Unknown's avatar

Menziarahi para Kekasih Allah demi Mencari Keridaan Allah: Adab, Keutamaan, dan Niat dalam Berziarah

Shaykh Gibril Fouad Haddad
Dari buku The Visitations of Iraq to the Stations of Interlife

Rasulullah ﷺ bersabda,

نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا
Nahaytukum ‘an ziyāratil-qubūri fazūrūhā
Aku dahulu melarang kalian untuk berziarah kubur. Maka sekarang ziarahilah kubur itu.  (Muslim dan yang lainnya meriwayatkan dari Buraidah.) 

Dalam salah satu riwayat disebutkan,

نَهَيْتُكُمْ عَنْ ثَلاثٍ وَأَنَا آمُرُكُمْ بِهِنَّ ، نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا
Nahaytukum ‘an ṯalāṡin wa anā āmurukum bihinna, nahaytukum ‘an ziyāratil-qubūri fazūrūhā. 
Aku telah melarang kalian dari tiga hal, dan sekarang aku memerintahkan kalian untuk melakukannya. Aku telah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka sekarang ziarahilah kubur itu. (Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud. Malik dan al-Syafi‘i juga meriwayatkannya dari Abu Sa‘id al-Khudri, dan Ahmad dari ‘Ali serta Ibn Mas‘ud.)

Ibn Abi al-Dunya dan al-Bayhaqi dalam Syu‘ab al-Iman meriwayatkan dari Muhammad bin Wasi‘, bahwa ia berkata, “Telah sampai kepadaku bahwa orang-orang yang telah meninggal mengetahui dengan baik siapa saja yang menziarahi mereka pada hari Jumat, sehari sebelumnya, dan sehari setelahnya.”  Suyuti menyebutkan hal ini dalam Syarḥ al-Ṣudūr. Ini berlaku bagi seluruh kaum Muslimin, maka kedudukan para Wali Allah tentu lebih tinggi, dan kedudukan para Nabi lebih tinggi lagi dari mereka.

Al-Rawwas – semoga Allah menyucikan rahasianya – berkata dalam Bawāriq al-Haqā’iq (Kilatan Cahaya Hakikat Spiritual), bahwa Zain al-‘Abidin – semoga Allah meridai beliau – berkata, “Barang siapa keluar dari rumahnya untuk menziarahi seorang Wali Allah Yang Mahatinggi, ia senantiasa tenggelam dalam rahmat hingga ia kembali ke tempat asalnya. Dan dosa seribu tahun akan diampuni baginya, serta ia kelak berada di sisi Yang Maha Pemurah.” Putranya, al-Baqir – semoga Allah meridai beliau – berkata, “Seandainya seorang peziarah tahu siapa yang sedang ia ziarahi dan pahala apa yang ia dapatkan, niscaya ia akan berjalan di atas bola matanya, bukan hanya dengan kakinya.”

Seorang arif billah, al-Bajali, yakni Nur al-Din Muhammad bin Jarir bin al-Hasan bin ‘Ali al-Yamani, keturunan sahabat Jarir bin ‘Abd Allah al-Bajali – semoga Allah meridai beliau – bermimpi melihat Rasulullah ﷺ.  Ia berkata, “Wahai Rasulullah, ajarkan aku sesuatu.”  Maka beliau ﷺ bersabda, “Kehadiranmu di hadapan seorang Wali Allah, meski hanya seukuran waktu memerah susu seekor kambing atau memanggang sebutir telur, itu lebih baik bagimu daripada engkau beribadah kepada Allah hingga engkau terpotong-potong anggota tubuhmu.”  Al-Bajali bertanya, “Apakah maksudnya ketika ia masih hidup atau setelah wafat?”  Beliau ﷺ menjawab,  “Baik ia hidup maupun telah wafat.”

al-Syirwānī berkata dalam Hasyiyah-nya atas Tuhfat al-Muhtaj karya Ibn Hajar al-Haytami (syarah atas al-Minhaj karya al-Nawawi dalam fikih Syafi‘i), “Ziarah kubur sangat dianjurkan dengan tujuan untuk mengambil pelajaran, memohon rahmat, membaca (Al-Qur’an) dan berdoa, atau untuk mencari keberkahan. Hal ini termasuk sunah dalam kaitannya dengan orang-orang saleh, karena mereka di alam barzakh memiliki tasarruf (kekuasaan spiritual) dan keberkahan yang jumlahnya tak terhitung.”

Semua hal di atas disebutkan oleh al-Rawwas dalam Bawāriq al-Haqā’iq.

Seorang Sayyid Maliki, ‘Abd al-Haqq al-Isybīlī, menyusun satu bab khusus dalam kitabnya al-‘Āqibah (Perihal Akhirat) dengan judul, “Penyebutan mimpi-mimpi yang dilihat tentang sebagian orang saleh, yang memperlihatkan keadaan mereka dalam kenikmatan dan akhir yang baik.”  Sebab mimpi yang benar adalah salah satu pintu pengetahuan kenabian, sebagaimana diriwayatkan dari Imam Malik oleh Ibn ‘Abd al-Barr dalam al-Tamhīd dan oleh Qadhi ‘Iyadh dalam bab tafsir mimpi dalam syarahnya atas Shahih Muslim.

Penulis Tanbīh al-Sālikīn ilā Ghurūr al-Mutašaykẖīn (Peringatan bagi para salik tentang tipuan orang-orang yang mengaku syekh) berkata, “Adapun adab dalam berziarah kepada para Nabi dan Wali, hendaklah murid menjadikan ruhāniyyah (kehadiran spiritual) mursyidnya sebagai perantara, yang telah mencelupkan dirinya dalam kebaikan, dan menjadikannya sebagai wasilah permohonan syafaat kepada yang diziarahi pada awal perjalanannya.  Hendaklah ia menempatkan sang mursyid sebelum dirinya, sebagaimana gaya para pemberi syafaat atas nama kaum yang durhaka, dan memperbanyak istighfar atas segala dosa-dosanya serta atas pengingkaran janjinya—bahkan juga atas ‘ilmunya, ‘keutamaannya’, dan ‘zuhudnya’!

Hendaklah ia memandang dirinya sebagai orang yang bangkrut dari amal saleh. Dan ia tidak merasa keberatan atas beratnya perjalanan, melainkan menganggapnya sebagai karunia dan nikmat dari Allah Yang Mahatinggi. Karena di dalamnya terdapat tanda akan tercapainya tujuan, sebagaimana yang dialami oleh Musa bersama Khidir—semoga rahmat dan kedamaian tercurah atas mereka—dalam firman Allah Yang Mahatinggi,

لَقَدْ لَقِينَا مِن سَفَرِنَا هَذَا نَصَبًا
Laqad laqīnā min safarinā hāżā naṣabā
Sungguh, kita telah mengalami keletihan dalam perjalanan kita ini.” (QS. al-Kahf,18: 62).

Dan hendaklah ia menyucikan niat lahir dan batinnya di hadapan makam, serta memberi salam kepadanya dari segenap pintu dengan penuh ketawadhuan dan hati yang hancur karena penuh harap, lalu ia mengucapkan, “Assalāmu ‘alaykum, salam dariku untukmu.”  Ia membaca al-Fātiḥah dan al-Ikhlāṣ masing-masing tiga kali di setiap pintu, lalu mengucapkan, “Aku memandangmu sebagai wasilahku kepada Rabb yang Maha Memelihara seluruh manusia, untuk memudahkan urusanku di dunia dan akhirat.”

Dan sebaiknya ia tidak berniat dengan ziarah itu selain untuk mencari keridaan Zat Ilahi Yang Mahasuci, bukan karena urusan-urusan rendah.  Lalu ketika pandangannya jatuh kepada pelataran makam, hendaklah ia membaca al-Fātiḥah pada setiap langkah yang ia ayunkan hingga tujuh langkah.  Ia ikat hatinya dengan hati dari yang dimakamkan itu sesuai dengan wuqūf qalbī (konsentrasi hati tanpa terpecah) demi mendapatkan limpahan dari batinnya—baik yang diziarahi itu masih hidup ataupun telah wafat.  Kemudian ia berdiri dengan penuh perhatian, menghadap ke arah makam orang yang ia ziarahi, dekat pada bagian kakinya, dengan membelakangi kiblat, sambil menghadirkan mursyidnya sebagai pemberi syafaat di hadapan yang diziarahi, dan menjadikan mursyid itu sebagai perantaranya. Pada saat itu ia memberi salam dan membaca al-Fātiḥah dan al-Ikhlāṣ, berdiri seolah-olah yang diziarahi masih hidup dan ia sedang benar-benar berdiri di hadapannya. Lalu jika ia duduk dan membaca sepersepuluh dari al-Qur’an, itu lebih baik. Setelah itu ia menerima limpahan batin, menautkan hatinya kepada hati orang yang ia ziarahi dengan menempatkan hatinya di posisi yang lebih rendah.

Hendaklah ia tidak lalai dari wuqūf qalbī dengan doa yang penuh kerendahan dan hati yang hancur, tidak terdistraksi, serta selalu berbaik sangka jika ia memiliki kebutuhan tertentu, karena kebutuhan itu akan dipenuhi melalui perantaraannya dengan izin Rabb al-Rabbani (Tuhan Yang Maha Pemelihara). Allah Yang Mahatinggi berfirman,

قال الله تعالى: أَنَا عِنْدَ ظَنَّ عَبْدِي بِي. متفق عليه

Qāla Allāhu Ta‘ālā: Anā ‘inda ẓanni ‘abdī bī. Muttafaqun ‘alayh.

Allah Ta‘ālā berfirman, “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku.” (Hadis Muttafaq ‘Alaih – disepakati keshahihannya oleh al-Bukhārī dan Muslim)

Lamanya istifādah (curahan spiritual) itu tergantung pada waktu singgah seseorang dan sesuai dengan rasa spiritual (dzauq) serta jam‘iyyah (keterhimpunan hati) dan adabnya.  Setelah itu ia berdoa untuk dirinya sendiri dan bagi kaum mukmin laki-laki dan perempuan dengan mengucapkan,

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ
Allāhumma ighfir lī wa lil-mu’minīna wa al-mu’mināti, al-aḥyā’i min-hum wa al-amwāti.

Ya Allah, ampunilah aku dan kaum mukmin laki-laki maupun perempuan, yang hidup maupun yang telah wafat.

Ia lebih menekankan doa kebaikan bagi dirinya dan mursyidnya, dan menjadikan orang yang diziarahi itu sebagai perantara melalui rabithah (penautan hati) dengan mursyidnya yang sedang mendoakan dirinya kepada Allah agar Dia menganugerahkan kebaikan dan pemberian-Nya. Ia harus yakin bahwa doanya akan dikabulkan. Karena tidaklah ia berdoa untuk sesuatu yang mubah, melainkan orang yang berada di alam peristirahatan (kubur) itu mengucapkan Āmīn atas doanya, lalu Allah mengabulkannya dengan karunia dan perhatian khusus-Nya.

Ketika ia hendak beranjak pergi, dalam keadaan berdiri ia memberi salam sebagaimana pertama kali, lalu membaca al-Fātiḥah dan al-Ikhlāṣ, atau membaca sepersepuluh al-Qur’an. Ia menjadikan yang diziarahi sebagai perantara kepada Rabb al-Rabbānī dalam semua urusan duniawi dan ukhrawinya. Ia lakukan itu di setiap sisi makam, dan ia meninggalkan tempat itu dengan berjalan mundur (punggung terlebih dahulu).  Setelah ia melakukan hal itu, maka tujuannya telah tercapai, ia memperoleh pertolongan menuju kemenangan, dan segala keburukan serta bahaya telah terputus darinya.

Demikian disebutkan dalam Tanbīh al-Sālikīn karya Syekh Hasan bin Muhammad Hilmi al-Quhhi al-Daghistānī (hal. 422, edisi Dār al-Nu‘mān), yang bersumber dari al-Mutammimāt, hal. 206—yakni pelengkap dari karya Syekh Ḍiyā’ al-Dīn al-Kumushkhānawī, Jāmi‘ Uṣūl al-Awliyā’ (Kompilasi Kaidah-Kaidah Pokok Para Wali Allah). Bagian pokok dari kitab ini kami baca bersama Syekh Muhammad Sa‘īd al-Kāhil al-Ḥimṣī al-Shādhilī al-Naqsyabandī—semoga Allah merahmati mereka.

Leave a comment