Unknown's avatar

Pahami Batas Kalian dalam Thariqah

Shuhbah oleh Mawlana Syekh Hisham Kabbani (q)
Disampaikan di Naqshbandi Retreat Center, Fenton, Michigan
24 November 1995

Bismillāhi-r-Rahmāni-r-Rahīm

Saya sangat menyesal harus mengatakan bahwa setiap kali saya memuji seseorang dan menyapanya dengan “Syekh ini” atau “Syekh itu”, ia mengira dirinya telah diangkat tinggi dan dimuliakan. Lalu ia mulai mencari pengikut dan memberi perintah ini dan itu. Karena itu, kita harus tahu batas kita, sebagaimana telah saya sampaikan berkali-kali. Kita tidak boleh melampaui batas kita, dan jangan membayangkan sesuatu lalu mengklaim bahwa kita melihat realitas. Kita harus bisa membedakan antara khayalan dan penglihatan sejati. Mereka yang belum menyelesaikan jalan spiritual—yakni mereka yang belum selesai menjalani pelatihan spiritual, yang mencakup banyak khalwat—akan mencampuradukkan antara penglihatan sejati dan penglihatan khayalan. Dan inilah bahayanya.

Ketika Syekh mengatakan sesuatu kepada kita untuk memberikan semangat, kita tidak boleh langsung mengira bahwa apa yang dikatakan itu benar-benar telah terjadi secara harfiah. Misalnya, seseorang berkata kepada murid, “Kau harus menyelesaikan disertasimu, karena dengan itu kau akan menjadi profesor yang terkenal dan sangat dihormati di universitas.” Murid itu tidak boleh mengira bahwa ia sudah menjadi profesor dan langsung berharap mendapatkan gaji 150.000 dolar, karena disertasinya saja belum selesai. Itu hanyalah bentuk dorongan dari sang Syekh kepadanya.

Hal yang sama juga berlaku dalam urusan spiritual. Jika Mawlana Syekh Nazim (q) berkata kepada seseorang, “Kau diizinkan untuk memimpin dzikir,” itu tidak berarti orang tersebut sudah diberi izin untuk memberikan bimbingan spiritual dan mengatur orang lain. Setiap orang boleh berdzikir, baik sendirian maupun dalam kelompok. Tidak perlu pelatihan khusus untuk itu. Bahkan jika saya bukan bagian dari sebuah thariqah, saya tetap bisa duduk bersama lima orang dan melafalkan “Lā ilāha illa-Llāh, Lā ilāha illa-Llāh, Lā ilāha illa-Llāh.” Itu tidak membuat saya menjadi apa-apa. Hanya saja saya mengucapkan kalimat-kalimat indah dari mulut saya. Saya akan mendapat manfaat, mereka juga akan mendapat manfaat; Allah akan memberi kami pahala. Tapi itu tidak memberikan hak atau posisi untuk menjadi pembimbing bagi orang lain.

Jika kalian mengucapkan, “Lā ilāha illa-Llāh,” tetapi kalian sendiri tidak tahu makna sejati dari kalimat itu, maka paling tidak kalian telah menyelamatkan diri kalian dari neraka karena telah mengucapkannya. Tetapi kalian tidak bisa menjelaskan maknanya. Setiap orang ingin tahu arti dari Lā ilāha illa-Llāh. Secara harfiah, itu berarti, “Tidak ada tuhan selain Allah.” Namun, banyak kitab tafsir yang ditulis hanya untuk kalimat ini. Kalian bisa menulis berjilid-jilid tentang makna dari Lā ilāha illa-Llāh, tentang makna tauhid. Dan ini bukan untuk semua orang. Ini hanya untuk mereka yang merupakan ulama syariat. Bagaimana dengan ulama tasawuf? Mereka bisa menulis ribuan jilid tentang makna spiritual dari Lā ilāha illa-Llāh. Jadi, mengucapkan Lā ilāha illa-Llāh tidak serta-merta memberi kalian wewenang untuk menjadi pembimbing, menjadi mursyid. Seorang mursyid harus melalui pelatihan yang mendalam, khalwat yang mendalam, dan yang terpenting: izin dari sang Syekh.

Namun seperti yang saya katakan, setiap dari kita bisa memimpin dzikir. Beberapa dari kalian yang hadir hari ini telah mengikuti dzikir selama tujuh belas tahun; kalikan saja dengan lima puluh dua. Maka kalian telah menghadiri setidaknya seribu majelis dzikir dan seribu pertemuan. Ia adalah orang yang paling mahir dalam mengenali lafaz-lafaz dzikir. Tapi itu tidak berarti bahwa yang lain tidak boleh berdzikir. Namun, memiliki izin untuk memimpin dzikir tidaklah serta-merta berarti memiliki otoritas untuk membimbing secara spiritual. Berpikir bahwa wewenang membimbing datang bersama izin memimpin dzikir adalah kesalahpahaman—itulah penyakit yang harus disembuhkan.

Jika kalian berkata kepada seseorang untuk mendorongnya—meskipun kalian tahu bahwa ia seperti keledai, dan seumur hidupnya ia memang keledai—lalu kalian katakan, “Kau adalah singa”, maka ia akan senang. Ia akan jadi seperti merak, membusungkan dada, mengembang seperti balon. Tapi jika kalian mengatakan padanya, “Kau keledai,” ia akan marah. Padahal keduanya adalah binatang. Artinya, kalian memiliki sifat kebinatangan. Tidak ada bedanya kalian mengatakan, “Kau singa, kau keledai, kau merak—semuanya binatang. Jika kalian meletakkan surai singa di atas kepala keledai, itu tidak mengubah apa pun. Kadang kita melihat aktor memakai kostum singa dalam film. Tapi entah keledai, singa, harimau—semuanya binatang yang berjalan dengan empat kaki. Binatang di hutan mungkin akan mengaum atau bersuara keras. Ia hanya memiliki satu jenis suara, hanya satu bunyi.

Sekarang, ada di antara kita yang menjadi “syekh tiruan”. Mereka mengaum dan semua orang berkata, Sami‘nā wa aṭa‘nā – “Kami dengar dan kami taat!” Kalian taat! Saya telah melihat terlalu banyak murid Mawlana Syekh Nazim (q) yang, setelah diberi izin memimpin dzikir, berubah menjadi seperti singa. Padahal mereka tetap saja binatang, namun semua orang mengikuti mereka karena suara mereka lebih keras dari yang lain. Tetapi seekor singa pun takut kepada Nabi Adam (as), kepada manusia. Binatang sebesar apa pun akan takut kepada manusia, karena laki-laki atau perempuan bisa melemparkan tombak dan membunuh singa. Walaupun ia mengaum, satu orang pun bisa membunuhnya. Murid masih berada dalam keadaan kebinatangan. Maka seperti singa takut kepada manusia, murid harus takut kepada syekhnya. Sebab jika syekh murka padanya, ia bisa menghantamnya dan murid itu akan hancur. Itulah yang paling berbahaya. Setelah seorang murid berbaiat kepada syekhnya, lalu ia berani mengangkat kepala melawan syekh sehingga syekh memutus ikatan spiritual dengannya, maka murid itu akan binasa.

Dulu ada seorang syekh di Mesir, syekhnya paman saya, Mawlana Muhammad Amin al-Kurdi (q). Ketika jasadnya dipindahkan dari makamnya setelah seratus tahun dikubur, tubuhnya seperti baru dimakamkan hari itu juga. Kulitnya masih segar dan berwarna merah muda, seolah-olah masih hidup. Dari tubuhnya tercium aroma harum seperti daun pacar. Pada masa itu, ada seorang wanita bodoh, sebelum wafatnya Syekh al-Kurdi (q), yang sering berkeliaran di Kairo dengan pakaian yang terbuka. Di dekat makam Sayyidina Imam Husain – semoga Allah menyucikan rahasianya – ia biasa duduk dengan rok tersingkap hingga orang bisa melihat bagian bawah tubuhnya, kepalanya pun terbuka. Ia duduk seperti itu tanpa peduli. Orang-orang lewat, ada yang memberinya satu sen, ada yang sepuluh sen. Yang satu ia doakan, yang lain ia kutuk. Ia memang gila. Namun suatu hari, mereka melihat wanita itu telah tertutup auratnya. Ia tidak lagi dalam keadaan seperti sebelumnya. Kegilaannya hilang. Suatu kekuatan karamah telah muncul dan mengubah wanita itu secara total. Kini ia berpakaian sangat sopan, berbicara kepada orang-orang dengan tutur kata yang fasih. Semua orang terkejut. Orang-orang pun datang dan bertanya padanya, “Apa yang terjadi?”

Wanita itu berkata, “Hari ini, seorang laki-laki telah masuk ke Mesir.” Maksudnya, sebelum hari itu, tidak ada “laki-laki” di Mesir—maksudnya, seluruh Kairo dalam keadaan kacau? Kata “laki-laki” di sini maksudnya adalah Adam, yakni manusia sejati atau kedewasaan spiritual. Ia melanjutkan, “Tapi hari ini seorang syekh Kurdi dari Baghdad telah datang. Ia adalah seorang wali. Dan ia telah memasuki Kairo. Karena itulah aku harus menutup aurat dan bersikap hormat. Ini sebagai bentuk penghormatan kepadanya.” Dan pada saat itu, tidak ada seorang pun kecuali wanita itu yang tahu bahwa Syekh Muhammad Amin al-Kurdi al-Baghdadi (q) telah tiba di Mesir hari itu.

Saya menceritakan kisah ini tentang Muhammad Amin al-Kurdi (q) untuk menunjukkan derajat seorang yang, pada masa itu, semua syekh dari Libanon dan Suriah memberikan baiat kepadanya. Tujuh puluh sampai seratus tahun yang lalu, para syekh dari wilayah ini biasa pergi ke al-Azhar al-Syarif di Mesir untuk belajar hukum Islam (syariat) menurut keempat mazhab. Dua paman saya termasuk di antara mereka, salah satunya kemudian menjadi Mufti Libanon. Bahkan, seluruh kaum Muslimin yang berada dalam thariqah Naqsybandi pada masa itu mengambil thariqah dari Syekh Muhammad Amin al-Kurdi (q). Ada seorang ulama terkenal di al-Azhar bernama Muhammad al-‘Ajuz, seorang ulama besar dari Libanon pada masa itu. Ia juga mengambil thariqah. Syekh Muhammad Amin al-Kurdi (q) memberi izin kepadanya, sebagaimana beliau memberi izin kepada paman saya, untuk memberikan baiat—yakni inisiasi thariqah—dan memimpin pembacaan dzikir. Paman saya biasa memimpin dzikir di Masjid Raya Beirut di pusat kota, sedangkan Syekh al-‘Ajuz melakukannya di masjid pinggir laut, dekat makam Imam Awza‘i (q).

Mungkin kalian pernah mendengar nama Imam Awza‘i (q), seorang ahli fiqih besar, yang ijtihadnya—yakni pendapat hukumnya—terkenal di seluruh dunia Islam pada masanya, sebagaimana terkenal ijtihad keempat imam mazhab: Abu Hanifah, Malik, Syafi‘i, dan Ahmad bin Hanbal. Namun, jumlah mazhab dibatasi oleh ijma‘ (konsensus) mayoritas ulama menjadi empat, sehingga ijtihad Imam Awza‘i tidak menjadi dasar berdirinya mazhab yang independen. Ia dimakamkan di Beirut, di tepi laut. Hingga hari ini, saudara saya, Syekh Adnan (q), masih memimpin dzikir di masjid beliau setiap Kamis dan Jumat.

Pada masa itu, Syekh Muhammad al-‘Ajuz bertanggung jawab memimpin dzikir di masjid Imam Awza‘i (q). Banyak orang mulai datang. Ketika rahasia (sirr) syekh hadir, orang-orang akan merasa tertarik dan berdatangan. Maka Syekh Muhammad al-‘Ajuz pun memimpin dzikir, dan ketika orang-orang datang—kāna yansub al-murīdīn lahu—ia mulai mengaitkan para murid itu kepada dirinya, bukan kepada Syekh Muhammad Amin al-Kurdi (q). Dengan cara ini, secara perlahan-lahan ia menarik murid-murid untuk terhubung dengannya, bukan dengan syekhnya. Ia tidak mengarahkan mereka kepada Syekh Muhammad Amin al-Kurdi (q). Ia mendengarkan para pencari jalan spiritual dan mengiyakan semua yang mereka katakan. Tapi ketika saatnya tiba untuk memberikan baiat, ia tidak berkata, “Baiat ini untuk syekhku; aku tidak ada sangkut-pautnya; jangan lihat aku!” Ia justru mengaitkan mereka kepada dirinya sendiri, lalu dari dirinya kepada Syekh Muhammad Amin al-Kurdi (q)—tanpa izin. Jika seseorang melakukannya dengan izin, itu tidak masalah. Tapi ia melakukan ini tanpa izin.

Sebaliknya, paman saya selalu berkata, “Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya menghubungkan kalian kepada Syekh; tugasku selesai di sini. Sekarang urusanmu adalah dengan Syekh langsung.”

Bagaimanapun juga, ketika berita tentang apa yang dilakukan oleh Syekh Muhammad al-‘Ajuz sampai kepada Syekh Muhammad Amin al-Kurdi al-Baghdadi (q), beliau mengambil siwaknya, memegang ujungnya dengan kedua tangan, lalu mematahkannya sambil berkata: “Muhammad al-‘Ajuz! Kau sudah selesai!” Saat itu juga, Muhammad al-‘Ajuz yang berada di Beirut—yang dengan pesawat sekarang hanya dua jam dari Kairo, berjarak sekitar seribu mil—berlari-lari di tepi laut dalam keadaan kehilangan akal, gila. Dan ia wafat dalam keadaan seperti itu. Tidak ada pengaruhnya meskipun orang-orang pergi menemui Syekh Muhammad Amin al-Kurdi (q) untuk memohonkan tobat bagi Muhammad al-‘Ajuz—seorang ulama besar, Syekh al-Islam di Beirut. Jawabannya: “Tidak!” Ia berkeliaran di pusat kota Beirut dan di tepi laut, di pantai, tanpa akal, selesai. Itu karena Syekh Muhammad Amin al-Kurdi (q) tidak ridha. Dan itu persoalan yang sangat besar.

Jangan mengira bahwa kalian adalah sesuatu. Kita masih dalam keadaan belum matang. Ketika kita telah mencapai kematangan, mungkin kita akan mendapat izin dari syekh. Kalian bisa punya ratusan orang yang berdzikir, tapi kalian tidak bisa—atau lebih tepatnya, mungkin hanya satu orang yang dapat berperan sebagai mursyid atau pembimbing. Dan Mawlana Syekh Nazim (q) berkata, “Jika mereka terus bersikap seperti itu, aku akan menulis nama mereka sebagai orang-orang dungu dalam thariqah.” Dan jika Mawlana menulis nama mereka sebagai orang dungu—yakni orang yang tidak punya akal—keadaan mereka akan menjadi seperti Muhammad al-‘Ajuz, sepenuhnya kehilangan akal. Kalau seseorang sudah berada dalam keadaan itu, silakan saja ia menganggap dirinya pemimpin.

Mulai hari ini, di ruangan ini, di majelis ini, jangan ada satu pun yang menganggap dirinya syekh. Setiap orang di sini adalah murid dari Mawlana Syekh Nazim (q). Untuk tingkatan lebih dari itu? Tidak! Tidak ada izin. Tidak ada perintah lagi! Tidak ada penyembuhan lagi! Rahasia itu telah dihentikan sampai semua orang kembali ke jalan yang benar. Kami tidak mau orang-orang gila. Kami ingin manusia yang matang dan berpendidikan. Semoga Allah mengenakan kepada kita pakaian itu (kedewasaan dan bimbingan) dan menjaga kita di jalan cahaya dan kehidupan.

Sampaikan shuhbah ini ke Chicago, ke Michigan, ke California, ke New York, ke Washington, ke Kanada. Semua orang di mana pun harus mendengarnya dan memahami bahwa tidak ada seorang pun yang mendapat izin menjadi syekh. Sudah dihentikan! Mereka semua adalah murid. Mereka harus menerima saya, mereka harus mengikuti perintah saya. Mereka tidak bisa langsung pergi kepada Mawlana Syekh Nazim (q). Tidak ada izin. Kalau mereka ingin, silakan coba. Maka, mereka tidak akan ada hubungan lagi dengan Naqsybandi di Amerika. Bahkan, saya memberi izin kepada semua orang untuk berdzikir—di setiap rumah, di setiap daerah, dengan berbagai cara. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah di mata Mawlana Syekh.

Lebih dari itu, saya tidak ingin mendengar bahwa ada seseorang yang mengaku melihat atau mengalami penglihatan spiritual. Itu semua hanyalah imajinasi, halusinasi, dan kebohongan dari setan yang disusupkan ke dalam hati mereka. Dan mengenai permintaan maaf yang disampaikan di Chicago, saya menerimanya. Dan mengapa tidak? Saya menerima semua permintaan maaf. Tapi setiap orang harus tahu batasnya. Tidak ada lagi “Syekh” Abdur Rashid di Chicago; tidak ada lagi “Syekh” Abdul Haqq di Michigan; tidak ada lagi “Syekh” Abdul Karim di New York. Tidak ada seorang pun yang bisa mengklaim, “Aku adalah Syekh,” baik di Chicago, New York, Michigan, atau Washington. Ya, memang ada Syekh Abdus Sattar Khan di Chicago. Ia adalah seorang syekh karena ia adalah seorang ulama. Tapi selain itu, tidak ada yang lain. Tidak ada kepemimpinan lagi di Chicago, Montreal, New York, Washington, atau Michigan—sampai saya ridha dengan keadaan dan melihat bahwa setiap orang telah mengetahui maqamnya, mengetahui jalan yang benar. Kalau mereka suka, silakan. Kalau tidak suka, saya tidak peduli: SAYA TIDAK MENGEJAR MANUSIA. ALLAH AKAN MENGIRIM YANG LEBIH BAIK DAN LEBIH BANYAK. Tapi mereka harus tahu bahwa jika mereka tidak mengikuti apa yang telah saya katakan, mereka akan langsung diputus.

Semoga Allah memberkahi Syekh kita tercinta, Mawlana Nazim (q), dan memberinya umur panjang, serta memberkahi Grandsyekh kita, Mawlana Syekh Abdullah ad-Daghestani (q), dan para Masyayikh dalam silsilah Thariqah Naqsybandi yang mulia ini. Al-Fātiḥah