Unknown's avatar

Ruh dari Tarekat adalah Mahabbah dan Ittibā`

Mawlana Syekh Nazim al-Haqqani (q)
dari buku Anwarul Hidayah vol.1

A’ūdzu billāhi mina ‘sy-syaythāni ‘r-rajīm
Bismillāhi ‘r-raḥmāni ‘r-raḥīm
lā ḥawla wa lā quwwata illa billāhi ‘l-Aliyyi ‘l-Azhīm
Dastūr yā sayyidī, madad
Tharīqatuna ash-shuḥbah wa ‘l-khayru fī ‘l-jama`iyyah

Sayyidina Syah Naqsyband,menjadikan ucapan ini sebagai pokok dalam tarekat agung kita, yaitu tarekat kita adalah persahabatan, yang bermakna bahwa tarekat itu adalah shuhbah. Oleh karena itu, apabila dua orang mukmin berkumpul, mereka harus menghidupkan waktu tersebut dengan persahabatan, karena rahmat yang dijanjikan kepada jamaah akan turun. Jika kamu duduk sendirian selama seribu tahun, Syekh kita [`Abd Allah al-Daghistani] berkata, kamu tidak akan menemukan perhatian itu sendirian. Seberapa banyak kamu beribadah? Apa yang dijanjikan Allah untuk jamaah tidak akan terbuka. Alhamdulillah, dalam pertemuan kita, kita lebih dari satu, yaitu ada jamaah, dan ini berarti apapun yang kita bicarakan, kita memohon kepada Allah agar memberikan manfaatnya bagi kita di dunia dan akhirat.

Sayyidina Muhyiddin Ibnu ‘Arabi menulis sebuah risalah kepada seorang ‘alim besar bernama Fakhruddin ar-Razi, yang termasuk ulama terkemuka. Ia berkata kepadanya, “Wahai saudaraku, bersungguh-sungguhlah dalam menuntut ilmu yang akan menyertaimu di dunia dan akhirat, dan jangan sia-siakan waktumu untuk mencari ilmu yang akan meninggalkanmu di akhirat.” Oleh karena itu, nasihat saya kepadamu: jangan habiskan usiamu untuk mengejar sesuatu yang akan meninggalkanmu, karena setiap detik dari umur manusia lebih berharga daripada ‘kibrit merah’. Apa itu kibrit merah? Ia adalah logam yang paling langka, yang hanya terdengar namanya tapi tidak terlihat oleh manusia. Maka, waktumu adalah umurmu, dan ia lebih berharga daripada kibrit merah. Siapa yang menghargai umurnya, tidak akan menyesal, sedangkan siapa yang menyia-nyiakan umurnya, pasti akan menyesal.

Mawlana Syekh [`Abd Allah al-Daghistani] berkata bahwa berbicara dalam majelis persahabatan (shuḥbah), meskipun hanya dua kalimat yang ringan, termasuk dari ilmu yang akan menyertai kita di dunia dan di akhirat. Sultan para wali berkata bahwa ruh dari tarekat terikat pada cinta (maḥabbah) dan mengikuti (ittibā‘). Setiap orang harus menempuh sebuah jalan (tarekat), karena jalan-jalan itu akan mengantarkan kepada Allah. Seorang hamba harus menyadari bahwa tempat tinggal akhirnya adalah di sisi Tuhannya, dan menempuh tarekat menjadi wajib bagi siapa pun yang Allah telah singkapkan dari hatinya tabir kelalaian.

Mawlana berkata bahwa seorang murid, dalam perjalanannya (sulūk), akan memahami bahwa ruh dari sulūk dan ruh dari tarekat adalah cinta dan mengikuti. Karena tanpa cinta, tidak ada mengikuti, dan tidak ada suluk. Dan hal terpenting yang dimohon oleh seorang hamba kepada Tuhannya — sebagaimana diajarkan oleh Mawlana — adalah bertambahnya cinta: ‘Tambahkanlah ya Rabb, kecintaan kami kepada-Mu.’ Itulah yang bermanfaat bagi manusia. Semakin besar cintanya, semakin besar pula ikutiannya, dan dengan itu kedekatannya kepada Allah ‘azza wa jalla pun semakin bertambah. Maka wasiat Mawlana adalah: perolehlah cinta, sejauh yang kalian mampu, perolehlah cinta.

Dan cinta, yaitu cinta karena Allah, al-hubbu fi-l-Lah adalah cinta yang tidak akan meninggalkan kalian, baik di dunia maupun di akhirat. Namun, meraih cinta ini bukanlah perkara mudah selama nafsu masih ada dalam diri manusia. Sebab, nafsu tidak rela jika seseorang mencintai orang lain karena Allah — ia menginginkan cinta itu hanya untuk dirinya sendiri. Cinta kepada diri sendiri itu ada, tetapi cinta karena Allah justru yang hilang. Ada cinta di kalangan manusia, tetapi bukan cinta yang dimaksud, yaitu cinta karena Allah. Cinta mereka adalah karena diri mereka sendiri. Manusia mencintai sesuatu demi kepentingan dirinya, bukan karena Tuhannya. Contohnya: jika seorang wanita cantik lewat, semua orang — tanpa pengecualian — mencintainya. Mengapa? Apakah itu cinta karena Allah? Tentu tidak. Itu adalah cinta karena dirinya sendiri. Sebab, jika yang lewat adalah seorang wanita tua, nafsunya tidak akan tergerak untuk mencintai. Tetapi untuk wanita muda, langsung nafsunya tergerak dan semua orang mencintainya. Apakah itu cinta karena Allah? Tidak, melainkan cinta karena nafsu.

Mencintai sesuatu karena Allah — itulah yang penting. Tanpa memedulikan rupa atau bentuk mereka, cukup dengan menyadari bahwa dia adalah hamba Tuhanku atau dia adalah hamba perempuan Tuhanku. Jika seseorang mencintaimu lalu mencintai anakmu, maka cinta yang ia miliki untukmu membuatnya mencintai segala sesuatu yang terkait denganmu. Oleh karena itu, Rasulullah (saw) bersabda, “Aku tidak meminta sesuatu pun dari kalian kecuali kasih sayang terhadap kerabatku.” Ini menunjukkan sesuatu yang penting, yaitu, “Wahai umatku, jika cinta kalian kepadaku benar, maka aku ingin kalian mencintai keluargaku, baik karena hubungan kekerabatan (hasab) maupun keturunan (nasab) — inilah kekuatan kalian.” Banyak orang mengatakan mereka mencintai Nabi, namun mereka menzalimi atau merendahkan keluarganya. Maka ini bukanlah cinta yang benar. Cinta mereka palsu dan tidak murni karena Allah. Setiap manusia harus bisa membedakan antara cinta karena Allah dan cinta karena nafsu.

Sayyidina Syekh [`Abd Allah al-Daghistani] pernah bercerita kepada saya bahwa salah satu pecinta pernah menyusun sebuah qasidah (puisi) yang intinya berkata, “Wahai saudara-saudaraku, aku tidak tahu apa itu yang kalian sebut sebagai mahabbah (cinta). Aku tidak akan mempercayai cinta kalian sampai aku mencobanya sendiri, hingga aku yakin bahwa kalian benar-benar mencintai dengan tulus. Jika kamu mencintaiku, lalu aku memasukkanmu ke dalam mesin penggiling daging, dan kamu digiling hingga hancur lalu keluar di ujung sana dalam keadaan hidup — dengan semua penderitaan yang kamu rasakan — dan jika setelah itu cinta kamu kepadaku berubah, maka itu bukan cinta yang sejati. Berarti kamu berdusta dalam cintamu.”

Seperti itulah kita mengenal cinta. Kalau tidak, berarti kamu hanya teman biasa. Sebab, jika kamu marah hanya karena satu kata, lalu mengingkari seluruh cinta yang telah terjalin selama bertahun-tahun dan berkata, ‘Aku marah, aku tidak mau melihatnya lagi,’ maka di mana cintamu? Ini menunjukkan bahwa dia mencintai karena dirinya sendiri, bukan karena Allah. Lalu, seberapa banyak orang yang bisa kita temukan memiliki cinta jenis seperti itu? Cinta karena Allah berarti kamu menghormatiku, memuliakanku, dan menghargai aku karena Allah, tanpa mengharap imbalan. Allah mencintai hamba-Nya yang memiliki cinta seperti itu, agar keadaan mereka tidak berubah terhadap saudaranya, apa pun yang dilakukan saudaranya — bahkan jika yang datang darinya adalah hal yang bertentangan. Oleh karena itu, cinta bukanlah perkara mudah, melainkan ia adalah maqam (tingkatan) yang paling tinggi.

Betapa besar penderitaan yang ditanggung Nabi (saw) dari kaumnya pada perang Uhud? — apakah beliau mendoakan keburukan atas mereka? Tidak. Justru beliau mendoakan kebaikan bagi mereka, “Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku.” Dan tidak pernah tersimpan dalam hati Nabi (saw) rasa benci atau permusuhan terhadap siapa pun. Siapa yang menyampaikan hal ini? Yang menyampaikannya adalah ‘mubaligh’ yang mendapat izin (muballigh al-ma’dzun).

Mawlana Syekh berkata bahwa seorang ma’dzūn (yang diberi izin) mampu menerima apa yang dibutuhkan oleh umat dalam 24 jam dari Hadirat Rasulullah secara ruhani. Ma’dzūn ini dapat bertemu dengan ruhaniyah Rasulullah dalam waktu 24 jam dan menerima dari beliau apa yang diperlukan oleh umat mutāba‘ah (yang mengikuti), umat ijābah (yang menerima seruan), dan umat da‘wah (yang diseru). Dan ini bukanlah perkara yang mudah — inilah sifat seorang muballigh (penyampai).

Sayyidina Syekh berkata bahwa menyampaikan (agama) melalui kitab adalah kewajiban bagi semua orang, dan hal itu merupakan bentuk tasyabbuh (menyerupai) dengan ma’dzūn sejati. Barang siapa membaca dari kitab, maka dia adalah muballigh, namun ia buta. Dan seorang muballigh tidak seharusnya buta. Allah Ta‘ala berfirman, Katakanlah “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku, mengajak (seluruh manusia) kepada Allah dengan penglihatan penuh. (Yūsuf, 12:108). Allah menggambarkan dakwah Rasul-Nya dengan ‘bashīrah’ — dan orang buta tidak bisa menjadi penunjuk jalan atau muballigh. Siapa yang buta itu? Ia adalah orang munafik, yaitu orang yang sakit hatinya.

Sayyidina ‘Umar dahulu pernah bertanya kepada Hudzaifah al-Yamani: ‘Aku memohon kepadamu demi Allah dan demi Rasulullah, apakah Rasulullah telah menghitungku sebagai salah satu dari orang-orang munafik?’ Itulah Sayyidina ‘Umar, dengan segala kemuliaannya, tetap takut jika dirinya termasuk munafik. Ia bersumpah kepada Hudzaifah agar diberi tahu, karena ilmu tentang orang-orang munafik, rahasia-rahasia dan nama-nama mereka, berada di tangan Hudzaifah. Sayyidina Syekh berkata bahwa orang munafik adalah orang yang hatinya sakit dan batinnya rusak. Jalan untuk menghidupkan batin yang rusak itu adalah dengan berkomitmen pada adab, yaitu mahabbah fillāh (cinta karena Allah). Karena adab dapat menyembuhkan penyakit hati dan menghidupkan batin yang rusak, dan tidak ada obat selain itu. Perwujudan dari adab adalah meneladani orang-orang Allah (ahlullāh).

Bi ḥurmatil ḥabīb, bi ḥurmatil Fātiḥah.

Leave a comment