
Mawlana Shaykh Muhammad Nazim al-Haqqani (q)
Anwār al-Hidāyah Vol.1
A`ūdzu billāhi mina ‘sy-syaythāni ‘r-rajīm
Bismillāhi ‘r-raḥmāni ‘r-raḥīm
lā ḥawla wa lā quwwata illa billāhi ‘l-`Aliyyi ‘l-`Azhīm
Dastūr yā sayyidī, madad
Tharīqatuna ash-shuḥbah wa ‘l-khayru fī ‘l-jama`iyyah
Manusia tidaklah maksum, artinya ia bisa berbuat salah dan berdosa. Seseorang bisa saja datang kepadamu dan bersikap kasar kepadamu, dan engkau harus bersabar terhadap semua orang. Sebab tidak semua orang itu nabi atau wali. Bisa jadi mereka bersikap bodoh. Dan ketika seseorang bersikap bodoh, engkau harus bersabar dan memaafkan, karena orang yang bodoh mengikuti setan sampai ia bersikap bodoh. Padahal jika ia mengikuti Tuhannya dan Nabinya, niscaya ia tidak akan bersikap bodoh. Ketika seseorang berlaku bodoh kepadamu, tidak sepantasnya engkau membalas dengan kebodohan pula. Allah Ta’ala berfirman, hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, “Salam.” (al-Furqān, 25:63). Agar engkau selamat dari kejahatan manusia, dari kejahatan dirimu sendiri, dan dari kejahatan setan, serta agar engkau termasuk golongan orang-orang mulia (al-kirām), maka jangan turun ke derajat kebodohan. Dengan demikian, engkau akan berada dalam keselamatan di dua alam (dunia dan akhirat).
Syekh kita [`Abd Allah al-Daghistani] menceritakan bahwa pada masa Nabi (saw), pada suatu malam yang sudah larut, malaikat Jibril turun membawa perintah penting dari Allah kepada Rasul-Nya. Karena pentingnya perkara tersebut, Rasulullah (saw) mengutus seseorang untuk memanggil Bilal agar mengumumkan kepada orang-orang supaya berkumpul di masjid yang mulia. Waktu itu sudah sangat malam, para sahabat pun merasa khawatir dan bertanya-tanya: apakah ada serangan dari musuh? Ketika mereka telah berkumpul, Rasulullah (saw) menyampaikan perintah dari Tuhannya, yakni, “Wahai Muhammad, sampaikanlah bahwa siapa pun yang menyebarkan kabar tentang sesuatu yang telah berlalu dan telah dikubur, meskipun baru terjadi dua jam yang lalu, dan hal itu menimbulkan fitnah, maka orang tersebut menjadi penyebab turunnya laknat Allah dan Rasul-Nya. Menyalakan kembali fitnah yang telah padam — padahal fitnah itu sedang tertidur — maka terlaknatlah orang yang membangkitkannya!”1 Inilah perkara penting yang dibawa oleh Jibril, dan diperintahkan agar segera disampaikan sebelum waktu subuh, agar tidak ada seorang pun yang menyebarkan kabar lama yang telah berlalu dan sirna.
Pada malam itu, Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq meletakkan sebuah batu di dalam mulutnya,2 sehingga ia tidak bisa berbicara kecuali jika batu itu dikeluarkan. Ia tidak mengeluarkannya kecuali saat makan, tidur, atau salat. Di selain waktu-waktu itu, ia terus meletakkan batu itu di mulutnya agar tidak berbicara atau menyebutkan sesuatu. Sampai akhirnya Allah memberitahu Rasul-Nya tentang hal itu, lalu Allah memerintahkannya untuk menyampaikan kepada Abu Bakar agar mengeluarkan batu dari mulutnya, karena lisannya telah menjadi lisan yang benar, dan tidak akan keluar darinya kecuali kebenaran. Adapun kita, berapa banyak batu yang harus kita letakkan di mulut kita agar bisa menjaga lisan? Dan ketika telah sampai kepada kita kabar bahwa lisan kita telah menjadi lisan yang benar, barulah saat itu kita boleh berkata sesuka hati.
(Aus dan Khazraj) adalah dua kabilah yang selalu berselisih dan berperang di Madinah sebelum hijrah. Lalu datanglah Islam dan memadamkan fitnah di antara mereka. Namun, pada suatu hari, mereka mulai membicarakan kembali peristiwa-peristiwa lama: bahwa pada hari ini terjadi begini dan begitu, ‘kalian dulu melakukan ini’, ‘kalian dalam kesesatan’… lalu mereka pun saling berdebat: ‘tidak, kami yang berada di pihak yang benar, kalian yang salah’, dan seterusnya…Mereka pun mulai berselisih hingga mencabut pedang satu sama lain, dan masing-masing mengklaim bahwa kebenaran ada di pihaknya.3
- Lihat Shuhba I.80, catatan kelima.
- Disebutkan bahwa ia melakukan hal itu selama bertahun-tahun, sebagaimana disebutkan oleh Qusyairi dalam Risalah-nya (bab tentang diam). Hal yang sama juga diriwayatkan tentang seorang syekh Suriah yang dikenal sering tersenyum dan berperangai lembut, Abu Yahya ‘Abd Allah bin Abi Zakariyya al-Khuza’i al-Rabbani (w. 117 H / 735 M), oleh Abu Nu‘aym dalam Hilyat al-Awliya (5:152), bahwa beliau melakukan hal tersebut selama bertahun-tahun untuk mempelajari diam.”
- Al-Baydawi berkata mengenai ayat: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menaati segolongan dari orang-orang yang diberi Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang-orang kafir setelah kamu beriman.” (Ali ‘Imran, 3: 100): “Ayat ini diturunkan berkenaan dengan sekelompok dari kabilah Aus dan Khazraj yang sedang duduk bersama dan bercakap-cakap, lalu seorang Yahudi bernama Sya’s bin Qays lewat dan merasa terganggu melihat keakraban dan kehangatan mereka. Maka ia menyuruh seorang pemuda Yahudi untuk duduk bersama mereka dan mengingatkan mereka akan hari (perang) Bu’ats serta melantunkan kepada mereka beberapa bait syair tentang hal itu. Dalam perang Bu’ats tersebut, kabilah Aus yang menang. Pemuda itu pun melakukan sebagaimana yang diperintahkan, lalu kelompok tersebut mulai berselisih, saling membanggakan diri, marah pun memuncak, dan mereka berteriak, ‘Angkat senjata! Angkat senjata!’ Maka berkumpullah massa dalam jumlah besar dari masing-masing pihak. Saat itulah Rasulullah (saw) mendatangi mereka dan bersabda, ‘Apakah kalian menyerukan seruan jahiliyah sementara aku masih berada di tengah-tengah kalian, dan setelah Allah memuliakan kalian dengan Islam, memutus perkara jahiliyah dari kalian, dan mempersatukan hati kalian?’ Mereka pun sadar bahwa itu adalah hasutan setan dan tipu daya musuh-musuh mereka. Maka mereka meletakkan senjata, saling berpelukan, dan berjalan pergi bersama Rasulullah (saw).” Riwayat ini dinukil dari: (i) Ibn Ishaq melalui Ibn Hisham dalam Sīrah (1:556); (ii) Zayd bin Aslam melalui al-Ṭabarī; juga disebut oleh al-Tha‘labī, al-Baghawī, dan lainnya. Lihat juga: al-Wāḥidī, Asbāb al-Nuzūl; al-Suyūṭī, al-Durr al-Manthūr; Ibn Ḥajar, al-‘Ujab fī Bayān al-Asbāb, ed. ‘Abd al-Ḥakīm Muḥammad al-Anīs, 2 jilid (Dammam: Dār Ibn al-Jawzī, 1418 H / 1997 M), 2:720–722, no. 216.
Inilah fitnah yang terjadi antara Aus dan Khazraj, sampai datang perintah Allah: Jangan menyebutkan peristiwa yang telah terjadi, meskipun baru dua jam yang lalu; barang siapa melakukannya, maka atasnya laknat Allah dan Rasul-Nya. Perkara ini sangat penting, terlebih di zaman kita sekarang, di mana banyak orang celaka karena lisannya.1 Terutama karena Rasulullah (saw) telah berwasiat, “Keselamatan seseorang terletak pada menjaga lisannya.” Semakin sedikit ucapanmu, semakin besar keselamatanmu. Semakin banyak ucapanmu, semakin besar pula tanggung jawabmu di dunia dan akhirat. Banyak orang celaka karena lisannya. Rasulullah (saw) juga berwasiat, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”2
Wa min Allāh at-tawfīq, bi ḥurmatil ḥabīb, bi ḥurmatil Fātiḥah.
- Lihat catatan selanjutnya dan banyak hadits dengan makna serupa yang dikumpulkan oleh Ibn Abi al-Dunya dalam kitabnya As-Shamt (Diam).
- Riwayat ini disampaikan dari sejumlah sahabat Nabi (saw) melalui berbagai jalur. Di antaranya: (i) Abu Syurayh al-‘Adawi al-Khuza’i, yang diriwayatkan oleh Mālik, Ahmad, ad-Dārimī, al-Bukhārī, Muslim, Ibn Mājah, dan at-Tirmiżī; (ii) ‘Abd Allah bin ‘Amr bin al-‘Āṣ, yang diriwayatkan oleh Ahmad; (iii) Abu Hurairah, yang diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bukhārī, Muslim, Ibn Mājah, Abu Dāwūd, dan at-Tirmiżī; (iv) Abu Umāmah, yang diriwayatkan oleh ath-Ṭabarānī dalam al-Mu‘jam al-Kabīr dan oleh al-Bayhaqī dalam az-Zuhd; (v) seorang sahabat dari kabilah Muzainah yang tidak disebutkan namanya, yang diriwayatkan oleh Ahmad; serta dari (vi) ‘Aisyah, yang juga diriwayatkan oleh Ahmad.