Syekh Nour Kabbani
Dallas, TX, 11 Oktober 2025
A‘ūżū billāhi mina as-syaiṭāni ar-rajīm.
Bismillāh ar-Raḥmān ar-Raḥīm.
Semoga Allah (swt) menjauhkan setan dan para pengikutnya dari majelis kita. Kita tidak membutuhkan setan, kita tidak membutuhkan para syayāṭīn, kita tidak membutuhkan para pelaku kejahatan di antara kita. Kita memohon kepada Allah (swt) agar menjadikan kita termasuk golongan orang-orang yang baik.
Saya tidak bisa melihat siapa pun di belakang karena semua kamera di depan saya, tetapi tidak apa-apa. Saya hanya melihat tiga mata di sini dan dua mata di sana — lima mata yang menatap saya. Sebagaimana Mawlana Syekh Nazim (q) berkata, “Kalian harus tahu bahwa setiap mata sedang memandang kalian, dan setiap mata pada dasarnya adalah mata Allah (swt).” Allah memandang ciptaan-Nya melalui mata ciptaan itu sendiri. Mawlana Syekh Nazim (q) — itulah khasyah-nya, rasa takut dan kewaspadaannya kepada Allah (swt) — bahwa sekalipun beliau melihat orang-orang di hadapannya memandang beliau, sesungguhnya yang melihat dirinya melalui mereka adalah Allah (swt). Dengan begitu, beliau membuat segala sesuatu selain Allah lenyap. Itulah yang mereka sebut mā siwā Allāh. Pernah mendengar istilah mā siwā Allāh? Mā siwā Allāh berarti “selain Allah,” segala sesuatu yang bukan Allah.
Para Awliyā’ullāh, para wali Allah yang sejati, adalah mereka yang telah membuat segala sesuatu lenyap dari pandangan mereka. Satu-satunya yang mereka lihat hanyalah perbuatan Allah, serta Asmā’ (Nama-Nama) dan Ṣifāt (Sifat-Sifat)-Nya — tidak ada yang lain. Itulah tingkatan īmān yang paling tinggi: an ta‘budallāh ka’annaka tarāh — beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Maka, sebagaimana seseorang yang seolah-olah melihat Allah, demikianlah para Awliyā’ullāh memandang makhluk lain.
Mereka tidak melihat kalian berbuat buruk kepada mereka; sebaliknya, mereka melihat bahwa melalui diri kalian, Allah (swt) sedang mengirim sesuatu kepada mereka dengan Nama-Nama-Nya yang Suci. Itu bisa jadi melalui Al-Muntaqim — tahukah kalian apa arti Al-Muntaqim? Yang Maha Pembalas, Zat yang melakukan pembalasan. Atau bisa juga melalui Al-Mużill — tahukah kalian apa arti Al-Mużill? Yang Maha Merendahkan, yang menjadikan seseorang żālīl (hina, rendah hati di hadapan-Nya). Atau bisa juga melalui Nama Allah Aḍ-Ḍārr — tahukah kalian apa arti Aḍ-Ḍārr? Wahai Syekh, kalian harus mengetahui Nama-Nama itu, Asmā’ Allāh al-Ḥusnā. Aḍ-Ḍārr berarti “Dia yang mengirimkan mudarat (bahaya) kepadamu.” Pernahkah kalian mendengar Nama Suci itu?
Kita membaca 99 Asmā’ Allāh al-Ḥusnā setiap waktu Subuh— untuk apa? Agar kita mengingat Nama-Nama Allah (swt) dan bagaimana Dia dapat menampakkan Diri-Nya melalui Nama-Nama itu kepada ciptaan-Nya. Allah (swt) memiliki Nama Aḍ-Ḍārr dan An-Nāfi‘, bukan begitu? Allah (swt) — dengan Nama-Nya yang Suci Aḍ-Ḍārr — adalah Zat yang dapat mengirimkan bahaya. Dan dengan Nama-Nya An-Nāfi‘ — Zat yang dapat mendatangkan manfaat. Maka kalian harus tahu, bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat menyentuh kalian, tidak ada sesuatu pun yang dapat mencelakai kalian, kecuali dengan izin Allah (swt). Bukankah begitu?
Apa yang dikatakan oleh Rasūlullāh (saw)?
وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ
Sekiranya seluruh manusia berkumpul untuk mencelakaimu, mereka tidak akan mampu mencelakaimu kecuali dengan apa yang telah Allah tetapkan untukmu. (Riyāḍ al-Ṣāliḥīn, Ḥadīṡ ke-62; al-Tirmiżī, ḥasan ṣaḥīḥ)
Bukankah itu benar? Maka di manakah posisi kaum Muslimin dan orang-orang beriman dari pemahaman hal itu? Di manakah posisi kita dari kesadaran tersebut? Kita harus menyadarinya.
Jadi ketika saya mendengar guru kita berkata bahwa beliau melihat Allah (swt) sedang memandangnya melalui mata orang lain, saya memahami bahwa beliau telah membuat semua selain Allah lenyap dari pandangan. Tak ada siapa pun yang tersisa di sini. Wahai Amīr, seratus tahun lagi — di manakah engkau? Sudah tiada. Bahkan setelah malam ini pun — engkau tak lagi di sini. Maka siapakah yang Bāqī (Yang Kekal)? Apakah kita mengetahuinya? Kalian harus mengetahuinya.
Itulah sebabnya, ketika kalian membaca Asmā’ Allāh al-Ḥusnā, dan kalian benar-benar memahami maknanya, kalian akan masuk Surga, karena kalian telah memahami ḥaqīqah. Kalian telah memahami realitas yang sebenarnya. Mereka berbicara tentang berbagai “realitas”, tetapi kenyataannya hanya satu: bahwa yang ada hanyalah Allah, tak ada yang lain. Dialah yang mempertahankan siapa yang Dia kehendaki di sisi-Nya, dan Dialah yang melenyapkan siapa pun yang Dia kehendaki dari Hadirat-Nya.
Sebagaimana guru kita mengatakan, jika Allah (swt) berfirman “Kun” (Jadilah), maka terjadilah. Dan jika Dia berfirman “Jangan ada,” apakah kalian dapat bertahan? Bila Dia berfirman “Kun,” kalian akan ada, kalian akan berwujud. Bila Dia berfirman “Lenyaplah,” maka kalian akan lenyap. Apakah kalian punya kuasa atas itu? Apakah kalian pernah berkata kepada Allah (swt), “Wahai Tuhanku, kirimlah aku kepada keluarga ini, pada hari ini, di tahun ini. Aku ingin mendaftar untuk masuk ke dunia ini. Aku ingin keluarga yang kaya, dengan banyak mobil Bentley yang indah”? Kita bahkan tadi melihat Bentley di jalan raya bukan, Syekh? Orang itu memacunya dengan cepat. “Aku ingin ayahku punya Bentley supaya aku bisa mengendarainya kapan pun aku mau.” Apakah kalian pernah mengajukan permintaan itu? Tidak. Kalian tidak punya kuasa apa pun untuk masuk ke dunia ini, dan kalian juga tidak punya kuasa untuk keluar darinya. Siapakah yang memiliki kuasa untuk masuk atau keluar dari dunia ini? Tak seorang pun. Allah berfirman “Jadilah,” maka kalian pun muncul. Bila Dia berfirman “Jangan ada,” kalian pun lenyap. Maka siapakah Al-Bāqī? Allah (swt).
Maka ḥaqīqah, kenyataan sejati, adalah bahwa hanya Allah (swt) beserta Asmā’ dan Ṣifāt-Nya yang benar-benar ada. Kalian hanyalah cerminan dari Nama-Nama-Nya yang Suci. Kalian adalah cerminan dari Sifat-Sifat-Nya yang Suci — tidak lebih. Jika bukan kalian, maka akan ada orang lain yang datang. Ketika kalian wafat, orang lain akan datang dan memantulkan sebagian dari Nama-Nya, sebagian dari Sifat-Nya — tetapi tidak semuanya. Hanya satu makhluk yang dapat memantulkan seluruh Nama dan Sifat-Nya, yaitu Rasūlullāh (saw). Beliaulah cermin sempurna dari Pancaran Ilahi, dari Tajallī Ilahi, dari Limpahan Ilahi. Rasulullah (saw) adalah cermin tempat Allah (swt) memantulkan apa yang Dia kehendaki, dan pantulan itu memancar kepada seluruh ciptaan, kepada semesta raya.
Maka sebenarnya kalian bukan apa-apa. Pada hakikatnya, kalian adalah lā syay’a — tiada apa pun. Kalian tidak memiliki kuasa atas apa pun. Jadi jika Allah (swt) menjadikan seseorang sebagai pantulan dari Nama-Nya Aḍ-Ḍārr — maka lihatlah, berapa banyak di dunia ini yang demikian? Mungkin di abad ini, Nama Aḍ-Ḍārr sedang tercermin melalui sebagian manusia. Namun demikian, ada juga yang merupakan pantulan dari Nama-Nya An-Nāfi‘— mereka memberi manfaat kepada sesama. Ada yang merupakan pantulan dari Nama-Nya Al-Karīm — mereka dermawan. Ada yang merupakan pantulan dari Nama-Nya Ar-Raḥīm — mereka penuh kasih sayang. Ada yang merupakan pantulan dari Nama-Nya Al-‘Azīz — mereka berada pada kedudukan tinggi, penuh wibawa dan kemuliaan. Dan ada pula yang menjadi pantulan dari Nama-Nya Al-Khāfiḍ — Yang Merendahkan. Maka ketika seseorang berada di atas, Allah mengutus yang lain, dan yang tinggi itu menjadi rendah, sementara yang lain diangkat menjadi tinggi. Ar-Rāfi‘ — Yang Mengangkat derajat, dan Al-Khāfiḍ — Yang Menurunkan derajat.
Maka dunia ini sebenarnya bukan apa-apa. Seluruh ciptaan ini tidak lain hanyalah pantulan dari Asmā’ dan Ṣifāt Allah (swt). Adapun ‘Ālam aż-Żāt — alam Żat Allah — kalian tak akan pernah bisa memasukinya. Identitas Żat Allah (swt) itu kita sebut Hū, “Dia” — yang tidak dikenal, tidak terlihat, dan tak dapat dijangkau oleh apa pun. Tak ada satu pun yang dapat memahami atau menyelami-Nya. Hū adalah Hū, selalu Hū. Itulah ‘Ālam aż-Żāt, alam Żat-Nya yang Mahasuci, dan kalian tak akan pernah mengerti apa maknanya.
Namun kalian dapat memahami apa yang terjadi di ‘Ālam al-Asmā’ waṣ-Ṣifāt, yaitu alam ciptaan. Allah (swt) menampakkan Nama-Nama-Nya yang Suci pada ciptaan ini — dan dari situlah kita semua berwujud. Maka kenalilah Nama-Nama Allah (swt) yang Suci. Mereka ingin menjadi seperti Imam al-Bukhārī dan Imam Muslim telah menulis begitu banyak ḥadīṡ, sedangkan masih banyak dari kita yang belum benar-benar mengenal Asmā’ Allāh al-Ḥusnā dan bagaimana Nama-Nama itu termanifestasi di dunia ini. Ketahuilah bagaimana Asmā’ Allāh al-Ḥusnā terpantul dalam kehidupan ini. Kenalilah Allah — itulah Ma‘rifatullāh — dan dari situ kalian akan sampai kepada Ḥaqīqah, Kebenaran Sejati.
Semoga Allah (swt) mengampuni kita. Jadi, apakah realitas itu?
Dikatakan bahwa,
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu.
Barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal hakikat, mengenal Tuhannya.
Kalian harus tahu kalian adalah pantulan dari Nama yang mana? Itulah rahasia kalian. Mereka sering berbicara tentang rahasia — “dia punya rahasia, aku punya rahasia” — tetapi apakah sebenarnya rahasia itu? Rahasia itu adalah menemukan Nama Ilahi mana yang kalian wakili. Kalian adalah perwujudan dari salah satu Nama-Nya yang Suci, cahaya dari Nama-Nama-Nya yang termanifestasi dalam ciptaan ini.
Hanya satu makhluk yang menjadi pantulan dari seluruh Nama dan Sifat-Nya, yaitu al-Kāmil al-Muḥammadī — Rasūlullāh (saw). Dan beliau mampu memberikan dan membentuk cermin lain. Sayyidunā aṣ-Ṣiddīq raḍiyallāhu ‘anhu adalah cermin sempurna dari Rasūlullāh (saw); keduanya memantulkan seluruh Nama dan Sifat Ilahi. Itulah ‘Abdullāh — “hamba Allah” — nama yang mengandung seluruh Nama dan Sifat Allah (swt). Di bawah Nama Allāh, terangkum seluruh Asmā’ dan Ṣifāt.
Maka sebagaimana dikatakan oleh para Awliyāullah, ada ‘Abdullāh (hamba Allah), ada ‘Abd al-Aḥad (hamba dari Yang Maha Esa), ada ‘Abd al-Wāḥid (hamba dari Yang Maha Tunggal), dan ada ‘Abd aṣ-Ṣamad (hamba dari Yang Maha Menjadi Sandaran). Mereka semua adalah ‘Abīdullāh — hamba-hamba Allah (swt) yang mewakili Nama-Nama tertentu. Maka rahasia kalian — atau “rahasia” yang sering dibicarakan — adalah mengetahui Nama mana yang kalian wakili. Dan inilah yang saya dengar langsung dari Mawlana Syekh Nazim (q).
Beliau berkata, “Kau akan menemukan “namamu”.” Dan bagi seseorang yang mewakili Ismullāh al-A‘ẓam (Nama Agung Allah), dua nama itu akan bersatu dan membuka sesuatu… Apa yang dibuka oleh dua kunci? Brankas seperti apa? Siapa di sini yang seorang banker? Saya membawa kunci saya, dan pegawai bank membawa kuncinya; ketika keduanya dimasukkan dan diputar bersamaan, maka terbukalah brankas itu, dan kalian melihat harta simpanan kalian. Bukankah begitu?
Maka Mawlana Syekh Nazim (q) menjelaskannya seperti ini, “Ketika engkau menemukan Nama apa yang engkau bawa, atau yang engkau wakili, atau Nama yang cahayanya telah dianugerahkan kepadamu — maka al-Mursyid al-Kāmil, al-Ghawṡ di zamanmu, memiliki “kunci utama”. Apakah kunci utama bisa membuka semua kunci? Ya, bisa. Maka orang yang mewakili seluruh Nama, dialah pemegang kunci utama itu.”
Jadi, jika kalian menemukan seseorang yang memiliki kunci utama, dan kalian juga telah menemukan kunci milik kalian sendiri, ketika keduanya disatukan, rahasia kalian akan terbuka. Inilah yang mereka maksud ketika berbicara tentang “rahasia” — temukan dulu Nama yang kalian wakili. Itulah rahasia sebenarnya. Setelah kalian mengetahui Nama yang kalian wakili, dan mengetahui siapa yang mewakili semua Nama, maka kalian telah menempuh jalan untuk mengenal Tuhan kalian di dalam diri kalian sendiri.
Allah Ta‘ala tidak berada di suatu tempat—Dia meliputi segala sesuatu. Muḥīṭ.
أَلَا إِنَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ مُحِيطٌ
alā innahu bi-kulli shay’in muḥīṭ (QS. Fuṣṣilat [41]: 54)
Dia meliputi segala sesuatu. Artinya, segala sesuatu berada dalam Kekuasaan-Nya (Qudrah). Engkau pun berada di dalam kekuasaan-Nya, jika boleh dikatakan begitu. Allah berfirman dalam Surah az-Zumar:
وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ
wal-arḍu jamī‘an qabḍatuhu yawma al-qiyāmah, was-samāwātu maṭwiyyātun biyamīnih
(QS. az-Zumar [39]: 67)
Seluruh bumi berada dalam genggaman-Nya pada Hari Kiamat, dan langit-langit terlipat oleh “Tangan Kanan”-Nya. Jangan memahami “Tangan Kanan-Nya” seperti tangan kita. Tidak. Para wali Allah menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah Qudrah—Kekuasaan-Nya. Maka segala sesuatu berada dalam genggaman Allah (swt); semuanya berada di dalam “Tangan”-Nya, yakni dalam kekuasaan dan kehendak-Nya.
Setelah kalian mengetahui Nama Ilahi mana yang kalian wakili—Nama yang Allah anugerahkan kepada kalian—itulah makna firman-Nya:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ
Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam. (QS. al-Isrā’ [17]: 70)
Dia telah menaruh di dalam diri kalian cahaya—yakni Nama Ilahi yang kalian wakili. Kalian harus menemukan Nama itu. Apakah kalian termasuk yang baik? Apakah kalian termasuk yang dermawan, penyayang—siapakah kalian sebenarnya?
Kemudian, apabila kalian menemukan mursyid yang memiliki kunci utama, berarti ia telah dikaruniai Ismullāh al-A‘ẓam—yakni mencakup seluruh Asmaul Ḥusnā. Dan Ismullāh al-A‘ẓam itu, sebagaimana Mawlana Syekh Nazim (q) menjelaskan, terdapat dalam kalimat Bismillāh ar-Raḥmān ar-Raḥīm. Ia tersimpan dalam empat kata suci itu: Bismillāh ar-Raḥmān ar-Raḥīm—“Dengan Nama Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”
“Ar-Raḥmān” dan “Ar-Raḥīm” sering kali diterjemahkan secara campur-aduk: “Maha Pengasih, Maha Penyayang,” “Maha Pemurah, Maha Penyayang,” dan sebagainya. Padahal, Ar-Raḥmān adalah rahmat yang umum untuk semua makhluk, sedangkan Ar-Raḥīm adalah rahmat yang khusus bagi orang-orang beriman.
Sebagaimana dalam firman-Nya:
وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا
Dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang beriman. (QS. al-Ahzāb [33]: 43)
Jadi, Raḥīm adalah rahmat khusus yang datang setelah iman; rahmat yang mengangkat kalian ke maqām kalian di Hadirat Ilahi. Raḥmān adalah rahmat umum—diberikan kepada semua, baik Mukmin maupun tidak. Kalian diberi mata, telinga, makanan, kendaraan, pakaian—semuanya dari rahmat Allah yang umum itu.
Namun Raḥīm adalah rahmat khusus yang dengan itu Allah menarik kalian mendekat kepada-Nya. Itulah yang disebut al-jażbah al-ilāhiyyah — Tarikan Ilahi. Bagaimana hal itu terjadi? Bagaimana kalian tahu bahwa kalian sedang tertarik kepada-Nya? Bagaimana kalian tahu bahwa Jażbah Ilahiyyah—Tarikan Ilahi—telah mencapai diri kalian dan menarik kalian mendekat kepada-Nya? Itu terjadi ketika kalian memiliki iman, ketika kalian menerima risalah yang dibawa oleh para Rasul. Itu berarti Tarikan Ilahi dan ‘Ināyah Ilahiyyah (Perhatian dan Pemeliharaan Ilahi) telah memegang kalian dan menarik kalian kepada-Nya—dan kalian mencintai hal itu.
Jika kalian mencintai iman, ketahuilah bahwa Allah (swt) sedang menarik kalian ke Hadirat-Nya yang suci. Karena itu Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
وَلَٰكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ
Wa lākinna Allāha ḥabbaba ilaykumul īmān wa zayyanahu fī qulūbikum, wa karraha ilaykumul kufra wal-fusūqa wal-‘iṣyān. (QS. al-Ḥujurāt [49]: 7)
“Allah telah menjadikan iman itu indah di hatimu dan menjadikan kekafiran, kefasikan, serta kedurhakaan terasa buruk bagimu.”
Jadi, ketika Allah (swt) menarik salah satu hamba-Nya, maka di dalam hatinya—baik laki-laki maupun perempuan—akan timbul rasa cinta kepada Allah dan kepada iman kepada-Nya. Ia akan merasakan bahwa ia tidak sanggup menolak Sang Pencipta, tidak sanggup mengingkari para rasul. Itu berarti Allah (swt) telah menggenggam dirinya. Dan itu merupakan tanda besar. Maka dari situlah kalian mulai—hingga kalian mengenali siapa diri kalian sebenarnya.
Kalian bukan tubuh ini, dan kalian juga bukan semata-mata ruh ini. Kalian adalah perpaduan antara ruh dan jasad. Ketika keduanya berpadu, lahirlah “anak.” Maka kalian adalah anak dari ruh dan juga anak dari bentuk jasmani. Itulah yang disebut al-qalb—hati.
Jadi pada hakikatnya kalian berasal dari dua dimensi: kalian adalah makhluk bumi sekaligus makhluk langit—setengah bersifat duniawi (arḍī), setengah bersifat samawi (samāwī). Dan demikianlah keadaannya Nabi ʿĪsā (as). Beliau setengah bersifat duniawi melalui ibunya, dan setengah bersifat samawi melalui Sayyidunā Jibrīl (as) yang meniupkan ruh ke dalam dirinya. Maka beliau adalah makhluk separuh mulk (kerajaan dunia) dan separuh malakūt (kerajaan langit), sebagaimana dijelaskan oleh para wali Allah.
Maka, “ʿĪsā zaman ini” adalah sosok yang mampu meniupkan kehidupan ke dalam bentuk yang mati—bentuk yang tak bernyawa—dan menghidupkannya. Itulah kekuatan yang dimiliki para pewaris beliau: mereka mampu meniupkan kehidupan ke dalam hati yang mati—yakni hati yang telah terserap oleh dunia—dan menghidupkannya kembali dengan żikrullāh, dengan cinta kepada Allah, dengan iman. Itulah sifat-sifat para Nabi Allah dan para Wali Allah.
Jika kalian melihat seseorang yang mampu menarik manusia keluar dari belenggu nafsu dan kesenangan dunia—yang pada akhirnya hanyalah menuju kematian—dan mengarahkan mereka menuju kebangkitan ruhani, maka ketahuilah bahwa orang itu memiliki kekuatan. Mungkin kekuatan itu datang dari Quṭb (poros rohani) pada masanya, atau mungkin Allah (swt) memberikannya secara langsung tanpa perantara—itulah tandanya: kemampuan menghidupkan hati yang mati.
Apakah kalian tahu kisah Khidr (as)? Nabi Mūsā (as) berkata, “Aku akan pergi ke tempat pertemuan itu.” Pernahkah kalian mendengar “tempat pertemuan” itu? Apa makna pertemuan antara Khidr dan Mūsā? Ada sebuah tanda—apakah tandanya? Ikan mati menjadi hidup kembali. Jadi, mursyid kalian—sebagaimana Mūsā (as) diperintahkan untuk mencari seorang mursyid, seorang mu‘allim, seorang guru—di mana kalian menemukannya? Berjalanlah hingga kalian menyaksikan ikan mati menjadi hidup kembali—hingga kalian menemukan bahwa hati kalian yang mati menjadi hidup kembali. Pada titik itulah, siapa pun yang kalian temui—dialah “Khidr” bagi kalian.
Maka Mūsā (as) pun melanjutkan perjalanannya. Ia berkata, “Aku akan terus berjalan sampai akhir. Anbiyā’ ḥuqūbā—aku sanggup berjalan berabad-abad sampai aku menemukan orang itu.”
فَلَمَّا بَلَغَا مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا
Falammā balaghā majma‘a baynihimā (QS. al-Kahf [18]: 60)
Ketika mereka sampai di titik pertemuan dua lautan, ikan itu mengambil jalannya ke laut dan hidup kembali. Itulah tandanya—ikan yang mati, yang sudah diasinkan dan mungkin sudah dimasak, benar-benar mati tanpa kehidupan—tiba-tiba hidup kembali.
Para Wali Allah mengatakan bahwa salah satu isyarah (tanda rohani) bahwa seseorang telah sampai kepada mursyid sejati adalah ketika ia menemukan bahwa hati yang mati menjadi hidup kembali, bukan hati yang hidup menjadi mati. Maka jika kalian melihat diri kalian yang dahulu penuh semangat untuk Allah, lalu setelah menemui seorang guru justru ditarik kepada dunia dan ke dalam api dunia, ketahuilah bahwa kalian berada di sisi yang salah. Namun bila hati kalian yang mati menjadi hidup kembali, itulah titik pertemuan—itulah tanda bahwa orang itu memiliki sesuatu, maka belajarlah darinya.
Mūsā (as) terus berjalan, namun ia tidak menyadari tanda itu. Kemudian ia berkata, “Aku lapar. Aku lelah.” Padahal ketika ia pergi menuju Ṭūr (Gunung Sinai), tidak ada satu pun ayat Al-Qur’an yang menyebut bahwa Mūsā (as) berkata, “Aku lelah” atau “Aku lapar.” Karena ketika itu ia berjalan menuju Allah. Namun ketika ia terlewat dari titik pertemuan—terlewat dari mursyid kāmil (pembimbing sempurna) dan berjalan dengan dirinya sendiri—barulah ia merasakan lapar dan lelah.
Itu menandakan dunia, sebab dunia selalu berkaitan dengan rāḥah (kenyamanan) dan makan—dua hal yang menjadi kenikmatan nafsu. Nafs suka tidur, bukan? Nafs suka makan; suka dibiarkan bebas, merumput, bermain, berlari, bersenang-senang. Jadi ketika Mūsā (as) terlewat dari titik pertemuan dengan mursyid kāmil-nya, ia merasakan lapar dan lelah itu. Tetapi ketika ia menuju Ṭūr, tidak pernah disebut dalam Al-Qur’an bahwa ia mengeluh lapar atau haus. Maka ini adalah tanda-tanda yang harus diperhatikan.
Jadi, carilah—temukan dulu siapa dirimu. Jika kalian berkata, “Aku tidak tahu siapa diriku,” maka kemungkinan besar memang kalian belum tahu siapa diri kalian. Kalian mungkin mengira tahu, seperti kata Mawlana Syekh Nazim (q), “Oh, di kartu identitasku tertulis namaku adalah Nour Mohamad Kabbani—berarti itu adalah aku.” Itu hanyalah nama yang diberikan oleh ayah dan ibumu. Tetapi apa nama yang diberikan oleh Allah kepada kalian?
Kalian memiliki Nama Ilahi, karena kalian harus menjadi seorang ‘abd (hamba). Rasulullah (saw) adalah ‘Abdullāh—Hamba Allah. Dalam Surah al-Jinn disebutkan:
وَأَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللَّهِ يَدْعُوهُ
Wa annahu lammā qāma ‘abdu llāhi yad‘ūhu.
(“Ketika hamba Allah berdiri menyeru-Nya.”) (QS. al-Jinn [72]: 19)
Nama mulia Rasulullah (saw) dalam Al-Qur’an adalah ‘Abdullāh. Maka kalian pun harus menemukan di bawah Nama Ilahi mana kalian berada—Nama yang menaungi semua nama dan sifat Allah, Jāmi‘ al-Asmā’ waṣ-Ṣifāt, sebagaimana disebutkan.
Ketika kalian menemukan di bawah Nama mana kalian diciptakan, kalian akan mendapatkan kekuatan itu—kalian akan mendapatkan “kunci” kalian. Lalu kalian menyambungkan diri kepada mursyid yang telah menghidupkan hati kalian yang mati; dialah yang memiliki kunci utama.
Jika ia tidak memiliki kunci utama, ia akan berkata kepada kalian, “Wahai anakku, aku telah membimbingmu sampai pada suatu tingkat. Sekarang saatnya engkau pergi kepada Syekh itu.” Karena mereka tahu siapa Syekh kalian yang sejati.
Seorang Walī sejati dapat melihat dan mengetahui kalian milik siapa. Pernahkah kalian mendengar tentang itu, wahai para pemirsa? Pernahkah kalian mendengar tentang itu? Sekarang saya berbicara kepada para murid Syekh Nazim (q)—pernahkah kalian mendengar Mawlana Syekh Nazim (q) berbicara tentang hal ini? Apa yang dikatakan oleh Mawlana Syekh Nazim (q)—yang beliau dengar dari Grandsyekh, dan Grandsyekh menyampaikannya kepada ayah saya, paman saya Syekh Adnan (raḥimahu Allāh), dan orang-orang lain yang hadir—beliau berkata bahwa Allah (swt) menciptakan manusia dalam keadaan suci. Apakah kalian punya dosa saat masih menjadi ruh? Tidak—dosa itu ada di dunia. Kalian diciptakan dalam keadaan suci.
Jadi Dia menciptakan mereka suci, dan sebagaimana guru-guru kita katakan, ini adalah ilmu ruhani—kalian tidak akan menemukannya dalam buku. Jangan berkata, “Apa referensimu?” Referensi saya adalah guru saya, dan saya percaya guru saya berkata benar. Jika kalian mengira guru kalian tidak berkata benar, lalu mengapa kalian menjadikannya guru?
Grandsyekh—Mawlana Syekh ‘Abdullah ad-Daghestani (q)—mengatakan, sebagaimana beliau juga menerimanya dari gurunya, lalu menyampaikannya kepada Mawlana Syekh Nazim (q), dan Mawlana Syekh Nazim (q) menyampaikannya kepada kami, dan Grandsyekh menyampaikannya kepada orang lain—bahwa ketika Allah (swt) menciptakan manusia, Dia menciptakan mereka dalam keadaan suci. Semua manusia berkata, “Engkaulah Tuhan kami.” Tidak ada satu pun yang mengingkari. Bukankah itu benar? Bukankah semua orang berkata balā (benar)? Semua. Allah mengumpulkan seluruh Bani Adam, sebagaimana disebutkan dalam Surah al-A‘rāf ayat 173.
أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ شَهِدْنَا
Alastu biRabbikum? Qālū balā syahidnā
“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul, kami menjadi saksi. (QS. Al-A’rāf [7]: 172)
Allah (swt) membawa seluruh Bani Adam, anak cucu Adam, satu per satu. Dia menempatkan mereka semua di Hadirat-Nya. Dia berfirman, “Bukankah Aku Tuhanmu?” Semua orang beriman saat itu; semuanya menjawab “Ya.” Semua melihat Allah, mendengar Allah, dan berkata benar.
Bagaimana mereka melihat? Saya tidak tahu. Tetapi mereka memang melihat, karena mereka harus mengakui siapa yang berbicara kepada mereka. Mereka harus melihat siapa yang menyapa mereka. Maka mereka melihat, mendengar, dan berkata dengan benar—balā, “Ya, Engkau adalah Tuhan kami.”
Maka kita semua pada awalnya suci. Dan sebagaimana guru-guru kita katakan, Allah (swt) mempersembahkan mereka kepada Rasulullah (saw), “Mereka ini untukmu.” Seluruh makhluk diciptakan untuk beliau. Seluruh ciptaan diciptakan demi Rasulullah (saw), demi kehormatannya. “Mereka ini milikmu.” Rasulullah (saw) menerima amanah itu, dan beliau bernama al-Amīn—yang terpercaya, yang menjaga amanah dan tidak mengkhianatinya. Lalu Allah (swt) menunjukkan kepadanya apa yang akan terjadi ketika mereka turun ke bumi—dosa dan kesalahan apa yang akan mereka lakukan, semua keburukan yang akan terjadi. Allah memperlihatkan bagaimana manusia akan kotor di dunia.
Tetapi jika kalian memiliki permata dan melemparkannya ke kotoran ternak—mā syāʾ Allāh, di Texas ini banyak sekali ternak—apakah kalian akan berkata, “Ah, biarkan saja, sudah kotor”? Tidak, bukan? Apa yang kalian lakukan? Kalian memakai sepatu boot, sarung tangan—bahkan kadang tanpa sarung tangan, karena kalian tidak mau kehilangan permata itu—kalian masuk ke sana, mengambilnya, lalu membersihkannya. Begitulah Rasulullah (saw) diberi alat—Syarī‘ah—untuk membersihkan Bani Adam. Beliau meminta para penolong. Beliau menerima amanah itu dan berkata, “Yā Rabbī, jika ini tugasku, aku akan melakukannya. Aku akan mengembalikan mereka kepada-Mu sebagaimana Engkau memberikannya kepadaku—dalam keadaan suci.” Tetapi beliau juga memohon bantuan, “Biarkan kami membersihkan mereka yang suci ini dari kubangan dunia, dari kotoran nafsu, dan dari bisikan setan. Yā Rabbī, aku memohon pertolongan-Mu.” Iyyāka nasta‘īn. Maka Allah menciptakan para Nabi dan Wali—para penolong—para Nabi dan Rasul pada zamannya, dan para Wali setelah para Nabi tiada. Allah (swt) menjaga para Wali sebagai manusia-manusia sempurna, sebagai para Wali Allah.
Mawlana berkata bahwa pada hari itu Rasulullah (saw) membagikan siapa yang akan menjadi tanggung jawab siapa. Pada hari itu kalian telah dibagi. Sayyidunā ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī (q) akan bertanggung jawab atas sejumlah orang, Sayyidunā Syāh Naqsyband (q) atas sejumlah orang, Sayyidunā Rifā‘ī (q) atas sejumlah orang. Itulah sebabnya orang-orang mengikuti mereka—karena mereka bertanggung jawab atas orang-orang itu. Para Nabi sebelumnya pun ada yang hanya memiliki sedikit pengikut—ada yang lima orang, seperti Sayyidunā Lūṭ (as) bahkan tidak punya pengikut selain dua putrinya; istrinya pun tidak. Jadi ada Nabi yang tidak punya pengikut, ada yang punya sedikit, ada yang banyak—tetapi semua telah ditetapkan. “Kelompok orang ini tanggung jawabmu. Kau akan membersihkan mereka dan mempersembahkan mereka kembali kepada Rasulullah (saw) dalam keadaan suci.” Itulah tugas para Wali—untuk menyucikan manusia. Tugas Wali bukan mengotori, tetapi menyempurnakan, bukan merusak. Tugas Wali adalah membersihkan, bukan mengotori. Maka periksalah sekeliling kalian—siapa yang melakukan tugas itu? Pada hari itu, setiap orang telah ditetapkan kepada siapa ia akan diserahkan.
Kita kembali ke asal: jika seorang mursyid kāmil—seorang pembimbing sempurna—memiliki kunci utama, maka ia akan membukakan bagi kalian harta karun diri kalian. Tetapi jika ia tidak memiliki kunci itu, ia akan berkata kepada kalian, “Wahai anakku, aku telah membimbingmu sampai pada tingkat tertentu, tetapi gurumu yang sejati berada di tempat lain.”
Apakah guru kalian pernah berkata begitu? Guru dari Mawlana Syekh Nazim (q) membimbing beliau selama lima atau tujuh tahun. Namun pada akhirnya, beliau berkata, “Wahai anakku, aku telah membawamu sampai pada tingkat tertentu dalam iman dan ihsan, tetapi gurumu yang sejati berada di Syam. Pergilah, temukan dia.” Bahkan beliau tidak menyebutkan namanya. Hanya berkata, “Gurumu yang sejati ada di Syam.” Seorang Walīyullāh sejati tahu siapa yang menjadi bagiannya, dan siapa yang bukan bagiannya. Ini bukan perkara dagangan grosiran—“semuanya milikku.” Lihatlah bagaimana manusia zaman sekarang terperosok, tetapi siapa yang mau mendengarkan? Tidak ada yang mau, karena mereka telah ditulikan dan dibutakan oleh egonya sendiri. “Jangan dengarkan kebenaran, jangan lihat kebenaran—lakukan sesukamu.”
Inilah ajaran para Wali Allah. Mereka tahu siapa yang menjadi bagiannya. Dan itulah yang terjadi pada guru-guru kita. Syekh itu berkata kepada muridnya, “Wahai anakku, engkau bukan milikku,” karena beliau juga seorang Syekh yang sempurna. Tetapi beliau tahu, bahwa murid itu bukan untuknya. Orang yang memegang kunci utama bagi Mawlana Syekh Nazim (q) berada di Syam. Beliau berkata, “Pergilah, temukan dia.”
Demikian pula bagi kita—kita harus menemukan mursyid sejati yang dapat membuka kunci diri kita. Jika kalian menemukan seorang guru, itu baik. Tetapi guru itu harus tahu apakah kalian memang miliknya atau bukan. Namun jika ia buta (secara batin), maka ia sendiri membutuhkan seseorang yang akan berkata kepadanya, “Kemarilah, biarkan aku yang membukakan harta karunmu.” Karena dewasa ini, banyak Syuyukh yang mengira mereka sudah sampai, padahal sebenarnya mereka pun masih membutuhkan seseorang untuk membuka harta batin mereka—mereka belum sempurna.
Maka carilah seseorang yang mampu menghidupkan hati kalian dari mati menjadi hidup—itulah titik awal kalian. Itulah permulaan perjalanan kalian. Kalian bisa terus bersamanya, atau gagal di tengah jalan. Bukan tentang menemukannya saja, tapi tentang melanjutkan perjalanan itu. Benar, bukan? (Seperti dalam permainan baseball)—mereka berkata, “Tiga kali gagal, kau keluar.” Pernah dengar itu? Apakah kalian menonton baseball? Apakah kalian tahu lagu “Take Me to the Ball Game”? Di Chicago, ketika saya masih berusia dua puluh atau tiga puluh tahun, saat menonton White Sox atau Cubs, pada babak ketujuh semua orang akan mulai bernyanyi bersama. Semuanya. Lagunya kira-kira berbunyi, “Satu, dua, strike, kau keluar…” begitu kira-kira—tiga kali gagal dan kau keluar.
Demikian pula dengan mursyid. Kalian harus terus bersamanya—jika kalian yakin bahwa beliau membimbing kalian menuju kebenaran, ke jalan yang benar. Jika tidak bisa terus, berarti kalian belum naik ke tingkat itu. Kalian masih butuh pelatihan dari tingkat yang lebih rendah—jika boleh dikatakan begitu. Semoga Allah (swt) mengampuni kita. Semoga Allah (swt) mengampuni kita. In syā’ Allāh, Allah (swt) akan mengumpulkan kita bersama para Wali sejati, menempatkan kita di jalan para Wali sejati, dan menjadikan kita dalam majelis para Wali sejati. Jika kalian telah menemukan seseorang yang mampu mengubah hati kalian dari mati menjadi hidup, maka itulah orang yang harus kalian temani sampai sekarang. Jika ia berkata, “Wahai anakku, atau wahai putriku, kini saatnya engkau pergi ke tempat lain,” maka pergilah. Tetapi jika ia tidak berkata begitu, kalian harus tetap tinggal di tempat kalian. Semoga Allah (swt) mengampuni kita.
Saya tidak tahu—sebenarnya saya berencana membicarakan hal lain, tetapi arah pembicaraan saya malah berubah. Itu tergantung pada hati orang-orang yang hadir. Ini bukan tentang apa yang saya siapkan, tetapi tentang apa yang hati mereka ingin dengar. Dan in syā’ Allāh, inilah yang memang mereka butuhkan untuk didengar. Saya bisa saja menyampaikan apa yang sudah saya persiapkan, tetapi kalau kalian belum tertidur—saya lihat sebagian sudah mulai mengantuk—jadi in syā’ Allāh kita cukupkan sampai di sini. Apa pun yang telah disampaikan, semoga diterima oleh hati manusia. Ketahuilah bahwa Allah (swt) menghendaki kalian kembali dalam keadaan suci, dan Rasulullah (saw) adalah al-Amīn—yang terpercaya. Beliau akan mengembalikan amanah itu kepada Allah sebagaimana beliau menerimanya dahulu—dalam keadaan suci.
Mawlana Syekh Nazim (q) bahkan pernah berkata bahwa pada Hari Kiamat, setan akan datang dengan keyakinan bahwa semua orang berada di belakangnya—karena di dunia, hampir semua orang mengikuti setan. (Dan tentu saja, akan ada orang-orang yang membantah hal ini di dunia maya, tapi saya tidak peduli.) Syekh berkata, setan akan menoleh ke belakang, namun ternyata tidak ada seorang pun di sana. Tidak ada yang mengikutinya pada Hari Kiamat. Ia tidak memiliki satu barisan pun—nol. Semua manusia berada di belakang Rasulullah (saw). Beliau telah mampu menyucikan mereka, dan itulah yang terjadi pada detik-detik napas terakhir manusia.
Ketika seseorang hendak meninggalkan dunia ini, ia seperti dalam keadaan koma—pernahkah kalian melihat seseorang seperti itu? Mereka menatap ke satu arah jika matanya terbuka, atau matanya tertutup sambil bernapas berat. Kalian tidak bisa berbicara dengan mereka, mereka tidak merespons, tetapi mereka sedang melihat sesuatu dan sedang mengalami sesuatu. Dalam momen-momen itu, kalian tidak tahu apa yang sedang terjadi. Namun para Syuyūkh kita telah menjelaskan bahwa di saat-saat itu, jiwa sedang disucikan. Karena nafs—ego—sudah tidak lagi memiliki kekuatan atas diri mereka. Mereka tidak bisa lagi bergerak sesuka hati seperti sebelumnya. Saat itu mereka telah selesai, dan setan pun tidak punya kuasa sedikit pun untuk menggerakkan mereka ke sana kemari. Mereka berada di tangan para Awliyā’ullāh, yang sedang menyucikan mereka sebagaimana dulu mereka diterima dari Rasulullah (saw) dalam keadaan suci.
Para Wali menyucikan mereka hingga akhirnya mereka berkata, “Yā Sayyidī, umatmu telah suci—saatnya engkau menerimanya kembali.” Lalu Rasulullah (saw) datang untuk menerima mereka. Beliau akan memberikan kepada mereka cahaya-cahaya yang Allah (swt) telah titipkan kepadanya untuk disampaikan. Kemudian Rasulullah (swt) akan berkata, “Yā Rabbī, hamba-Mu ini—laki-laki maupun perempuan—telah siap.” Lalu Allah (swt) akan memanifestasikan kepada mereka kemuliaan dan kehormatan yang telah Dia siapkan untuk mereka. Maka setiap orang yang meninggalkan dunia ini akan dimuliakan dengan cahaya itu.
Namun engkau tidak bisa berkata, “Mana dalilnya?” Ini adalah iman. Tidak ada yang tahu persis apa yang terjadi pada saat itu. Tetapi inilah keyakinan kita—bahwa apa yang dikatakan guru-guru kita adalah benar. Kalau tidak, berarti guru-guru kita berdusta—dan kalian tentu tidak akan mengambil seorang pendusta sebagai guru, bukan? Tidak pernah kita lakukan itu.
Maka begitulah yang akan terjadi, dan inilah aqidah kita: bahwa setiap jiwa akan diserahkan kembali kepada Rasulullah (saw) dalam keadaan suci oleh para pīrān (para Wali pembimbing). Semuanya akan dikembalikan dalam keadaan suci, sebagaimana mereka dahulu dititipkan oleh Allah kepada Rasulullah (saw). Dan Rasulullah (saw) akan mengembalikan amanah itu kepada Allah sebagaimana beliau menerimanya—suci, pāk. (Kata pāk dalam bahasa Urdu berarti “suci”.) Itulah sebabnya beliau berseloroh, “Engkau akan berada di Pakistan nanti—semuanya pāk!” Astaghfirullāh al-‘Aẓīm.
Mawlana Syekh Nazim (q) berkata, Surga tidak akan menerima siapa pun yang tidak suci. Surga adalah negeri orang-orang yang bersih. Mā syā’ Allāh, mereka menamakan negeri itu Pakistan—“tanah orang-orang suci”, the land of the pure. Surga adalah negeri yang suci; ia tidak menerima kotoran, tidak menerima kenajisan. Maka kita semua akan kembali, dengan izin Allah (swt), melalui tangan para Wali, dan dengan izin Rasulullah (saw), untuk menunaikan tugas penyucian itu, hingga amanah itu dapat dikembalikan dalam keadaan suci.
Semua ini adalah rahasia-rahasia yang kita dengar dari para Syuyūkh Naqsybandi kita, dan kami mempercayainya. Kita beriman kepada rahmat Allah (swt), kepada amanah Rasulullah (saw), serta kepada kekuatan para Awliyā’ullāh, himmah (keteguhan spiritual), dan madad-nya (pertolongan rohaninya). Semoga Allah (swt) mengampuni kita semua. Āmīn. Alhamdulillāh, kita termasuk golongan orang-orang baik—maka jangan khawatir. Kita semua pada awalnya adalah milik Rasulullah (saw), namun beliau telah menyerahkan kita kepada para Wali yang berbeda-beda. Maka berpeganglah kepada Wali yang menghidupkan hati kalian dan menumbuhkan cinta kalian kepada Akhirat. Itulah Wali tempat kalian memulai perjalanan.
Semoga Allah (swt) mengampuni kita. Wa min Allāhi at-tawfīq, bi ḥurmati al-ḥabīb (saw), bi ḥurmati al-Fātiḥah. Āmīn, taqabbal Allāh.
© Hak Cipta 2025 Sufilive. Seluruh hak dilindungi. Transkrip ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta internasional. Mohon cantumkan atribusi kepada Sufilive saat membagikannya. JazakAllāhu khayr.