
Shaykh Hisham Kabbani
Khotbah Jumat
Burton, Michigan, 5 Desember 2008
Assalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh,
(bagian awal khotbah)
Nabi (saw) bersabda, “al-Hajju `Arafah,” rukun terpenting dalam haji adalah berada di Arafah. Jika kalian tidak berada di Arafah, berarti kalian kehilangan prinsip utama dan fundamental dari haji tersebut. Itulah sebabnya Arafah menjadi hari yang paling penting bagi manusia agar haji mereka dapat diterima dan itulah sebabnya Nabi (saw) menganjurkan Muslim untuk berpuasa pada hari itu.
Allah (swt) berfirman kepada Nabi (saw),
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا
al-yawma akmaltu lakum diinakum wa atmamtu alaykum ni`matii wa radhiitu lakumu ’l-islama diina.
Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu. (Surat al-Maa’idah, 5:3)
Pada hari ini telah Kusempurnakan agamamu bagimu, dan Aku telah mencukupkan nikmat-Ku kepadamu secara terus-menerus. Para Sahabat sangat gembira bahwa pada hari ini Allah telah membukakan pada mereka bahwa mereka telah meraih kemenangan atas kekuatan jahat, mereka telah meraih kemenangan terhadap Syaithan dan mereka akan membuka kembali Mekah agar orang-orang dapat menunaikan haji mereka, kecuali Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq (ra), beliau menangis. Mereka bertanya, “Mengapa engkau menangis?” “Mengapa engkau menangis, sementara yang lainnya begembira?” Beliau menjawab, “maa b`ad al-kamaal illa an-nuqshaan – Ketika engkau telah mencapai level kesempurnaan tertinggi, selanjutnya kalian akan turun secara perlahan-lahan. Ketika bulan sudah mencapai purnama, setelah itu cahayanya akan menurun. Beliau mengatakan, “Itu artinya setelah ini kita akan merasakan sesuatu yang menyedihkan dalam kehidupan kita.” Mereka bertanya, “Mengapa?” Beliau menjawab, “Setelah turunnya ayat itu, aku merasa bahwa Nabi (saw) tidak akan bersama kita lagi.” Dan tepat setelah 80 hari–atau sebagian lagi mengatakan setelah 82 hari, Nabi (saw) wafat.
Jadi itu adalah haji terakhir dan umrah terakhir bagi Nabi (saw). Dan Hadits itu muncul mengenai pentingnya puasa pada hari itu. Jadi wahai Muslim, di mana pun kalian berada, berusahalah untuk berpuasa pada hari itu, jika kalian berhalangan karena alasan tertentu, itu tidak mengapa, jika kalian tidak mempunyai halangan karena sakit, pusing atau apa pun, maka innamal a`maalu bi ‘n-niyyaat (إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ), buatlah niat untuk berpuasa, dan Allah akan mengampuni kalian sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi (saw).
Disebut Arafah (عرفات) karena Allah ingin memperjelas. Arafah artinya `arafa, yakni Dia memperkenalkan sesuatu atau Dia memperjelas sesuatu. Allah membuatnya jelas bagi Ibrahim (as) untuk mengorbankan putranya demi Allah (swt). Jadi itu menjadi salah satu sebab ia dinamakanArafah, berasal dari kata arafa, yakni untuk memperjelas kepada Sayyidina Ibrahim (as). Disebutkan pula dalam tradisi, dalam siirah, dalam Tafsir an-Nisaburi, bahwa Hajar (as), istri Sayyidina Ibrahim (as) merasa tidak nyaman setelah Sayyidina Ibrahim (as) menikahinya. Ia merasa ada masalah dengan istri pertama beliau yakni Sarah sehingga ia memutuskan untuk pergi, tetapi ketika ia pergi ia mendengarkan sebuah pesan yang berkata kepadanya, “Mengapa engkau pergi? Engkau akan mempunyai seorang anak, engkau akan mempunyai banyak keturunan yang berasal darimu. Tinggallah di tempatmu sekarang, jangan pergi.” Ia kemudian tinggal di sana dan Allah membuatnya mengandung Sayyidina Ismail (as). Setelah anak itu tumbuh, Sayyidina Ibrahim (as) merawat anak itu dan beliau sangat mencintainya. Pada suatu hari Allah (swt) memerintahkan kepada Jibril (as), “Pergilah wahai Jibril dan katakan pada Ibrahim (as) untuk mengorbankan putranya bagi-Ku.” Jibril (as) berkata, “Yaa Rabbi, aku mempunyai hubungan yang baik dengan Ibrahim (as), Engkau membuatku menyampaikan wahyu kepadanya. Aku sangat dekat dengannya. Aku akan melaksanakan perintah-Mu, tetapi yaa Rabbi, jika ada jalan lain di mana beliau akan menerima kabar ini tanpa melalui diriku maka itu akan lebih baik.” Allah (swt) adalah Maha Pengasih, jadi Dia mengirimkan ruyah kepada Ibrahim (as),
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Falamma balagha ma`ahu as-sa`ya qaala ya bunayya innii araa fi ’l-manaami annii adzbahuka fa unzhur maadzaa taraa qaala yaa abatii if`al maa tumaru sa-tajidunii insya- Allaahu mina ash-shaabiriin
Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (As-Saffat, 37:102)
qaala ya bunayya innii araa fi ’l-manaami annii adzbahuk … beliau mengatakan, “Wahai anakku, aku bermimpi bahwa aku akan menyembelihmu. Beliau melihatnya melalui mimpi yang datang satu per satu.
Jadi, pertama kali beliau melihat mimpi itu, beliau mengorbankan 100 ekor domba sebagai kurban untuk anaknya. Itulah sebabnya orang yang saleh dan ikhlas sekarang ini mengatakan, “Jika engkau menderita sakit yang sangat parah, seperti kanker, di mana dokter-dokter mengatakan bahwa engkau akan meninggal dunia, maka sembelihlah 100 ekor domba dan persembahkan kepada Allah (swt) dengan niat agar pasien itu disembuhkan.” Dan seringkali kami melihat bahwa pasiennya menjadi sembuh karena kurban tersebut.
Jadi setelah Ibrahim (as) melihat mimpi itu dan beliau menyembelih 100 ekor domba, beliau melihat mimpi itu lagi. Beliau berpikir bahwa Allah akan menerima 100 ekor domba lagi darinya. Tetapi ternyata beliau melihat mimpi itu untuk ketiga kalinya. Akhirnya beliau membawa anaknya dan meminta istrinya untuk mengoleskan minyak di kepalanya. Istrinya berkata, “Mau dibawa ke mana anak itu?” Beliau menjawab, “Aku telah diperintahkan oleh Allah (swt) untuk menyembelih anakku.” Sang Ibu memandang putranya dan ia memandang pada Sayyidina Ibrahim (as), dan sambil menangis ia berkata, “Jika Allah (swt) mengatakan kepadamu seperti itu maka aku bertawakal pada Kehendak Allah. Lakukanlah apa yang diperintahkan oleh Allah.”
Jadi Ibrahim (as) membawa anaknya ke gunung dan beliau berkata, “Wahai anakku, mari kita bermain,” sebagaimana permainan petak umpet sekarang ini. “Aku akan menutupi matamu dan engkau harus menemukan aku.” Ismail (as) memandang ayahnya dan berkata, “Wahai ayahku, mengapa engkau membuang-buang waktumu, lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Aku tidak takut. Dia ingin agar aku dikorbankan, maka lakukanlah. Wahai ayahku, bersabarlah terhadap kesulitan dan masalah, jangan kehilangan kesabaran, aku tidak apa-apa, bawalah aku dan sembelihlah aku, tetapi ambillah pakaianku ini dan bawakanlah kepada ibuku, sebelum ia dipenuhi darah ketika engkau menyembelihku.” Jadi Ismail melepaskan pakaiannya dan menyerahkannya kepada ayahnya dan berkata, “Wahai ayahku, biarkan ibuku menyimpan pakaianku ini agar bila ia mengingatku, ia bisa mengingatku dengan pakaian ini dan katakan padanya, bahwa aku meninggalkan putraku kepada Dzat yang lebih baik daripada semua orang, aku meninggalkan anakku pada Allah (swt).”
Faqaala Ibrahim yaa rabb irham d`afii wa kibra sannii. Ibrahim berkata, “Yaa Allah, kasihanilah aku,” fa in lam tarhamnii farham hadza al-walad alladzii laa dzamba lah. Jika Engkau tidak mengasihani aku maka kasihanilah anakku yang tidak berdosa ini.” Mereka mengatakan bahwa pada saat itu Ismail berusia 7 atau 9 tahun. Para malaikat mulai menangis, pintu-pintu langit terbuka, dan segera setelah itu, beliau meletakkan anaknya pada sebuah batu dan mengambil pisau lalu meletakkan di lehernya. Dalam riwayat lainnya mereka mengatakan bahwa Ismail mencium bau daging yang terbakar. Ia berkata, “Wahai ayahku, apa yang terjadi? Aku mencium bau daging yang terbakar.” Ibrahim (as) menjawab, “Wahai anakku, itu adalah bau jantungku yang terbakar.”
Lihatlah betapa Allah memberikan kita kehidupan yang baik, namun kita masih saja mengeluh.
Allah segera memerintahkan Jibril (as) untuk menghentikan pisau itu, jika engkau tidak menghentikannya, Aku akan mengusirmu dari Hadirat-Ku.” Dan Jibril (as) segera memerintahkan pisau itu untuk berhenti. Dan di dalam Tafsir an-Nasafi, Ibrahim (as) merasa bahwa beliau tidak memenuhi perintah Allah, ia lalu melempar pisau itu, karena pisau itu tidak bisa memotong, seolah-olah beliau membawa pisau yang tidak berguna. Allah menyembunyikan darinya bahwa Dia telah memerintahkan pisau itu agar tidak memotong leher Ismail (as). Ibrahim (as) membuang pisau itu dan pisau itu berbicara dalam bahasanya, “Mengapa engkau marah?” Ibrahim (as) menjawab, “Karena engkau tidak memotong apa yang Allah inginkan.” Pisau itu berkata, “Jika engkau marah kepadaku, mengapa engkau tidak marah kepada api Namrud ketika mereka melemparkanmu ke dalamnya, tetapi api itu tidak membakarmu? Mengapa engkau tidak marah kepada api itu? Mengapa engkau marah kepadaku?” Beliau menjawab, “Karena Allah memerintahkan api untuk tidak membakarku, karena aku berawakal kepada-Nya.” Dan pisau itu berkata, “Allah juga memerintahkan aku untuk tidak memotong leher anakmu. Jibril (as) memerintahkan aku 70 kali untuk tidak memotong–bukan hanya sekali. Ketika aku hendak memotongnya, Jibril (as) mengatakan jangan, jangan memotong, jangan memotong, hingga 70 kali.”
Selanjutnya Allah (swt) memerintahkan Ibrahim (as) untuk menyembelih seekor domba jantan atas keselamatan Sayyidina Ismail (as). Ketika mereka pulang, Ismail (as) berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku, izinkanlah aku bertanya, ‘Apakah aku yang lebih pemurah atau engkau yang lebih pemurah? anaa akramu minka aw anta akramu minni?” Qaala Ibrahim (as), “Aku yang lebih pemurah daripada engkau karena aku memberikan anakku kepada Allah, aku menyerahkan dirimu.” Sayyidina Ismail (as) membawa cahaya Sayyidina Muhammad (saw), jadi bagaimana beliau akan mati? Itu adalah ujian bagi Sayyidina Ibrahim (as) dan juga bagi kita, apakah kita akan berkorban demi Nabi kita (saw) atau tidak? Artinya apakah kita mau mengikuti jalannya, mengikuti ajarannya, mengikuti Sunnahnya atau tidak? Apakah kita akan patuh atau tidak? Man atha Rasul faqad atha Allah, barang siapa yang mematuhi Rasul, berarti ia patuh kepada Allah, apakah kita akan melakukan itu atau tidak? .
Jadi Sayyidina Ismail (as) berkata, “Tidak, wahai ayahku, akulah yang lebih pemurah daripada engkau. Engkau murah hati dengan menyerahkan diriku, tetapi aku menyerahkan nyawaku. Aku adalah orang yang kehilangan nyawaku, bukan engkau, engkau menyerahkan aku, engkau tidak menyerahkan nyawamu, akulah yang menyerahkan nyawaku.” Qaala Ismail (as), “Aku menyerahkan ruhku, tetapi engkau tidak menyerahkan ruhmu. Engkau menyerahkan diriku.” Sayyidina Ismail (as) berkorban untuk seluruh umat, karena beliau membawa asrar dari Sayyidina Muhammad (saw).
Wahai Muslim, `Arafah ini adalah hari yang sangat penting, ini adalah hari kurban, marilah kita berusaha untuk berpuasa pada hari tersebut dan memohon kepada Allah,
“Yaa Rabbi, ampunilah kami dari segala dosa-dosa kami, demi Sayyidina Muhammad (saw), demi Sayyidina Ibrahim (as), demi Sayyidina Ismail (as), demi Arafah, demi mereka yang berdiri di Arafah pada hari ini dan memohon ampunan kapada-Mu. Bagilah ampunan mereka kepada kami, bagilah pahala haji mereka kepada kami dan catatlah kami sebagai orang yang menunaikan haji pada tahun ini dan pada setiap tahun-tahun lainnya dan bagilah kami pahala hajinya Nabi (saw).”
(doa)
© copyright sufilive.com 2008