Khotbah Jumat
Mawlana Shaykh Nour Kabbani
Masjid As-Siddiq, Burton, MI
22 September 2017
Al-ḥamdu lillāh, al-ḥamdu lillāh, al-ḥamdu lillāh alladzī hadānā lihādzā wa mā kunnā linahtadiya lawlā an hadānallāh. Wa mā tawfīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb. Wa asyhadu allā ilāha illallāh, waḥdahu lā syarīka lah, wa lā nāẓira lahū ‘alā mathīla lahū syahādatan, mūṣilatan ilā dāri al-qarār. Wa asyhadu anna Sayyidanā wa Sanadanā wa Mawlānā Muḥammada, Muḥammad Sayyidu al-‘Ālamīn, ṣallallāhu ‘alaihi wa ‘alā ālihi wa aulādihi wa azwājihi wa dhurriyyātih. Wa atbā‘ihi wa aṣḥābihi khuṣūṣan minhum al-khulafā’ ar-rāsyidīn al-mahdiyyīn min ba‘dih, wa wuzarā’ihi al-kāmilīn fī ‘ahdi ḥaḍrati Abī Bakr wa ‘Umar wa ‘Uṡmāna wa ‘Alī ẓawī al-qadri al-jalīl, wa baqiyyati aṣḥābihī wa at-tābi‘īn, riḍwānullāhi ta‘ālā ‘alaihim ajma‘īn.
Ayyuhal-mu’minūn al-ḥāḍirūn, ittaqūllāha ta‘ālā wa aṭī‘ūh. Inna Allāha ma‘a alladzīna ’ttaqaw walladzīna hum muḥsinūn. Qāla Allāhu subḥānahu wa ta‘ālā fī kitābihi ’l-munazzal ‘alā nabiyyihi ’l-mursal.
A‘ūdzu billāhi minasy-syaīṭānir-rajīm, bismillāhir-raḥmānir-raḥīm,
Yā ayyuhallażīna āmanū ittaqūllāha wa kūnū ma‘aṣ-ṣādiqīn.
As-salāmu ‘alaikum wa raḥmatullāhi ta‘ālā wa barakātuh.
Selamat, in syā Allāh tahun yang bahagia. Selamat tahun baru bagi umat Muslim. Alhamdulillah kita telah menerima tahun baru kemarin dan Allah telah memberikan kita hidup satu lagi, in syā Allāh satu lagi Yawm ‘Āsyūrā’. In syā Allāh bulan suci ini Allah akan membukakan bagi kita dari berkat-Nya, dari dukungan-Nya, dukungan untuk umat Muhammad, dari berkat dan belas kasih-Nya yang tak ada habisnya, semoga Allah mengampuni kita semua, seluruh umat Muhammad di bulan suci ini. Dan semoga Allah membuat kita berbuat baik di tahun ini. in syā Allāh kita juga bisa menjangkau Syahrul Mawlid, in syā Allāh bulan mawlid Nabi (saw), in syā Allāh kita juga bisa menjangkau Rajab, Sya‘ban, Ramadhan, dan in syā Allāh kita bisa pergi haji tahun ini.
Ketika tahun baru tiba, kita selalu bahagia bahwa kita bisa melakukan semua ini lagi; untuk melakukan mawlid lagi pada bulan suci itu; untuk menyambut Rajab, bulan suci Allah (swt); untuk menyambut Sya‘ban, untuk menyambut Laylatu ’n-Niṣfi min Sha‘bān, malam suci dari pertengahan Sya‘ban; untuk menyambut lagi Ramadhan; untuk menyambut Ied, untuk menyambut haji. Semua ini adalah hal-hal penting, ibadah-ibadah yang penting yang telah diberikan oleh Allah (swt) kepada kita dari kasih sayang-Nya. Dan in syā Allāh tahun ini kita dapat melakukan sebanyak yang kita bisa.
Kita adalah orang yang lemah, tetapi wahai Tuhan kami, kami mempunyai niat untuk melakukannya sebanyak yang kami bisa agar Engkau ridha terhadap kami. Wahai Tuhan kami, bantulah kami melakukan kebaikan.
Subhanallah, Rasulullah (saw) telah menunjukkan kepada kita jalannya, telah menunjukkan kepada kita jalan bagaimana cara mendapatkan keridhaan Allah. Dia berfirman di dalam al-Qur’an suci, dan itu adalah perintah untuk kita semua, untuk seluruh umat Muhammad (saw), semua orang beriman, semua Muslim yang percaya kepada Rasulullah (saw), harus mengikuti perintah yang Dia berikan.
Allah berfirman di dalam al-Qur’an suci, “Fattabi‘ūnī, Ikuti aku (yakni Nabi Muhammad (saw)).” Ikuti aku dalam segala hal. Dan juga: “Ikuti aku pada maqam-maqam yang telah kulalui.” Rasulullah (saw) bukan seseorang yang hanya melakukan hal-hal di bumi. Allah telah membawanya ke Langit, telah menunjukkan kepadanya apa yang belum pernah kita lihat, apa yang tidak kita ketahui, telah mendekatkannya kepada-Nya. Maka Rasulullah (saw) bersabda, “Ikuti aku juga di sana.” Itu berarti selama kita mengikuti Rasulullah (saw), kita akan sampai ke mana pun beliau sampai. Selama kita memiliki niat untuk mengikutinya, maqam mana pun yang beliau capai, kita akan berada di sana bersamanya. Semoga Allah (swt) menjadikan kita dapat mengikuti beliau ke maqam yang beliau capai. Maqam yang beliau capai tidak terbatas, tak ada habisnya. in syā Allāh, Allah (swt) akan mengizinkan kita untuk mengikutinya.
Namun mengikuti itu sulit. Ini bukan sesuatu yang mudah. Untuk mengikuti Rasulullah (saw) dalam apa yang beliau alami, untuk menderita seperti beliau, tidaklah mudah. Tetapi Allah (swt) telah membuka pintu itu. Dan Dia berfirman: Asta‘īdzu billāh, Wa lanabluwannakum bishay’in – “Kami benar-benar akan menguji kalian.” (QS. Al-Baqarah: 155). Rasulullah (saw) adalah orang yang paling banyak diuji di antara manusia. Beliau adalah satu-satunya yang paling banyak dicoba di antara manusia. Maka, Allah (swt) mengatakan bahwa jika kalian ingin mengikuti Rasulullah (saw) hingga maqam-maqam yang telah beliau capai, kalian harus mengikuti jalannya. Dan jalan itu dimulai dari ayat suci itu: Wa lanabluwannakum bishay’in – “Kami benar-benar akan menguji kalian dengan sesuatu yang kecil.”
Tidak ada yang besar, karena kita tidak mampu menanggungnya; kita adalah orang-orang yang lemah. Wa lanabluwannakum – “Kami benar-benar akan mengujimu.” bishay’in – “dengan hal kecil.” Minal-khawf – pertama-tama, Kami akan mengujimu dengan sedikit rasa takut. Dan Imam Syafi’i (raḥimahullāh) telah menjelaskan bahwa “takut” di sini berarti khawfullāh – rasa takut kepada Allah. Minal-khawf – Kami akan mengujimu dengan rasa takut, artinya: Kami akan mengujimu dengan rasa takut terhadap Allah (swt). Makhāfatullāh, sebagaimana Sayyidina ‘Ali (ra) telah mengatakan bahwa Makhāfatullāh–takut terhadap Allah (swt) adalah Ra’su ’l-ḥikmati, kepala dari segala hikmah.
Jadi, Allah akan mengirimkan kepada kita rasa takut, untuk membuat kita takut. Mengapa? Mengapa kita perlu untuk takut? Karena kita adalah makhluk yang sangat sombong. Kita mengira bisa melakukan apa pun. Kita merasa sebesar gunung, seolah-olah tidak ada yang bisa menjatuhkan kita, tidak ada yang bisa menghancurkan kita, dan kita bisa menanggung apa pun. Maka Allah (swt) menunjukkan, dari waktu ke waktu, sebagian kecil dari kekuatan-Nya. Dia membuka kekuatan itu, dan memperlihatkannya kepada manusia: jangan terlalu bangga pada dirimu sendiri, jangan merasa bisa ini dan itu. Dia mengirimkan badai—badai kecil datang satu demi satu—dan seluruh manusia di dunia mulai gemetar. Itu hanya angin—bagaimana kalian bisa melawan angin? Allah (swt) punya tentara. Dia telah mengirimkan angin itu.
Apa pun yang telah dibangun manusia, dalam satu malam Allah (swt) bisa mengambilnya. Apa pun kebanggaan yang mereka miliki, Allah (swt) membuat mereka terlihat sebagai dalīl–petunjuk atau bukti bahwa manusia itu adalah orang yang begitu lemah, tidak berdaya. Allah (swt) dari waktu ke waktu, menunjukkan sebagian kecil kekuasaan-Nya agar manusia mau menanggalkan kesombongan mereka, menurunkan kebanggaan mereka. Agar mereka sadar dan berkata, “Wahai Tuhan kami, tolonglah kami.” Setiap waktu—bukan hanya ketika badai datang, tetapi juga saat tidak ada badai, di pantai, berusahalah untuk membantu orang agar lebih baik. Tutup aurat kalian. Allah (swt) melihat apa yang terjadi di pulau ini; Allah (swt) melihat apa yang terjadi di daratan. Allah (swt) tidak buta. Jadi, dari waktu ke waktu, Dia mengirimkan sebagian dari kekuatan-Nya, untuk menunjukkan kepada manusia: jangan sombong, bersikaplah rendah hati, ingatlah Aku setiap saat. Tutup aurat kalian, tutup aurat anak-anak kalian, dan ikutlah jalan Allah.
Dan Allah juga berfirman dalam al-Qur’an suci wa lanabluwannakum bishay’in minal-khawfi wal-jū‘i, bahwa setelah rasa takut, Dia akan menguji kita dengan sedikit kelaparan. Itu juga merupakan ujian, merupakan cobaan. Sayyidina Imam Syafi‘i (raḥimahullāh) berkata bahwa salah satu makna dari “kelaparan” itu adalah puasa Ramadhan. Jadi, pertama-tama kita harus bertakwa, harus bersikap saleh, dan takut kepada Allah. Kedua, Allah mengirimkan kelaparan—mengirimkan Ramadhan kepada kita—untuk membantu kita. Mengapa? Karena ketika kelaparan datang apa yang terjadi pada ego? Pintu Syaithan ke dalam hati menjadi tertutup, diblokir. Ketika lapar, tubuh tidak bisa lagi melakukan perbuatan dosa; ia tidak mempunyai kekuatan untuk melakukan apa-apa lagi; ia menjadi lemah.
Keinginan ego untuk melakukan ini dan itu pun terputus karena kelaparan—karena tubuh sudah tidak sanggup lagi bergerak. Kita semua mengalaminya di bulan Ramadhan: kita sampai di rumah kita menjelang sore, jam satu atau dua siang, kita ingin tidur sampai waktu Maghrib. Terutama yang bekerja. Yang tidak bekerja, mereka pun hanya ingin tidur sepanjang hari sampai waktu Maghrib. Mengapa? Karena tubuh sudah tak punya kekuatan lagi. Allah-lah yang mengirimkan rasa lapar itu. Jadi, Allah (swt) menguji kita dengan kelaparan, untuk meruntuhkan ego, untuk menjadikan ego tunduk dan menjadi hamba bagi tuannya.
Wa naqṣin minal-amwāli, Allah juga berfirman bahwa Dia akan menguji kalian dengan mengambil sebagian dari kekayaan yang kalian miliki. “Aku akan mengambil sebagian penghasilanmu, sebagian rumah dan kendaraan mewah yang kau miliki.” Mengapa? Karena semua itu membuat manusia cenderung berbuat dosa. Itulah bahan bakar yang digunakan manusia untuk lebih banyak bermaksiat. Jika kalian punya kartu kredit tak terbatas, jika kalian punya satu juta dolar di rekening bank kalian, apa yang bisa kalian lakukan dengan itu? Begitu banyak. Kalian bisa pergi liburan ke pulau tropis dan melakukan apa pun yang kalian inginkan di sana. Tetapi jika kalian tidak punya uang itu, jika tidak punya satu juta dolar, apa yang terjadi? Kalian tidak bisa pergi ke liburan tropis itu.
Allah (swt) mencegah kita dari melakukan semakin banyak dosa. Maka kadang-kadang Allah (swt) mengambil kekayaan itu—yang sejatinya adalah milik-Nya. Dia mengambil dan memberi, agar kita tidak semakin larut dalam dosa. Wa naqṣin minal-amwāli wal-anfus, Allah (swt) juga mengambil nyawa, memberikan penyakit. Mengapa? Karena kita terlalu melekat pada diri kita sendiri, terlalu mencintai dunia ini. Kita terlalu melekat pada manusia dan dunia.
Orang-orang hari ini mempermalukan mereka yang duduk di masjid, melakukan dzikir terhadap Tuhannya. Mereka berkata, “Mengapa kamu tidak bersosialisasi? Mengapa kamu tidak pergi ke pesta? Mengapa kamu tidak membuang waktumu berbicara dan nongkrong dengan orang-orang?” Tapi Allah (swt) mengambil orang-orang ini, supaya kita bisa kembali kepada-Nya. Allah (swt) ingin kita kembali kepada-Nya.
Wa naqṣin minal-amwāli wal-anfusi wats-tsamarāt, dan buah dunia ini— maksudnya adalah kesenangan hidup. Maka Allah (swt) pun mengambil kesenangan hidup itu. Mengapa? Agar kita bisa menemukan kesenangan sejati dalam ibadah kepada-Nya. Agar kita bisa melepaskan keterikatan kita dari dunia, dan mulai merasakan kenikmatan dalam ibadah. Kita bisa mendapatkan rasa nikmat dalam bangun malam untuk shalat, dalam membaca istighfar saat Subuh, agar kita lebih merasakan kelezatan dalam hadir di hadapan-Nya, daripada dalam kehadiran apa pun selain-Nya.
Allah (swt) berfirman, wa basy-syiris ṣābirīn, “Berilah kabar gembira bagi mereka.” Mereka yang memutus diri dari kesenangan dunia ini dan berpaling kepada-Ku. Allah (swt) berjanji kepada mereka: Dia akan mengirimkan shalawat kepada mereka, Ūlāika ‘alayhim ṣalawātun min rabbihim wa raḥmah (QS al-Baqarah: 157). Allah (swt) akan memberi orang-orang yang telah memutuskan diri mereka dari dunia, dari perkumpulan duniawi, dari kekayaan dan hanya berpaling kepada-Nya. Allah (swt) akan mengirimkan berkah-Nya kepada mereka. Dia akan mengirimkan shalawat-Nya kepada mereka. Dia akan mendandani mereka dengan cahaya ilahi-Nya, membusanai mereka dengan tajali dari Asmaul Husna wal Shifat-Nya yang suci. Dia akan menerima mereka ke dalam Hadirat-Nya, menerangi mereka dengan cahaya-Nya, dan memberi mereka rahmat tersebut.
Dengan rahmat itu, mereka akan bisa membimbing orang-orang kepada Allah (swt). Sebagaimana firman-Nya dalam Surah al-Kahfi (ayat 65), wa ātaynāhu raḥmatan min ‘indinā, “Kami telah memberinya rahmat dari sisi Kami,” wa ‘allamnāhu min ladunnā ‘ilmā “Dan telah mengajarinya ilmu dari sisi Kami.”
Ketika kita bersabar atas apa pun yang datang dari Tuhan kita, dan berkata, “Wahai Tuhan kami, ini adalah demi kebaikan kami, ini untuk kepentingan kami. Engkau menarik kami dari hal-hal duniawi yang telah kami tenggelamkan kepala, mata, tangan, dan kaki kami ke dalamnya.” Maka kita pun sadar, “Mengapa kita mengambil wudhu?” Karena kita sedang membersihkan diri kita dari dunia ini. Membersihkan wajah, kaki, tangan—semuanya—dari keterikatan dunia. Kita membersihkan diri dari dosa dan kenikmatan dunia yang berlebihan.
Semoga Allah (swt) memberkahi kita semua. Semoga Allah (swt) menuntun kita ke jalan yang lurus, mengikuti Rasulullah (saw). Semoga Allah (swt) memberkahi umat, Ummatu ’l-Ḥabīb (saw) dan mengirimkan kemenangan bagi kita. Wahai Tuhan kami, kirimkanlah kepada kami pertolongan dari sisi-Mu dan kemenangan yang dekat, Naṣrun minallāhi wa fatḥun qarīb.
Wahai Tuhanku, tolonglah kami keluar dari kegelapan masalah yang kami hadapi menuju cahaya-Mu, yā Rabb.
Alā anna ’l-insāna ’l-kalāma wa ablagha ’n-niẓāma, Kalāmu ’llāhi ’l-‘azīzi ’l-‘allām, Kamā qāla ’llāhu tabāraka wa ta‘ālā fī kalāmih. “Wa idzā quri’a ’l-Qur’ānu fa’stami‘ū lahu wa anṣitū la‘allakum turḥamūn.” A‘ūdzu billāhi mina ’sh-shayṭāni ’r-rajīm, Bismi ’llāhi ’r-Raḥmāni ’r-Raḥīm,
“Wa mā khalaqtu ’l-jinna wa ’l-insa illā liya‘budūn.”
Sesungguhnya ucapan manusia yang terbaik dan susunan kata yang paling indah adalah kalam (firman) Allah Yang Mahaperkasa dan Maha Mengetahui, sebagaimana Allah Tabaraka wa Ta‘ala berfirman dalam kitab-Nya, “Dan apabila al-Qur’an dibacakan, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kalian dirahmati.” (QS al-A‘rāf: 204)
“Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzāriyāt: 56)