Mawlana Syekh Nazim Adil al-Haqqani
Dari buku Mercy Oceans: Divine Sources
Seseorang bertanya kepada saya, “Kita selalu berdoa untuk perdamaian. Bagaimanakah orang-orang yang berbeda dapat hidup bersama dengan damai?”
Ini adalah suatu pertanyaan yang penting, dan saya berterima kasih karena dia telah menanyakan hal ini. Kita memiliki suatu ungkapan: “Pertanyaan adalah setengah dari ilmu.” Menanyakan suatu pertanyaan yang penting seperti itu menandakan adanya kehidupan mental yang aktif dan ketulusan pada diri si penanya. Tidak semua pertanyaan dapat dikategorikan sebagai “setengah dari ilmu”, karena beberapa pertanyaan menunjukkan ketidaktulusan dan tertutupnya pikiran: yaitu ketika jawaban yang diharapkan atau pendapat yang diinginkan sudah tercakup dalam pertanyaannya. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu bukanlah suatu pertanyaan sama sekali, dan yang semacam itu datang kepada kita bagai beratnya sebuah gunung: pertanyaan-pertanyaan seperti itu hanya mempersempit perspektif suatu pembicaraan atau diskusi. Tetapi, suatu pertanyaan yang tulus seperti pertanyaan tentang perdamaian ini adalah sesuatu yang membuat kami senang menerimanya dan senang pula untuk menjawabnya.
Kami berdoa demi perdamaian, kalian pun berdoa demi perdamaian dan umat Kristen pun berdoa untuk perdamaian. Tetapi perdamaian tetap tidak tercapai, baik secara individual maupun secara umum – mengapa? Apa pun yang terjadi di dunia ini memerlukan kondisi dan syarat yang tepat agar bisa muncul dan terjadi. Perdamaian pun bukanlah pengecualian terhadap aturan ini. Agar perdamaian dapat terwujud, diperlukan kondisi dan syarat tertentu yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Yang pertama adalah perdamaian batiniah (inner peace), kemudian perdamaian antara diri kalian dengan orang-orang yang berada di sekitar kalian. Tetapi, perdamaian akan tetap menjadi suatu sasaran yang tak pernah tercapai selama kondisi-kondisi untuk pencapaiannya ini tidak terpenuhi.
Agar suatu perdamaian dapat tercapai di antara manusia, syarat primer dan utamanya adalah melihat satu sama lain dengan sikap murah hati dan toleransi. Lihatlah taman yang indah ini: tanahnya sama dan menyatu; beratus-ratus jenis pohon dan tanaman yang berbeda tumbuh di atasnya! Kita tidak pernah melihat mereka mengeluh mengenai posisi tanaman lain yang tumbuh terlalu dekat. Mereka bukanlah fanatik yang bersikeras agar seluruh pohon di area tersebut berasal dari satu jenis saja.
Jika kalian hidup di lingkungan dengan berbagai latar belakang dan agama yang berbeda, kemudian masing-masing saling menghormati hak-haknya, maka kalian pun akan hidup di lingkungan mereka tanpa menemui masalah apa pun. Nabi kita Muhammad (saw), pernah hidup bertetangga dengan seorang Yahudi. Beliau tidak pernah protes dan berkata, “Bawa orang itu pergi dari lingkunganku dan biarkan dia tinggal bersama kaumnya.” Tidak! Teladan dan contoh dari Nabi Suci (saw) adalah teladan yang terbaik bagi kita, dan beliau selalu menekankan pentingnya hubungan bertetangga yang baik. Dalam Quran Suci, telah pula disebutkan secara spesifik bahwa tetangga adalah termasuk di antara yang pertama-tama menerima pertolongan dan sedakah. Karena itu, bertetangga adalah suatu konsep yang penting dalam Islam, dan berdekatannya orang-orang yang berbeda akan menghancurkan fanatisme yang sempit. Kalian telah diserukan dan diperintahkan untuk menjadi tetangga-tetangga yang baik.
Kalian mempunyai agama kalian, jalan hidup kalian dan ide-ide kalian, dan mereka pun memiliki agama, jalan hidup, dan ide-idenya sendiri. Serahkanlah mereka pada Tuhannya dalam urusan-urusan yang berbeda dengan kalian, tetapi dengan berbagai cara, jagalah penghormatan pada tetangga kalian dan berikan yang terbaik baginya. Inilah tugas kalian, dan jika kalian melakukan tugas ini, kalian bisa berharap bahwa tetangga kalian pun akan menunjukkan kebaikan yang serupa terhadap kalian. Jangan mencari-cari kesalahannya atau menyebabkan kedengkian dan kebencian dengan menyerang kepercayaannya. Biarkanlah Tuhan kalian, Sang Hakim dari segala hakim, untuk memutuskan; dan fanatisme kalian pun akan mati.
Saat ini saya duduk bersama kalian. Jika saya melihat kalian (dan pada semuanya) sebagai makhluk Tuhan, sebagai buah yang unik dan sempurna dari penciptaan yang luhur oleh Tuhan saya; melihat diri kalian seperti seseorang yang sedang melihat pada sekuntum mawar atau sebuah pohon yang sedang berbuah, itu artinya sekarang saya sedang duduk di sebuah taman surgawi, dan kedamaian batiniah datang dari setiap orang ke dalam hati saya. Jika kita dapat melihat satu sama lain dengan adab seperti itu, kita pun tidak hanya akan memperoleh penerimaan dan toleransi, tapi juga keakraban, kekeluargaan dan penghargaan (apresiasi), dan yang paling utama, cinta dan kedamaian.
Tetapi, karena manusia sekarang tidak menghargai satu sama lain sebagai makhluk Tuhan mereka yang unik dan terkasih, mereka pun tidak mampu untuk bersikap toleran terhadap satu sama lain, apalagi untuk mampu menghargai mereka atau menjadi lebih akrab dengan mereka. “Dunia ini tak cukup besar untuk menampung kita berdua,“ kata salah seorang kepada yang lainnya, juga satu bangsa atau negara kepada bangsa dan negara lainnya. Setiap orang berteriak lantang mengenai dirinya masing-masing demikian kerasnya untuk menekan eksistensi yang lain. Dan perilaku semacam ini membuat orang menjadi sedemikian berat pula, hingga Bumi pun hampir-hampir tak mampu lagi menampung keseluruhan ras manusia, bukan karena jumlah mereka tapi karena sikap dan perilaku mereka.
Kita telah menghalangi diri kita sendiri dari sikap menghargai orang lain dan mencari keakraban dengan mereka. Kita melihat mereka tidak sebagai wakil-wakil Tuhan kita yang tercinta di muka bumi ini, tetapi sebagai ancaman-ancaman bagi diri kita sendiri. Dan mereka pun, sebagai gantinya, melihat kita sebagai orang-orang yang berbahaya, dan menarik keakraban mereka dari diri kita. Karena itulah, sikap liar dan buas tengah berjangkit dan tumbuh secara cepat pada manusia, dan dari sifat liar inilah muncul kebekuan, kebencian dan kedengkian di antara manusia.
Ego dan nafsu rendah kita telah membangun dinding-dinding di sekeliling kita – dinding dan tembok yang tak dapat ditembus. Hancurkanlah tembok-tembok itu agar kalian mampu menghargai orang lain dan mendekati mereka. Kalian pun kemudian akan menemukan bahwa perasaan-perasaan yang tulus mulai mengalir dari hati kalian, dan sebagian besar orang akan mulai menunjukkan sikap yang lebih baik terhadap kalian. Tetapi, jika kalian suka bertengkar dan dikuasai oleh ego rendah kalian yang buruk dan serakah, tak seorang pun mampu mendekati kalian dan kalian pun tak mampu mendekati seorang pun kecuali dengan kekerasan. Ini adalah sesuatu yang bersifat timbal balik. Jadi, hal pertama yang harus diperbaiki adalah diri kalian sendiri, yaitu dengan mengendalikan ego atau nafsu rendah kalian, agar kalian mampu memberikan keakraban yang tulus pada semua orang.
Salah seorang di antara wali-wali besar di Jalan Sufi biasa melakukan perjalanan di gurun dengan menunggangi punggung seekor harimau dan menggunakan seekor ular sebagai cambuk. Bagaimana mungkin hal itu terjadi? Apa rahasianya? Allah (swt) telah memberikan perasaan, intuisi dan persepsi kepada setiap makhluk-Nya. Jika kalian dapat bersikap terbuka dan memberikan keakraban yang tulus bahkan pada seekor harimau yang besar, dia pun dapat dijinakkan dan kalian dapat menggunakannya sebagai hewan tunggangan. Dan itu hanya seekor hewan liar, maka bagaimana pula dengan bani Adam `alayhis-salam, yang telah dikaruniai begitu banyak potensi oleh Tuhan mereka sehingga Dia memanggil mereka sebagai “Mahkota dari Ciptaan-Nya” dan menjadikan mereka sebagai wakil-wakil-Nya di muka Bumi? Kalian pun harus meraih keakraban yang tulus dengan mereka untuk menjinakkan mereka.
Dan di hadapan demikian banyak kejahatan dan kebuasan yang sedang terjadi di dunia ini, kita tak boleh berputus asa dan berkata, “Tuhan macam apakah yang telah menciptakan manusia-manusia yang jahat dan bengis yang melukai manusia lainnya dan menyebabkan kekerasan masal dan perang di dunia ini?” Kita mesti menjinakkan keliaran ini dengan Keluhuran dan Kemurahan Hati. Jangan katakan bahwa tidak ada suatu Hikmah Ilahiah dalam penciptaan harimau dan ular (atau manusia-manusia yang menyerupai hewan-hewan ini dalam tindakan-tindakan mereka)! Katakanlah bahwa Dia Yang Maha Agung telah menciptakan harimau untuk ditunggangi dan ular untuk digunakan sebagai cambuk tunggangan!
Suatu waktu, pernah ada seorang laki-laki yang merasa terganggu oleh kecoak. Ke mana pun dia pergi, dia selalu menjumpai hewan kotor menjijikkan ini. Dan tak peduli apa pun yang telah dia lakukan, dia tak mampu menyingkirkan kecoak-kecoak itu dari sekelilingnya. Dia bahkan telah berpindah rumah beberapa kali dalam kota di kampung halamannya sambil berharap bahwa rumahnya yang baru tidak akan tercemari kecoak, tetapi kenyataannya malah selalu ada kecoak. Akhirnya, setelah kehilangan harapan, dia pun pindah ke negara lain di mana jumlah kecoaknya lebih sedikit. Dia menetap di negara baru tersebut.
Pada akhirnya, laki-laki ini menderita suatu penyakit berupa abses (bengkak bernanah) yang sangat parah di kakinya. Dia pergi ke banyak dokter, tetapi semua obat yang mereka resepkan justru membuat penyakit absesnya makin parah, dan membuatnya makin menderita. Dia pun akhirnya menyerah untuk melakukan usaha lebih lanjut untuk mengobatinya. Suatu hari dia sedang duduk di depan rumahnya dengan kakinya diangkat ke atas, sambil mengeluh dan mengaduh kesakitan: “Ah, eeh, oh, ooh!” saat itu datang seorang darwis pengembara. Sang darwis bertanya padanya, “Mengapa engkau duduk di situ dan berkata ‘Ah, eeeh, oh, ooh’?” Dia menjawab, “Aku menderita abses kronis di kakiku dan tak peduli apa pun yang kulakukan, penyakitku ini tak kunjung sembuh; malahan dia bertambah parah setiap kali aku berusaha mengobatinya.”
Sang darwis berkata, “Oh, ini adalah penyakit termudah di dunia untuk diobati. Pernahkah engkau melihat seekor kecoak?” “Kecoak! Hewan itu adalah kutukan dalam hidupku! Di negara asalku ada begitu banyak kecoak hingga mereka membuatku gila. Karena itulah aku datang untuk hidup di negeri ini, hanya untuk lari dari kecoak.” Sang darwis berkata, “Kau mesti menangkap kecoak banyak-banyak, lalu bunuh mereka, dan bakar mereka, kemudian ambillah abunya dan taburkan ke lukamu; Insya Allah penyakitmu akan sembuh dengan cepat.” Laki-laki itu mengikuti nasihat sang darwis, memburu kecoak di negeri itu dan menemukannya dengan susah payah, kemudian kini abses-nya telah sembuh. Setelah kejadian itu, dia tak pernah lagi mengutuk keberadaan kecoak.
Dan bagaimana dengan bani Adam `alayhis-salam yang paling dihormati, yang telah dijadikan Allah (swt) sebagai khalifah-khalifah-Nya di muka Bumi? Jangan benci mereka atas tindakan-tindakan buruk mereka, tetapi ingatkan diri kalian sendiri bahwa mereka juga adalah ciptaan-ciptaan tercinta Tuhan kalian; dan berusahalah untuk menjadi pemurah dan penyantun, sebagaimana Quran Suci telah menyebutkan:
“Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang di antara kamu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS Fusshilat, 41: 34-35)
Lihatlah, sebagaimana telah saya sebutkan sebelumnya, Nabi Suci (saw) pernah hidup bersebelahan dengan seorang Yahudi di Madinah. Nabi (saw) bersikap toleran atas kehadirannya, sekalipun orang itu biasa membuang sampahnya di depan rumah Nabi (saw) setiap hari sebagai suatu tanda penghinaan bagi beliau. Suatu hari Nabi Suci (saw), memperhatikan bahwa tak ada sampah di depan rumahnya. Pada hari berikutnya pun demikian. Beliau kemudian bertanya tentang keadaan si tetangga itu dan mendapat kabar bahwa ternyata dia sedang sakit.
Kemudian Nabi Suci (saw) berniat mengunjunginya. Sang laki-laki Yahudi itu sangat terkejut melihat Nabi (saw) di pintu rumahnya, dan bertanya, “Bagaimana dirimu tahu kalau aku sedang sakit?” Beliau menjawab, “Aku perhatikan bahwa hadiah harianmu tak ada lagi di depan rumahku seperti biasanya, maka aku pun berpikir bahwa sesuatu yang tidak baik mungkin telah terjadi pada dirimu. Karena itulah, aku bertanya dan mendapat kabar bahwa dirimu sedang sakit.”
Tetapi, jauh dari sikap menunjukkan kebaikan pada anggota-anggota masyarakat lainnya, orang-orang saat ini tak lagi mampu menghargai, ataupun berbagi keakraban bahkan dengan anggota-anggota keluarga mereka sendiri. Para istri tak dapat menghargai sifat-sifat baik suami mereka, dan sebaliknya pula. Keluarga-keluarga itu mungkin tinggal dalam satu atap, tetapi sama sekali tak ada perasaan akan rumah atau keluarga. Orang-orang telah menjadi asing terhadap kerabat-kerabat terdekat mereka, setiap orang telah terbungkus dalam dunia keinginan hawa nafsunya, dan tak ada figur seorang pun dalam dunia itu melainkan dirinya sendiri, atau dunia itu adalah untuk ekploitasi egoisnya.
Jika keakraban tak lagi dapat dijumpai dalam keluarga-keluarga, apalagi dalam komunitas yang lebih besar? Tak mungkin! Maka, berbicara tentang perdamaian dunia adalah sesuatu yang lebih sia-sia lagi, karena keakraban, cinta, dan kedamaian mestilah dibangun dalam individu, kemudian dalam keluarga, dan seterusnya, dari unit terkecil ke yang lebih besar, dan bukan sebaliknya.
Kita berdoa untuk dunia yang damai, agar semua api yang sedang terbakar ini dapat dipadamkan, dari Timur ke Barat. Tetapi, tembok dan dinding keterasingan telah menjadi demikian menakutkan hingga tak satu pun bangsa atau negara yang mempertimbangkan untuk saling mendekat dan melakukan kerja sama sejati dengan yang lainnya. Keakraban sedang terpenjara, dan keliaran serta keterasingan tengah menyebar hari demi hari dengan begitu cepatnya hingga, kecuali arus ini dapat dibendung, akan menyapu habis seluruh dunia. Arus kebuasan itu sedang memancar keluar, dan tak satu pun bendungan yang kita bangun mampu menampungnya, karena manusia hanya dapat menuai benih yang telah dia tanam. Manusia menanam benih-benih keliaran dan kebuasan, maka dia pun akan memanen kebuasan, bukan keakraban dan persahabatan. Arus ini sedang menyapu habis semua level dari hubungan manusiawi; dia telah menyelimuti seluruh Bumi ini. Apa yang akan menjadi hasilnya? Menurut suatu tradisi sunnah, manusia akan memakan dirinya sendiri dalam suatu semburan kekerasan hingga Intervensi Ilahiah membuat api yang sedang berkobar itu padam dan berhenti.
Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang berbaris dan berdemonstrasi untuk perdamaian – membawa spanduk dan bernyanyi – apakah mereka memajukan perdamaian ataukah malah merusaknya?
Jika orang-orang itu berada dalam kedamaian dengan dirinya sendiri, dalam kehidupan batiniah mereka, maka usaha-usaha mereka mungkin akan membawa manfaat. Tetapi, jika mereka masih liar dan keras dalam diri mereka, apa yang akan menjadi hasil dari aktivitas mereka itu? Lebih banyak kedengkian, kebencian, dan kebuasan akan muncul, dan hanya itu.
Kini, perdamaian dilukiskan dalam banyak surat kabar sebagai seekor merpati, tetapi ada begitu banyak elang yang sedang menunggu untuk memangsanya. Jika tak ada sarana untuk melindungi merpati itu, perdamaian hanya akan menjadi kata yang tak bermakna. Saat ini, sekelompok besar wanita sedang berpawai dari Skotlandia menuju London untuk perdamaian, Masya Allah! Begitu banyak ibu dan wanita membawa perdamaian dari Skotlandia! Demonstrasi-demonstrasi semacam itu hanya akan menjadi bahan tertawaan dan hinaan orang-orang, bukan apa-apa lagi; karena masalah ini membutuhkan Dukungan Ilahiah.
Perdamaian haruslah didukung, dan untuk mendukung perdamaian, seseorang membutuhkan kekuatan dan kekuasaan: tak ada kekuatan maka tak ada perdamaian. Dan dukungan terkuat bagi perdamaian adalah kehidupan batiniah yang telah bangkit: keakraban dan familiaritas yang tumbuh dalam hati kita dan menyebarkan cabang-cabangnya ke seluruh dunia. Tanpa adanya hati yang subur dan berbuah seperti itu, apakah arti dari suatu “Pawai Perdamaian”? Itu hanyalah permainan anak-anak, siapa yang akan menganggapnya serius?