap tanggung jawab itu. Jadi kalian harus tahu, jika ada orang yang bergegas dengan sangat cepat setelah kejadian semacam ini, dia bukannya alim, tetapi jahil. Mereka segera bertindak, “Aku ingin menjadi sesuatu.” Mereka bergegas ingin menjadi sesuatu. Mereka adalah jahil, bukannya alim. Kalian harus tahu. Tinggalkan mereka. Jangan mengatakan hal ini kepada orang-orang, tetapi kalian harus tahu.
Selama dua atau tiga tahun, saya tidak memberi baiat. Saya katakan, “Tidak, saya tidak ingin melakukannya. Saya hanya akan melakukan apa yang ayah saya katakan: lakukan żikir dan ṣuḥbah.” Tetapi mereka mendesak saya. Ini adalah kesalahannya Diomande (tertawa). Bukan hanya dia, tetapi semua orang di Amerika, juga orang ini di Inggris bersama jemaahnya, di sini saya tidak mendapatkannya, alḥamdulillāh. Jadi jika orang-orang mendorong kalian untuk imāmah–posisi sebagai imam, kalian tidak mempunyai tanggung jawab. Kau tahu hal itu bukan, Imam Shobib? Ketika mereka mendorong, mendorongmu…, benar bukan? Bukankah hal itu benar Syekh? Jika engkau alim, kau akan mengerti.
Jadi itulah alasan saya, “Yā Rabbī, mereka mendorongku. Aku tidak menginginkannya, tetapi mereka mendorongku, sehingga aku mengatakan, ‘Baiklah.’” Untuk menjaga ṣaf, untuk menjaga namaz, untuk menjaga ṣalāt, untuk menjaga munajat, untuk menjaga mi’rāj, untuk menjaga ḥuḍūr. Untuk melakukan itu, tidak masalah, saya menerima; saya mempunyai alasannya. Tetapi kita mempunyai Mawlana, beliau mendukung kita semua. Tetapi jangan terburu-buru melakukan hal semacam itu, itu adalah kursi panas. Kalian membuka pintu Neraka bagi diri kalian sendiri, jika kalian tidak suci tetapi kalian masuk ke dalam posisi itu.
Jadi kita harus mempertahankan jemaah, menjaga munajat, menjaga ṣalāt, menjaga ṣaf, menjaga ibadah, dan jagalah yadullāh, sebab yadullāhi ma‘al-jamā‘ah. Jadi jika kalian didorong kepada sesuatu, Allāh akan menolong kalian untuk menyelesaikannya. Jadi kita tetap bersama, Imam kita sudah diketahui, kita tidak menciptakan sesuatu yang baru. Kita tidak mengklaim untuk menjadi seperti itu, kita mengikuti mereka sebagaimana mereka menempatkan kita pada posisi yang mereka inginkan. Kita berusaha melakukan yang terbaik, melayani umat Rasūlullāh (saw), melayani ‘ibadullāh.
Wahai Syekh Shohib, engkau lihat dua orang yang datang? Yang ini mempunyai Mercedes, yang ini sepeda motor. (Lalu memperagakan memanggil orang pertama), “Silakan, silakan.” Jangan melakukan hal itu. Rasūlullāh (saw) duduk bersama kaum fuqarā’ sebagaimana beliau duduk bersama kaum aghniyā’. Itu adalah sama bagi beliau. Masjid adalah sama. Hati manusia adalah sama. Pakaiannya berbeda, tetapi hati manusia adalah sama dan ia ingin disucikan, apakah ia miskin atau kaya; apakah ia tinggi atau rendah, itu adalah hati manusia yang sama yang mencari cinta Allāh (swt) dan ingin menjauhkan diri dari kecintaan terhadap dunia.
Ketika para pembesar, para pemuka masyarakat sedang duduk bersama Rasūlullāh (saw), kemudian datanglah seorang a‘mā, seorang tuna netra, seorang miskin datang, Rasūlullāh (saw) merasa tidak enak.
عَبَسَ وَتَوَلَّىٰ أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَىٰ
‘Abasa wa tawallā, an jā’ahu al-a‘mā
Ia bermuka masam dan berpaling, karena telah datang kepadanya seorang tuna netra. (Surat ‘Abasa, [80: 1–2)
Lalu Allāh menegur beliau. Itulah sebabnya Rasūlullāh (saw) bersabda, “Adabani rabbī fa aḥsana ta’dībī,” “Tuhanku telah mengajariku adab tertinggi.” Jadi Allāh (swt) menyempurnakan adab umat. Rasūlullāh (saw) adalah cermin dari tajallī Allāh (swt). Jadi tajallī Allāh (swt) pada cermin itu dipantulkan kepada umat. Jangan berpikir bahwa itu adalah ketidaksucian Nabi (saw), tidak! Ketahuilah bahwa itu adalah ketidaksucian kita, dan Rasūlullāh (saw) adalah cerminan dari ilmu dan metodologi untuk mensucikan diri kita dari hal tersebut. Jadi ketika kalian sedang duduk bersama orang-orang besar, lalu seorang miskin datang dan ingin masuk majelis, jangan mengusir mereka atau memandang mereka dengan cara yang buruk. Itu bukan cara yang Allāh sukai.
Baiklah, saya rasa sudah cukup nasihatnya, sekarang sudah pukul 12 malam. Jika kalian tidak mengingat apa yang saya katakan, ingatlah ṭāhir, hādī. Jika kalian ingin menjadi hadi, kalian harus menjadi ṭāhir.
© Hak Cipta 2025 Haqqani Indonesia. Seluruh hak dilindungi. Transkrip ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta internasional. Mohon cantumkan atribusi kepada Haqqani Indonesia saat membagikannya. JazakAllāhu khayr.