
Shaykh Nour Kabbani
Albany, New York, 29 Juni 2025
North American Muslim Alliance Conference (hari ke-2)
Assalāmu ‘alaikum wa raḥmatullāhi ta‘ālā wa barakātuh.
A‘ūdzu billāhi mina asy-syaithāni ar-rajīm.
Bismillāhi ar-Raḥmāni ar-Raḥīm.
Al-ḥamdu lillāhi Rabb al-‘Ālamīn, waṣ-ṣalātu wa as-salāmu ‘alā sayyidinā wa mawlānā wa nabiyyinā Muḥammadin, wa ālihi aṭ-ṭayyibīn aṭ-ṭāhirīn, wa ṣaḥābatihi al-kirām al-bararati ajma‘īn, wa man tabi‘ahum bi iḥsānin ilā yawmid-dīn, wa ‘alā sā’iri al-anbiyā’i wa al-mursalīn, wa al-awliyā’i wa ‘ibādillāhi aṣ-ṣāliḥīn, wa ‘alayna mā hum ajma‘īn yā Arḥama ar-Rāḥimīn. Wa lā ḥaula wa lā quwwata illā billāhi al-‘Aliyyi al-‘Aẓīm.
Pemutusan sambungan. Jalan kita, jalan batin dalam Islam. Jalan lahiriah, semua orang tahu mengenai jalan lahiriah, semua orang dapat mempelajarinya. Semua orang bisa pergi ke madrasah, bisa pergi ke masjid, dapat mendengarkan para imam. Semua orang mengajarkan jalan lahiriah. Jalan jawāriḥ, jalannya fisik. Doa, zakat, puasa, haji, syahadat, dan semua yang kita lakukan; Qira’atul Qur’an, shalawat kepada Nabi, semua yang dilakukan semua orang. Tetapi yang hilang adalah hubungan antara Al-Qur’an dan sunnah dengan fisik. Orang sedang membicarakan tentang ayat-ayat Al-Qur’an. Orang berbicara tentang sebuah hadits dari Rasulullah (saw), ceramahnya, kata-kata yang telah beliau ucapkan selama hidupnya—yang berlangsung selama 23 tahun. Dalam 23 tahun, beliau tidak hanya berbicara 10.000, 12.000, 20.000, atau 100.000 hadits—beliau mungkin telah berbicara lebih dari sejuta hadits. Dalam 23 tahun, setiap hari Rasulullah (saw) menyampaikan kepada sahabatnya; dan para sahabat menyampaikannya kepada tabi’in dan seterusnya sampai itu sampai kepada kita.
Jadi, masalah sebenarnya saat ini adalah bahwa hati tidak terhubung dengan Al-Qur’an dan sunnah. Ya, kalian dapat menyampaikan khotbah sebanyak yang kalian inginkan. Kalian bisa mengatakan sebanyak yang kalian inginkan, tetapi hati tidak terhubung. Ada sesuatu yang disebut hikmah. Pernah mendengar tentang hikmah? Apa itu hikmah? Kebijaksanaan. Di mana kebijaksanaan dalam Al-Qur’an suci?
Kebijaksanaan itu seperti yang Syekh Saif al-Azam bicarakan kemarin tentang lebah madu. Apa itu lebah madu? Lebah madu adalah yang mengumpulkan kebijaksanaan. Para awliyaullah telah mengumpulkan hikmah. Mereka telah mempelajari Al-Qur’an al-Karim, mereka telah mempelajari hadits-hadits Rasulullah ﷺ, dan mereka datang dengan nektar untuk kalian. Mereka telah menghasilkan pemahaman dari apa yang mereka pelajari. Mereka tidak sekadar mengulangi. Mereka memberimu sesuatu yang asli. Mereka memberi kalian pemahaman nyata dari apa yang mereka pahami, dan mereka memberikannya kepada kalian dalam bentuk madu—seperti lebah madu yang mengumpulkan nektar dari semua bunga, semua mawar, semua pohon, semua semak, segala sesuatu—tapi hasilnya adalah sesuatu yang manis.
Jadi, para awliyaullah memiliki hikmah, dan itulah yang hilang. Itu yang hilang saat ini: kebijaksanaan itu. Yang juga hilang saat ini adalah samā‘. Dulu, para fuqura dan darwish mengalami saat-saat yang menyenangkan ketika mereka mendengarkan nasyid, membuat hadrah, dan melakukan dzikrullah. Di Syām asy-Syarīf, di mana Ibu saya dilahirkan dan dibesarkan di sana—saya tinggal di sana hampir lima atau enam tahun hidup saya selama perang Lebanon. Saya dibesarkan di Jabal Qasyun, di pegunungan Qasyun. Di pusat kota Syām, saya biasa lewat Sayyidina Muhyiddin Ibn Arabi—masjid beliau ada di sana. Di masjid itu, dan banyak masjid lain, ada hadrah. Ada Tarekat Syadiliyyah di sana, Tarekat Rifa’iyyah. Mereka melakukan hadrah. Mereka melakukan dzikrullah.
Sekarang, di mana itu? Semuanya telah menjadi kering. Kering. Hanya kata-kata dan kata-kata dan kata-kata. Di mana samā‘? Kalian membutuhkan samā‘ untuk kaum muda. Kalian tidak butuh kolam renang.
Kalian tahu, saya berada di Chicago. Saya dulu tinggal di sana, lalu pindah ke Michigan. Saya berada di sana selama hampir lima belas tahun, atau mungkin saja delapan belas, dua puluh tahun. Masjid-masjid di Chicago, dan saya akan menyebutkan satu, yaitu di Wheaton. Di Wheaton, mereka memiliki pusat komunitas. Mereka bertanya, “Bagaimana kita bisa menarik kaum muda?” Saya dulu, beberapa Jumat, ikut shalat berjamaah di sana, tetapi saya tidak terlalu terlibat dalam masjid tersebut. Namun, mereka merencanakan pembangunan kolam renang—bukan hanya kolam renang biasa, tetapi kolam renang Olimpiade. Mereka merencanakan membuat ruang biliar, kolam renang, TV besar, tempat bersantai untuk anak-anak muda. Mereka pikir mereka hanya bisa menarik kerumunan muda dengan kolam renang. Itu sangat disayangkan. Itu seharusnya tidak diizinkan. Kalian tidak bisa menarik kaum muda ke gym di masjid. Kalian tidak bisa menarik mereka dengan area nongkrong di masjid. Ini bukan caranya; karena mereka telah melupakan jalan batin.
Jalan batin adalah hikmah. Dimana itu disebutkan dalam Al-Qur’an suci? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman bahwa Dia telah mengajarkan Nabi ‘Isa ‘alaihis salam:
وَيُعَلِّمُهُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَٱلتَّوْرَىٰةَ وَٱلْإِنجِيلَ
Wa yu‘allimuhu al-kitāba wa al-ḥikmata wa at-Tawrāta wa al-Injīl.
“Dan Dia akan mengajarkan kepadanya al-Kitab, hikmah, Taurat, dan Injil.” (QS Ali ‘Imran, 3: 48)
Dia mengajarkan kepadanya Taurat, mengajarkan kepadanya Injil, dan mengajarkan kepadanya hikmah, dan juga kitabnya. Allah juga berfirman:
وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ ٱلْحِكْمَةَ
Wa laqad ātaynā luqmānal-ḥikmah
Dan sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Luqman. (QS Luqman, 31: 12)
“Kami telah memberikan Luqman kebijaksanaan.” Apa itu hikmah?
وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرً
Wa man yu’tal-ḥikmata faqad ūtiya khayran katsīrā
Barang siapa diberi hikmah, sungguh dia telah diberi kebaikan yang sangat banyak. (QS Al-Baqarah, 2: 269)
Orang yang diberi hikmah, sungguh telah diberikan kebaikan (khayr) yang sangat banyak. Dan itulah yang hilang. Itulah yang menjadi pemutusan. Tidak ada lagi hikmah. Yang ada hanyalah pengulangan—pengulangan dari apa yang kita dengar, dan pengulangan dari apa yang kita hafal. Tetapi di mana hikmah yang telah kita bawa masuk ke dalam hati kita, lalu kita berikan sebagai nektar kepada anak-anak muda? Tidak ada. Atau kalaupun ada, sangat sedikit. Sangat sedikit.
Jadi hikmah—apa itu hikmah? Allah (swt) telah menjelaskan kepada kita. Dia tidak membiarkannya menjadi khayalan atau imajinasi kita. Dia menyebutkan apa itu hikmah. Dia berfirman,
وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ ٱلْحِكْمَةَ أَنِ ٱشْكُرْ لِلَّهِ
Wa laqad ātaynā luqmānal-ḥikmata ani’ushkur lillāh
Dan sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu, ‘Bersyukurlah kepada Allah! (QS Luqman, 31: 12)
“Ucapkanlah terima kasih kepada-Ku. Tunjukkan rasa syukurmu kepada-Ku. Ucapkan terima kasih kepada-Ku. Berikan Aku rasa syukurmu.” Katakanlah, “Terima kasih, ya Rabbi. Segala puji bagi-Mu. Terima kasih atas semua yang telah Engkau lakukan.” Itulah permulaannya.
Bagaimana al-Qur’an al-Karim dimulai? Bahkan anak-anak muda pun tahu—ia dimulai dengan Surah al-Fatihah. Dan bagaimana Surah al-Fatihah dimulai? Dengan al-ḥamdu lillāh. Maka, di mana pengakuan kita? Di mana rasa syukur kita? Itulah yang menghubungkan kalian dengan Allah Subhanahu wa Ta‘ala.
Ada seorang pria miskin, seorang pria muda. Saya akan menceritakan sebuah kisah, seperti yang saya sebutkan kemarin. Faqṣuṣ al-Qaṣaṣ—itulah perintah dalam al-Qur’an suci. Ceritakanlah kisah kepada mereka agar mereka bisa merenung, agar mereka bisa memikirkannya.
Ada seorang pemuda, mungkin usianya dua puluhan. Dia penuh semangat akan dunia ini, tapi dia miskin, dia tidak punya uang. Dia datang kepada seorang ‘alim, atau katakanlah kepada seorang waliyyullah—seorang kekasih Allah, seorang suci. Dia mengeluh bahwa dirinya miskin. Sang wali melihatnya, memperhatikannya, lalu berkata, “Baiklah, aku punya tawaran untukmu. Aku akan memberimu uang.” Pemuda itu sangat senang. Ia berkata, “Iya, apa yang harus aku lakukan?”
Wali itu berkata, “Bagaimana kalau engkau menjadi buta? Aku akan memberimu sepuluh ribu dirham.” Dirham adalah koin perak. Sekarang banyak Muslim yang berkecimpung dalam dunia keuangan, jadi mereka tahu nilai satu ons perak saat ini—mungkin sekitar tiga puluh dolar per ons. Jadi sepuluh ribu dirham, katakanlah bernilai sekitar dua puluh lima ribu dolar. Dia bertanya, “Apakah engkau bersedia menjadi buta demi uang itu?”
Pemuda itu menjawab, “Tidak.”
Lalu sang wali berkata, “Baik, bagaimana kalau kau memberiku tangan dan kakimu? Aku akan memberimu empat puluh ribu dolar—atau lima puluh ribu, bahkan lebih.” Pemuda itu berkata, “Tidak.”
Kemudian dia bertanya lagi, “Bagaimana kalau kamu kehilangan akal? Bagaimana kalau Allah mengambil darimu pikiran yang teratur, kemampuan menilai yang sehat, dan ide-ide yang jernih? Jika engkau setuju, aku akan memberimu lima puluh ribu dolar lagi.” Dan pemuda itu tetap menjawab, “Tidak.”
Wali itu pun berkata, “Kalau begitu, bagaimana engkau bisa mengeluh kepada Tuhanmu ketika aku menawarkan seratus ribu dolar atas apa yang sudah Dia berikan kepadamu?”
Apa yang telah Allah berikan kepada kita? Pernahkah kita berpikir, “Ya Rabbi, terima kasih atas mata yang telah Engkau berikan padaku?” Itulah sebabnya hikmah—kebijaksanaan—dimulai dengan rasa syukur kepada Allah. Jika kalian ingin terhubung dengan al-Qur’an suci, maka engkau harus memulai dengan al-ḥamdu lillāh. Al-ḥamdu lillāhi Rabb al-‘ālamīn. Mereka katakan, “Segala puji bagi Allah.” Ya, semua pujian memang bagi Allah, tetapi juga ṯanā dan syukr—rasa syukur kepada Allah. Maka katakanlah, “Ya Rabbi, terima kasih atas mata yang Engkau berikan padaku.” Nilainya bukan hanya sepuluh ribu dolar. Nilainya jutaan, jika engkau mau menghitungnya dengan nilai dunia. Bukankah itu benar?
Jadi, koneksi kita dengan al-Qur’an suci dimulai dengan kita mengingat nikmat-nikmat Allah atas diri kita. Berapa banyak orang yang masih memiliki kedua orang tua mereka? Wahai anak-anak muda, berapa banyak dari kalian yang sudah tidak memiliki orang tua lagi? Betapa besar bantuan dan nikmatnya bagi mereka yang masih memiliki kedua orang tua. Atau setidaknya satu. Atau mereka yang memiliki mata yang berfungsi, telinga yang berfungsi, dan lidah yang bisa bicara.
Kalian mulai terhubung dengan al-Qur’an suci dan Sunnah dengan terlebih dahulu belajar bagaimana mengatakan, “Al-ḥamdu lillāhi Rabb al-‘ālamīn.” Mā syā’a Allāh, kita berdiri dalam shalat setiap hari, lima kali sehari. Bahkan sebagian dari kita melakukannya lebih banyak melalui ibadah sunnah. Dan kita memulai shalat dengan berkata, “Ya Rabbi, al-ḥamdu lillāh, terima kasih.” Ingatlah itu… dalam segala hal. Di setiap waktu. Setiap saat, kalian harus berkata, “Ya Rabbi, terima kasih atas apa yang telah Engkau berikan kepadaku.”
Berapa banyak orang yang bersyukur kepada Allah atas pasangan mereka? Apakah kalian bersyukur kepada Allah atas istri kalian? Apakah kalian bersyukur kepada Allah atas suami kalian? Apakah kalian bersyukur kepada Allah atas anak-anak kalian? Bagaimana dengan atap di atas kepala kalian? Sebagian orang berkata, “Rumahku kecil, aku tidak suka.” Tapi seharusnya kalian berkata, “al-ḥamdu lillāh,” bahwa Allah (swt) telah meletakkan atap di atas kepala kalian. Kalian berada di tempat yang melindungi kalian. Jika ada makanan di atas meja kalian—meskipun hanya sepotong roti—jika kalian memiliki pakaian untuk menutupi tubuh kalian, dan atap untuk menaungi kepala kalian, sungguh dunia telah datang kepada kalian. Seperti yang Rasulullah ﷺ sabdakan.
Beliau bersabda, “Dunia telah diberikan kepada siapa pun yang memiliki makanan, pakaian, dan tempat berteduh.”
Maka di manakah syukur kita? Terputus. Koneksi itu terputus karena kita tidak bersyukur. Tunjukkan rasa syukur kalian kepada Allah (swt), wahai Muslim, wahai Mu’min. Mulailah dengan diri kalian sendiri—lihatlah apa yang kalian miliki. Beberapa orang terlahir dengan enam jari. Apakah kalian ingin seperti itu? Ada yang memiliki celah di langit-langit mulut atau bibir sumbing. Apakah kalian ingin memilikinya? Ada orang yang tidak memiliki batang hidung. Apakah kalian ingin seperti itu? Allah telah menciptakan kalian dalam bentuk yang terbaik. Namun manusia mengeluh, “Aku tidak punya uang,” padahal dia melupakan segalanya. Dia punya akal untuk berpikir.
Jadi, koneksi itu hilang karena kita tidak berterima kasih kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Apakah itu cukup? Allah berfirman:
وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا
Wa in ta‘uddū ni‘mata Allāhi lā tuḥṣūhā
Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. (QS An-Nahl, 16:18)
Jika kalian mencoba menghitung nikmat-nikmat Allah (swt), kalian tidak akan mampu menghitungnya. Itu berarti pujian (hamd) kita juga tidak boleh bisa dihitung. Kalian tidak bisa menghitung semua hamd yang seharusnya kalian ucapkan. Itulah yang harus kita lakukan: setiap kali kalian bangun, ucapkan, “al-ḥamdu lillāh. Setiap kali kalian makan, ucapkan, “al-ḥamdu lillāh.” Rasulullah ﷺ mengajarkan kita: Nama Allah harus dipuji, syukur harus diungkapkan. Jika kalian memulainya begitu, maka Allah (swt) akan membawa kalian menuju ar-Raḥmān, ar-Raḥīm. Tetapi jika hamd kalian tidak benar, jika kalian tidak bersyukur kepada Rabb al-‘ālamīn—yang telah memelihara kalian dan memberikan segala nikmat ini—dan kalian tidak mengucapkan terima kasih, bagaimana mungkin kalian melanjutkan dengan al-Qur’an al-Karim? Kalian tidak bisa.
Sebagaimana dikatakan oleh salah seorang ‘ulama yang terhormat, beliau menyebutkan bahwa Sayyidina Ibn Mas‘ud (ra) sedang mempelajari ayat-ayat al-Qur’an bersama para sahabat lainnya. Ketika mereka selesai, aku mendengar bahwa Sayyidina Abdullah ibn ‘Umar (ra) berkata bahwa ia menghabiskan tujuh tahun—atau mungkin sepuluh tahun, saya lupa karena ingatan saya tidak begitu kuat—dalam Surah al-Baqarah. Tujuh tahun, hanya untuk menyelesaikan Surah al-Baqarah. Mengapa? Untuk benar-benar memahami apa yang ada di dalamnya. Ayat demi ayat.
Maka mari kita mulai dari: “Al-ḥamdu lillāhi Rabb al-‘ālamīn,” mulailah dari sana, wahai anak muda. Lihatlah apa yang telah Allah berikan kepada kalian. Ini adalah kisah orang miskin—jika kalian miskin, tidak mengapa. Karena Allah (swt) tetap memberi kalian.
Saya membaca di suatu tempat—dan hanya Allah yang paling tahu—bahwa di atas pedang Sayyidina al-Husain, tertulis:
Ar-rizqu maqsūm: Rezeki telah dibagikan (oleh Allah).
Wal-ḥarīṣu maḥrūm: Dan orang yang serakah akan terhalang (dari mendapatkan bagian).
Karena jika Allah tidak menulis rezeki kalian, sebanyak apa pun engkau berusaha, bekerja keras, mengejar dunia… kalian tidak akan mendapatkannya. Itu bukan untuk kalian. Maka, mengapa harus serakah, wahai Muslim? Orang yang lainnya–biarkan mereka; mereka tidak tahu Islam, tidak tahu iman; tetapi kita—kita tahu.
ٱلرِّزْقُ مَقْسُومٌ، وَٱلْحَرِيصُ مَحْرُومٌ، وَٱلْبَاخِلُ مَذْمُومٌ، وَٱلْحَسُودُ مَهْمُومٌ
Ar-rizqu maqsūm: Rezeki telah dibagikan (oleh Allah).
wal-ḥarīṣu maḥrūm: Dan orang yang serakah akan terhalang (dari mendapatkan bagian).
wa al-bākhilu madzmūmun: Orang yang kikir akan terhina.
wa al-ḥasūdu mahmūmun: Orang yang hasad akan selalu gelisah. Dia akan terus hidup dalam tekanan dan depresi.
Semua itu terrtulis pada pedang Sayyidina Husain (ra)—dan Allah Maha Mengetahui. Tapi itu adalah kalimat-kalimat hikmah. Kalian mengambil hikmah di mana pun kalian menemukannya.
Bahkan jika itu berasal dari orang-orang non-Muslim: Buddha, Sikh, Hindu, Kristen—jika itu hikmah, maka ambillah. Lihatlah apa manfaat yang bisa diberikannya pada kalian.
Diceritakan ada seorang Waliyullah, seorang kekasih Allah, masuk ke dalam majlis seorang raja. Hari itu sangat panas—seperti esok hari yang panas di Albany. Raja itu sedang duduk di atas takhtanya, minum segelas air. Ketika dia melihat sang ‘alim datang, ia berkata kepadanya, “Wahai faqih, katakan padaku sesuatu. Sampaikan sebuah nasihat.” ‘Alim itu melihat ke arah raja. Ia berkata, “Wahai Tuanku, jika segelas air itu tidak akan diberikan kepadamu kecuali dengan engkau membayar seluruh hartamu, akankah engkau tetap membelinya?” Raja itu menjawab, “Ya, tentu.” Kemudian sang ‘alim melanjutkan, “Lalu bagaimana jika air itu tidak akan diberikan kepadamu, kecuali dengan engkau meninggalkan seluruh kekuasaanmu, otoritasmu, singgasanamu—apakah engkau akan tetap melakukannya?” Raja itu terdiam… lalu menjawab, “Ya. Aku akan melakukannya.” Lalu sang ‘alim berkata, “Maka ketahuilah, wahai Raja yang agung, bahwa seluruh yang kau miliki hari ini—takhtamu, kekuasaanmu, hartamu—semuanya tidak sebanding dengan segelas air.”
Apakah kalian mempercayai itu, wahai anak-anak muda?
Mā syā’a Allāh, kalian suka soda, ya? Sprite, Coke, Fanta. Di hari yang panas, kalian suka meminumnya dingin, dengan es. Bayangkan: kalian tidak punya itu, dan kalian sangat haus. Tapi kalian punya satu juta dolar di bank. Lalu seseorang datang dan berkata, “Aku akan berikan padamu segelas Pepsi—tapi dengan satu syarat: bayar satu juta dolar.” Dan kalian sedang berada di tengah padang pasir Arizona, atau gurun Sonora yang membakar. Apa yang akan kalian lakukan? Apakah kalian akan memberinya satu juta dolar demi segelas minuman dingin? Ya, tentu akan kalian lakukan. Kalau tidak, kalian akan mati. Itu berarti… seluruh kekayaan dunia, semua harta, properti, kendaraan, rekening bank—semuanya tidak bernilai dibandingkan segelas air ketika kamu sangat haus dan hampir mati karena kehausan. Bukankah benar?
Lihatlah nikmat Allah (swt)! Nikmat Allah setara dengan seluruh bumi ini dan segala isinya. Kalau kalian tidak bisa mendapatkannya, bagaimana kalian bisa bertahan hidup? Bagaimana kalian bisa terus hidup? Kalian akan mati. Jadi, kalian mulai dengan membaca, “Al-ḥamdu lillāhi Rabb al-‘ālamīn,” pahami apa yang Allah (swt) telah berikan kepada kalian, wahai Muslim. Pertama, nikmat fisik, lalu nikmat iman, dan pahami apa yang Allah (swt) telah berikan kepada kalian dari makanan, minuman, air, tempat tinggal, pekerjaan, orang tua kalian, dan apa pun itu. Itulah cara kalian terhubung dengan Tuhan kalian. Kalian ucapkan, “Al-ḥamdu lillāhi Rabb al-‘ālamīn,”
Mā syā’a Allāh, di sini di atas Albany ada Saratoga Springs. Ada yang tahu mata air Saratoga?
Ada yang pernah ke sana? Jika belum pernah ke sana, tak mengapa. Tapi jika ingin, silakan pergi. Apa yang ada di sana? Mata air mineral, tempat mandi. Sama seperti yang ada di rumah kita, di Turki kita punya banyak mata air panas. Ada di sini, ada di sana.
Sekarang bayangkan—bayangkan kalau kalian terjebak di dalam sumber air panas. Bayangkan kalian terperangkap dalam sebuah sauna, di dalam spa panas. Apa yang akan terjadi pada kalian? Atau bayangkan kalian terjebak di dalam sumur yang dalam. Kalian masuk ke dalam sumur dan tak ada seorang pun ada yang menyelamatkan kalian. Apa yang terjadi pada kalian? Jika Allah (swt) tidak mengizinkan satu napas ini keluar, apa yang akan terjadi pada kalian? Kalian kolaps. Satu tarikan napas tidak bisa masuk, apa yang terjadi? Kalian kolaps!
Jadi, nikmat-nikmat Allah (swt)… Ketika kalian mengingat nikmat Allah (swt), itulah saat kalian membangun hubungan, yakni bahwa “ada Zat yang telah memberiku semua yang kumiliki.” Dan Dia adalah Rabb al-‘ālamīn. Jadi, kalian mulai dengan Al-ḥamdu lillāh. Ucapan itu akan menghubungkan kalian dengan Rabb al-‘ālamīn. Lalu kalian mulai memahami: Siapa itu Rabb.
Dia yang membesarkan kalian, yang merawat kalian sejak kecil sampai tua. Dia adalah Rabb al-‘ālamīn, Yang memberi semua nikmat. Dari situ, kalian mulai masuk ke dalam al-Qur’an suci. Kalau tidak begitu, bagaimana kalian bisa memahaminya?
Lihatlah dalam Surah ar-Raḥmān. Berapa kali ayat ini diulang? “Fa-bi-ayyi ālā’i Rabbikumā tukażżibān?” Berapa kali diulang? Ada yang menghitung? 33 kali. Mengapa Allah (swt) mengulangnya sebanyak itu dalam Surah ar-Raḥmān? “Nikmat Tuhanmu manakah yang engkau dustakan?” Jin tidak mendustakannya, sebagaimana Rasulullah ﷺ berkata kepada para sahabatnya, “Ada apa dengan kalian? Jin tidak mendustakannya. Mereka mengucapkan, Al-ḥamdu lillāh.” Lalu bagaimana dengan kalian, wahai manusia? 33 kali Allah (swt) bertanya kepada kalian, “Nikmat-Ku yang mana yang engkau ingkari?” Tetapi manusia tidak melihat nikmat-nikmat itu. Tidak melihat nikmat Allah (swt) pada diri mereka. Tidak melihat nikmat Allah (swt) di sekeliling mereka.
Mulailah dengan itu. Itu adalah hikmah. Hikmah adalah ketika kalian mengingat nikmat-nikmat Allah atas kalian, wahai Muslim. Apa yang telah Allah (swt) berikan kepada kalian. Ketika kalian mengingat itu, kalian tidak lagi mengeluh kepada-Nya. Sebaliknya, kalian mulai bersyukur kepada-Nya. Lalu Dia membawa kalian kepada Rabb al-‘ālamīn. Dia berfirman, “Aku menciptakanmu. fa-anā ilāh.” Jadi ketika kalian mengucapkan, “Al-ḥamdu lillāh”,
Pujian bagi Allah — siapa Allah? “Aku-lah yang menciptakanmu, fa-anā ilāh, Aku adalah Tuhan.”
Yang menciptakan adalah Tuhan—bukan seperti orang-orang yang membuat konten di Instagram atau TikTok —seperti kalian para anak muda hari ini. (Semoga yang lebih tua tidak melakukan itu…) Tapi anak-anak muda itu berkata, “Aku seorang kreator, aku pencipta.” Pencipta apa? Menciptakan manusia? Menciptakan sesuatu yang hidup dari ketiadaan? Jangan cuma menggabungkan dua hal lalu mengklaim menciptakan. Mereka berkata, “Kita bisa menciptakan manusia!” “Kita bisa mengkloning!” Tapi bahkan untuk mengkloning pun kalian tetap butuh bahan awal. Sesuatu untuk dimulai. Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta‘ala adalah al-Badī‘.
Apa arti al-Badī‘? Dia menciptakan tanpa bahan. Tanpa apa pun. Tanpa substansi.
Tanpa sesuatu untuk memulai. Dari ketiadaan. Badī‘u as-samāwāti wa al-arḍ. Dia hanya berkata, “Kun” (Jadilah), maka ia pun jadi. Dia tidak membutuhkan apa pun sebagai dasar, berbeda dengan kalian — para “kreator konten”, atau ilmuwan kloning, atau siapa pun. Mereka telah membuat generasi muda menjadi bingung. Sekarang semua orang merasa, “Dia mencipta, aku juga mencipta.” “Dia melakukan sesuatu, kami juga melakukan sesuatu.” “Dia memberi makanan, kami juga memberi makanan.” Itulah mentalitas manusia zaman sekarang — mereka menyangkal nikmat Tuhan. Kalau kalian menginginkan hikmah, mulailah berbicara tentang nikmat-nikmat Allah (swt). Bicara tentang nikmat-Nya atas diri kalian. Nikmat-Nya atas kita semua. Dan mulailah dari situ.
Allah (swt) berfirman:
“khalaqtuka fa-anā ilāh — Aku telah menciptakanmu, oleh karena itu Aku adalah Tuhan.” Maka ketika kalian mengucapkan, “Al-ḥamdu lillāh,” ḥamd–segala puji untuk Allah. Allah berfirman, “Aku telah menciptakanmu, oleh karena itu, Aku adalah Tuhan.” Dan Dia yang merawat kalian, oleh karena itu Dia adalah Rabb. Dia yang menyediakan segala yang kalian butuhkan.
“ṡumma ‘aṣaita fa-satarṭuka fa-anā ar-Raḥmān—lalu ketika engkau durhaka kepada-Ku, Aku tutupi aibmu.” Berapa banyak dari kita yang telah berbuat begitu banyak kesalahan, tetapi Allah (swt) adalah as-Sattār —Dia yang menutup aib-aib kita. Kalian melihat saya dan berkata, “Mā syā’a Allāh, Syekh ini luar biasa…” tetapi tahukah kalian apa yang telah saya lakukan di masa lalu? Tidak. Kalian melihat seseorang dan berkata, “Oh, dia luar biasa…” Tahukah kalian, apa yang telah dia lakukan sebelumnya? Allah (swt) telah menutupi dosa-dosa kita.
“ṡumma tubta fa-aghfiru laka, fa-anā raḥīm—lalu ketika kalian bertobat, Aku mengampunimu, Aku adalah ar-Raḥīm.”
Maka bagaimana kalian akan melangkah lebih jauh ke dalam Al-Qur’an suci? Bagaimana kalian akan maju melewati Surat al-Fātiḥah? Kalian mulai dengan surat pembuka. Kalian bahkan belum mencapai Al-Qur’an. Apa itu Al-Qur’an? Bagaimana Al-Qur’an dimulai setelah Surat al-Fātiḥah? “Alif Lām Mīm” Apa itu “Alif Lām Mīm”? Siapa yang tahu jawabannya? Sebagian awliyaullah tahu apa yang Allah (swt) bukakan kepada mereka, tetapi mayoritas ulama berkata, “Jangan berikan jawabannya. Allah (swt)-lah yang tahu artinya. Itu artinya tiga huruf pertama dari Al-Qur’an suci–ayat pertama dari al-Qur’an suci, tidak seorang pun yang tahu apa maknanya.
Apa itu “Alif”? Sekarang tinggalkan dulu ketiga huruf itu. Mulai dari “Alif”. Apa itu “Alif”? Mereka berkata, ini adalah isyarat untuk ini dan itu. Baik, isyarat dan isyarat—tetapi yang jelas, Allah-lah yang menurunkannya sebagai “Alif.” Artinya kalian belum bisa masuk ke dalam Al-Qur’an suci sampai kalian benar-benar memahami bab pembukaannya. Sampai kalian benar-benar memahami Surat al-Fātiḥah. Sampai kalian memahami Al-ḥamdu lillāh. Sampai kamu mengenal Rabb al-‘ālamīn. Sampai kalian mengenal ar-Raḥmān, yang memberi rahmat kepada orang-orang kafir dan mukmin, orang yang taat maupun yang tidak taat. Semuanya Allah beri kelimpahan.
Mā syā’a Allāh, anak-anak muda sekarang merasa iri dengan orang-orang kaya yang bahkan tidak beriman. Mereka berkata, “Ya, mereka memang kafir, tapi mereka sangat kaya, sangat berkuasa.” Karena Allah adalah ar-Raḥmān, Dia memberi kepada semua orang. Tetapi ar-Raḥīm hanya datang kepada kalian, wahai mukmin. Tobat dan maghfirah (ampunan) datang kepada kalian, wahai mukmin. Setan tidak mendapatkan tobat dan maghfirah, tetapi Adam (as) mendapat tobat dan maghfirah.
Orang mukmin memahami, “Ya Rabbi, aku telah berbuat salah. Engkau telah memberiku semua ini, aku mohon maaf. Apakah Engkau mengampuniku?” Allah menjawab dengan sifat-Nya: ar-Raḥīm, dengan Salāmun qawlan min Rabbi ar-Raḥīm (Salam sejahtera sebagai ucapan dari Tuhan Yang Maha Penyayang) —dengan Nama itu, ar-Raḥīm, Dia akan memuliakan kalian dan mengampuni kalian. Maka kalian melangkah maju dengan diampuni dan dalam tobat. Lalu siapa yang kalian temui berikutnya? Kalian akan bertemu dengan Māliki Yawmi ad-Dīn.
Kalian harus melewati ar-Raḥmān, kemudian ar-Raḥīm, sampai kalian menyadari bahwa kalian telah berbuat kesalahan. Ar-Raḥmān memberi segalanya, ar-Raḥīm memberi kalian tobat dan maghfirah. Kemudian, kalian saling berhadapan dengan Māliki Yawmi ad-Dīn. Sebagaimana sabda Rasulullah (saw), “Kau akan melihat Tuhanmu sebagaimana engkau melihat bulan.” Kalian akan melihat-Nya. Kalian ucapkan, “Māliki Yawmi ad-Dīn.” Itulah jalannya. Tetapi pertama-tama, kalian harus menemukan Māliki Yawmi ad-Dīn. Setelah itu, kalian berkata, “Ya Rabbi, tunjukkanlah padaku jalan yang lurus.” Artinya apa? Kalian bahkan belum berjalan di jalan yang lurus. Ya, kita Muslim al-ḥamdu lillāh, tetapi masih ada jalan panjang. Seperti para Sahabat — mereka telah menempuhnya lebih jauh.
Para Sahabat meninggalkan dunia. Mereka meninggalkan kota-kota, rumah-rumah mereka, harta benda mereka, kekayaan mereka — semuanya. Bahkan jiwa mereka pun mereka korbankan. Mereka melepaskan segalanya. Di mana posisi kita dari melepaskan segalanya tersebut? Sahabat melepaskan bahkan diri mereka sendiri ketika mereka menjadi syahīd. Di mana kita sekarang? Itulah tempat kita terhubung. Kalian terhubung dengan mengingat nikmat-nikmat Allah (swt) atas kalian wahai Muslim, wahai Mukmin. Begitulah caranya.
Semoga Allah (swt) menjadikan kita termasuk orang-orang yang bersyukur (asy-syākirīn), dan orang-orang yang memuji-Nya (al-ḥāmidīn). Dikatakan bahwa yang pertama kali masuk surga adalah al-Ḥāmidūn ‘alā kulli ḥāl, orang-orang yang senantiasa memuji Allah (swt). Rasulullah (saw) telah bersabda, “Orang-orang yang masuk surga pertama kali di Hari Kiamat adalah mereka yang selalu mengucap ḥamd (pujian) dalam setiap keadaan.” Jika kalian belum tahu hadits ini, carilah, googling, telusuri. Bukalah kitab-kitab sahih — salah satu dari enam kitab utama hadits. Temukan hadits itu dan lihat bahwa al-ḥāmidūn ‘alā kulli ḥāl, yang memberikan ḥamd–memberikan terima kasih, pujian dan syukur kepada Allah (swt) dalam segala keadaan: kaya atau miskin, sakit atau sehat, tua atau muda, apa pun itu. Allah (swt) akan segera mengakui mereka dan memasukkannya ke dalam surga. At-tā’ibūn, orang-orang yang bertobat–di dalam Surat at-Taubah. Al-‘ābidūn, orang-orang yang beribadah dan al-ḥāmidūn, orang yang memberikan ḥamd.
Jadi, pertama kita harus kembali dari semua kesalahan yang telah kita lakukan. Dan kesalahan terbesar yang kita lakukan adalah menjadi ghāfil, ghāflat. Jangan menjadi orang yang lalai. Ketika kalian mengatakan, “Aku tidak punya apa-apa.” Lihatlah sekeliling kalian, lihat semua yang telah Allah (swt) berikan kepada kalian; dan katakan, “Ya Rabbi, terima kasih.” Apa yang terjadi ketika kalian mengucapkan terima kasih? Wahai anak muda, apa yang terjadi ketika kalian mengucapkan terima kasih kepada Allah? Pernahkah kalian mendengar ayat ini?
Allah (swt) berfirman,
لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
La’in syakartum la-azīdannakum
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS Ibrahim, 14:7)
“Jika engkau bersyukur, Aku akan menambah (nikmat) untukmu.” Saya rasa ayat itu dari Surat Ibrahim atau Surat Ar-Ra’d — qari kita bisa meluruskan, tetapi saya pikir itu dari Surat Ibrahim. Itulah yang saya ingat.
La’in syakartum la-azīdannakum–jika engkau bersyukur, Aku akan menambahkan untukmu. Jadi, ketika kalian berkata, “Ya Rabbi, terima kasih. Engkau telah memberiku taufik, Engkau telah memberiku keberhasilan untuk kembali kepada-Mu.” Maka Allah Subhanahu wa Ta‘ala akan menambahkannya. Bagaimana caranya? Dengan mendekatkan dirimu lebih lagi kepada-Nya. Ketika kalian berkata, “Ya Rabbi, terima kasih karena telah mendekatkanku kepada-Mu.” Allah (swt) akan membalasnya dengan membuat lebih dekat kepada kalian. Kalian mendekat kepada-Nya, lalu Allah berkata, “Aku akan menambah mahabbah-mu terhadap-Ku.” Kalian mulai mencintai Tuhan kalian.
Mereka berkata, “Bagaimana kita mendapat mahabbah kepada Allah?” “Bagaimana kita mendapat mahabbah terhadap Rasulullah (saw)?” Dengan berterima kasih kepada mereka. Allah (swt) akan menambah mahabbah itu kepada kalian. Kalian katakan, “Ya Rabbi, terima kasih telah menambah cintaku kepada-Mu.” Allah (swt) akan membalas dengan membuat kalian dicintai-Nya. Pertama kalian berjalan menuju cinta-Nya kemudian Dia datang kepada kalian dengan cinta-Nya. Kalian mengatakan, “Ya Rabbi, terima kasih karena Engkau datang kepadaku dengan cinta-Mu.” Dan Allah (swt) akan menambahkannya dengan menarik kalian lebih kuat dan lebih cepat kepada-Nya. Lalu kalian berkata lagi, “Ya Rabbi, terima kasih telah menarikku lebih cepat dan lebih kuat kepada-Mu.” Maka Dia akan meningkatkannya dengan membuat kalian tinggal bersama-Nya. Kalian akan menerima “baqā” — kalian akan menjadi baqī billāh.
Berapa banyak Awliyaullah yang merupakan baqī billāh? Mengapa? Karena mereka telah mengambil jalan itu. Dan semua itu — seluruh perjalanan ini —dimulai dengan “Al-ḥamdu lillāhi Rabb al-‘ālamīn,” itu adalah Surat al-Fātiḥah. Awal dari Surat Pembuka. Dikatakan bahwa itu adalah pembuka bagi semua kebaikan di dunia dan akhirat. Surah al-Fātiḥah sudah cukup. Itulah sebabnya dalam shalat — jika kalian hanya membaca Surat al-Fātiḥah saja, itu sudah cukup. Shalat kalian diterima. Kalian harus memahaminya, wahai anak muda. Kalian semua — al-ḥamdu lillāh, kita telah menerima ilmu dari Syuyukh kita, dari orang tua kita, dari teman-teman kita, tetapi kalian yang lebih muda ingatlah dengan nikmat Allah (swt).
Dan saya akan mengakhirinya di sini. Saya tak ingin membuat kalian lebih bosan lagi. Tetapi ketika kalian mengucapkan, “Al-ḥamdu lillāh”, kalian telah memulai jalan untuk tersambung dengan Al-Qur’an. Kalau tidak? Tak ada jalur apa pun yang bisa menyambungkan kalian ke Al-Qur’an. Kalian harus menerima: Al-ḥamdu lillāhi Rabb al-‘ālamīn, ar-Raḥmāni ar-Raḥīm, Māliki Yawmid-Dīn, barulah Allah akan memberi kalian aṣ-Ṣirāṭ. Allah akan memberi kalian aṣ-Ṣirāṭ siapa? aṣ-Ṣirāṭ Anbiya, aṣ-Ṣirāṭ Awliya, aṣ-Ṣirāṭ Rasulullah (saw). Itulah jalan yang kamu minta. Jalan yang akan Allah berikan pada kalian. Lalu kalian bisa mulai mendekati Al-Qur’anul Karīm dengan Alif Lām Mīm. Dan Allah (swt) Mahamengetahui maknanya. Para Awliyaullah telah mengatakannya—dan saya pernah membaca sesuatu, tetapi saya biarkan itu terbuka agar tidak menimbulkan kebingungan dalam hati siapa pun. Namun, “Alif” — kalian harus tahu apa singkatannya; apa singkatan dari “Lām” dan apa singkatannya dari “Mīm”. Lalu kalian bisa mulai żālika al-kitābu lā rayba fīh. Kitab itu adalah untuk kalian, wahai muttaqī, wahai orang-orang yang bertakwa.
wa min Allāhi at-Taufīq
Saya kira cukup sampai di sini. Terima kasih sekali lagi telah mengizinkan saya menjadi bagian dari pertemuan kalian; telah mengizinkan saya berbicara kepada anak-anak muda kalian. Semoga Allah Subhanahu wa Ta‘ala senantiasa mengumpulkan kita bersama Awliyaullah, selalu mengumpulkan kita bersama mereka di jalan Rasulullah (saw), menuju cinta Allah Subhanahu wa Ta‘ala.
Aqūlu qawli hāżā wa astaghfirullāha al-‘Aẓīm lī wa lakum.
Subḥānaka Allāhumma wa biḥamdik, Asyhadu an lā ilāha illā anta, Astaghfiruka Allāhumma al-‘Aẓīm wa atūbu ilaik.
https://www.facebook.com/northamericanmuslimalliance/videos/675103545692892
© Copyright 2025 Sufilive. All rights reserved. This transcript is protected by international copyright law. Please attribute Sufilive when sharing it. JazakAllahu khayr