Unknown's avatar

Penyerahan Diri Murid kepada Mursyidnya

Mawlana Shaykh Nazim al-Haqqani (q)

A`ūdzu billāhi mina ‘sy-syaythāni ‘r-rajīm
Bismillāhi ‘r-raḥmāni ‘r-raḥīm
lā ḥawla wa lā quwwata illa billāhi ‘l-`Aliyyi ‘l-`Azhīm

Dastūr yā sayyidī, madad
Tharīqatuna ash-shuḥbah wa ‘l-khayru fī ‘l-jama`iyyah

Allah ‘Azza wa Jalla memuliakan waktu-waktu dan tempat-tempat. Allah memuliakan malam Jumat dan menambah kemuliaannya pada tahun ini dengan malam Isra’ Mi’raj. Dan kami memohon kepada Allah – dengan keberkahan para guru kita yang mulia – agar Allah mengenakan kepada kita cahaya-cahaya malam ini, menjadikan kita termasuk orang-orang yang jujur (shaadiqiin) dan bersama orang-orang yang jujur, serta memberikan taufik kepada kita. Karena seandainya bukan karena taufik dari Allah, kita tidak akan mampu melakukan satu pun amal.  Sesungguhnya karamah terbesar adalah taufik yang terus-menerus (ajallu al-karamat dawamu al-tawfiq).¹ 

Dan sebagai bentuk tabarruk (mengharap keberkahan), kita membaca dari perkataan Mawlana [Syekh `Abd Allah al-Daghistani] bahwa pada malam Mi’raj, ketika Sayyiduna Jibril datang untuk mengajak Rasulullah untuk melakukan Mi’raj kepada Tuhan Yang Maha Agung, Rasulullah bermunajat kepada Tuhannya agar umatnya tidak diharamkan dari keutamaan ini dan agar mereka mendapatkan bagian dari peristiwa Mi’raj. Karena sifat Rasulullah – sebagaimana firman Allah Ta’ala – adalah “sangat menginginkan (kebaikan) bagi kalian” (at-Taubah, 9:128); di mana pun beliau berada, beliau selalu ingin umatnya turut serta bersamanya.

Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan Jibril, “Sampaikan kabar gembira kepada Kekasih-Ku dan katakan kepadanya bahwa untuk umatnya juga ada tangga-tangga Mi’raj, dan itu diperuntukkan bagi siapa saja dari mereka yang mengikutinya. Dan kita sekarang tidak mampu mengikuti Rasul secara langsung, tetapi kita mampu mengikuti para pewarisnya. Barang siapa mengikuti pewaris Rasul, maka seakan-akan dia telah mengikuti Rasulullah (saw) semasa hidupnya.  Dan barang siapa mengikuti Rasul (saw) atau para pewarisnya, lalu ia mempersiapkan diri, maka akan datang kepadanya malaikat-malaikat rahmat pada suatu malam, menyerunya untuk melakukan Mi’raj. Namun jika seseorang ingin melakukan Mi’raj tanpa melepaskan diri dari keakuannya (nafsunya), maka hal itu mustahil, dan ia akan terhalang dari maqam-maqam yang tinggi.

  1. Lihat Shuhba I.61, catatan ketujuh.

Dan Mawlana Syekh berkata bahwa Allah Ta‘ala berfirman dalam al-Qur’an al-Karim, dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan (tertulis) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuz) (al-An’am, 6:59).  Artinya, majelis kita ini tercatat dalam al-Qur’an; berapa banyak orang yang hadir, apa yang kita bicarakan, siapa yang mendapatkan manfaat dari mereka — semuanya disebutkan dalam al-Qur’an. “Tiada sesuatu yang basah dan kering melainkan dalam Kitab yang nyata.” Segala sesuatu ada dalam al-Qur’an, termasuk juga peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Penghulu segala makhluk (Rasulullah (saw)) mengetahui segala yang basah dan kering, dan beliau mewariskan sebagian dari ilmu itu kepada para pewarisnya, berupa perkara-perkara yang disebutkan dalam al-Qur’an — baik berupa kejadian, peristiwa besar, maupun hal-hal lainnya — demi menyampaikan risalah, jika mereka diizinkan untuk berbicara. Sebagaimana pewaris Rasul mengetahui segala hal yang wajib diketahui, baik secara umum maupun terperinci.

Mawlana Syekh juga berkata, “Engkau harus meyakini para mursyid agung dalam segala urusan, baik duniawi maupun ukhrawi, lahir maupun batin. Dan sesuai kadar keyakinanmu, seperti itulah engkau akan menemukan mereka.” Jika engkau telah mengambil seorang syekh dan mursyid, maka peganglah erat-erat dan bersungguh-sungguhlah dalam berpegang padanya.  Setelah itu, janganlah engkau menetapkan keputusan dalam urusan apa pun, melainkan serahkanlah keputusan itu kepada mursyidmu. Sebab dia lebih mengetahui hukum-hukum, dan apa yang seharusnya terjadi atau tidak terjadi. Jika engkau menjadikan dirimu sendiri sebagai hakim (penentu keputusan), maka engkau akan diserahkan kepada dirimu sendiri, dan barangsiapa diserahkan kepada dirinya, sungguh dia akan binasa.  Sebab mursyid, dalam segala urusan — baik besar maupun kecil, lahir maupun batin — adalah lebih mengetahui darimu. Dan Mawlana berkata, “Sesungguhnya Allah memberikan pemahaman tentang hal-hal ini kepada siapa yang mau mendengarkan. Adapun siapa yang tidak mendengarkan, maka ia tidak akan memahami. Karena barangsiapa yang mendengarkan, pasti akan diberikan pemahaman.

Seorang lelaki dari kalangan para syekh datang berziarah kepada Sayyiduna Syekh Syarafuddin ad-Daghestani. Ketika ia telah duduk, Sayyiduna Syekh bertanya kepadanya, “Apakah engkau ingin berbicara agar kami mendengarkan, ataukah engkau ingin mendengarkan?”  Tamu itu menjawab, “Bahkan kami ingin mendengarkan, karena kami mengambil (ilmu dan manfaat) dari lautanmu.”  Maka Sayyiduna Syekh Syarafuddin berkata, “Apakah engkau mengira bahwa mendengarkan itu mudah?  Banyak orang menyangka bahwa mendengarkan itu mudah — padahal sebaliknya. Sesungguhnya yang mampu mendengarkan adalah orang yang tidak memiliki keakuan (ananiyah). Karena keakuan tidak akan membiarkan seorang hamba mendengarkan kalimat al-Haqq, dan ini adalah hijab (penghalang) terbesar. Tidakkah engkau melihat bahwa Iblis tidak mau mendengarkan perintah Tuhannya, karena keakuannya?  Orang yang memiliki keakuan tidak akan mampu mendengarkan dari orang lain. Adapun orang yang memiliki maqam tawaduk sejati, maka ia mampu mendengarkan dari yang kecil maupun dari yang besar. Sebab bagaimana mungkin engkau bisa mendengarkan dari seseorang jika engkau tidak mendahulukannya atas dirimu? Jika engkau tidak menganggapnya lebih tinggi darimu dalam ilmu, hikmah, amal, dan kedudukan — maka engkau tidak akan bisa mendengarkan darinya. Hanya ketika engkau merendahkan dirimu, engkau akan mampu mendengar darinya. Jika tidak, berarti engkau sedang mengklaim bahwa engkau lebih baik darinya.

Oleh karena itu, siapa yang tidak merendahkan dirinya (tidak menundukkan egonya), maka ia tidak akan mendapatkan manfaat dari Ahli Haqiqah (para arifin) maupun dari limpahan-limpahan Ilahi, serta dari Nafas ar-Rahman yang menyertai para kekasih Allah. Bisa jadi orang yang berbicara kepadanya adalah seseorang yang memiliki jiwa yang suci, tetapi ia tidak mendengarnya karena keakuannya (ananiyah), sehingga ia terhalang dari keberkahan hamba yang istimewa itu.  Sayyiduna al-Ghujdawani pernah berkata di hadapan para Khwajagan, “Kami menginginkan dari murid kami agar ia berserah diri kepada kami, namun bukan seperti penyerahan mayat di tangan pemandi jenazah.”1 Karena hal itu, menurut kami, tidak diterima. Meskipun secara lahir, jenazah di tangan pemandi tampaknya tidak membantah dan mengikuti ke mana pun ia dibalikkan, kami tidak menginginkan bentuk penyerahan seperti itu.  Sebab Ahli Haqiqah dapat mendengar ucapan jenazah ketika sedang dimandikan. Mereka berkata bahwa jenazah itu mengatakan, ‘Jangan siram aku dengan air panas atau terlalu dingin’, atau ‘Perlakukan aku dengan lembut dan jangan pegang aku terlalu keras!’”

Dan Sayyiduna Syekh berkata bahwa barang siapa yang ingin memperoleh hidayah itu dan mencapai maqam “Haq al-Hayah” (hakikat kehidupan) di dunia, serta maqam “Matilah sebelum kalian mati”2 dalam kehidupan, maka ia harus bersikap di hadapan mursyidnya seperti benda mati — seperti sehelai daun kering yang dibawa angin, dihantam ke sana-sini, lalu dilemparkan ke dalam api tanpa mengeluarkan suara. Inilah sifat tertinggi dari murid yang diterima di kalangan para masyayikh Naqsyabandiyah.  Seorang murid harus selalu mempersiapkan dirinya untuk ditugasi oleh sang syekh dalam urusan apa pun, dan ia harus selalu bertanya dalam hati, “Jika syekh dan mursyidku menugaskanku dengan urusan ini, apakah aku mampu melakukannya atau tidak?” Bisa jadi seorang murid melaksanakan tugas itu, tetapi dalam hatinya ada keberatan yang tak mampu ia ungkapkan — namun syekh mengetahuinya dan mendengar penolakan batin itu, meskipun tidak terucap. Karena itu, murid seperti ini tidak mengalami kemajuan, sebab yang masih menjadi pengatur dan pengendali atas dirinya adalah egonya sendiri. Maka coraknya (shibghah) (al-Baqarah, 2:138) masih berbeda dari corak sang syekh. 

Mawlana Syekh juga berkata bahwa pada setiap saat selalu ada lawan. Demikian pula, bersama setiap nikmat selalu ada sesuatu yang menentangnya. Tak ada waktu ataupun nikmat yang bebas dari cobaan dan pertentangan.  Karena Allah berfirman, “Aku tidak akan membiarkan hamba-Ku tanpa ujian.”3  Sebagaimana penyakit itu terbagi dua, satu untuk jasad, dan satu lagi untuk ruh. Dan setiap pewaris Muhammadi memiliki obat untuk penyakit jasmani maupun ruhani.  Mungkin saja seorang syekh berkata kepada seseorang yang bertanya kepadanya tentang obat untuk penyakit kanker, “Minumlah jus bawang putih putih.” Maka hendaklah ia meminumnya, meskipun hanya sekali — karena yang terpenting adalah keyakinan dan pembenaran (tasdiq).  

  1. Ini adalah definisi tawakkul (ketergantungan kepada Allah) menurut al-Tustari dalam kitab Syu’ab al-Iman karya al-Bayhaqi (§13).
  2. Lihat Shuhba I.32, catatan keempat.
  3. Lihat al-`Ankabut, 29:2, al-Qiyamah, 75:36.

Dengan keberkahan dari tasdiq (pembenaran dan keyakinan), seorang hamba dapat mencapai maqam para shiddiqin (orang-orang yang sangat membenarkan). Allah ‘Azza wa Jalla tidak pernah berfirman “Celakalah orang-orang yang membenarkan,”1 melainkan berfirman, “Celakalah orang-orang yang mendustakan.” Dan sesuai kadar tasdiq yang ada dalam diri seorang hamba, sejauh itu pula ia akan naik dalam maqamatul-qurb (tingkatan kedekatan kepada Allah), hingga ia mencapai maqam ash-shiddiqin, yang merupakan tingkatan langsung setelah maqam an-nabiyyin (para nabi).

Ada 80.000 sifat tercela yang berasal dari nafsu, dan siapa yang tidak peduli untuk mengobatinya, maka ia akan berada di bawah kekuasaan nafsu, hawa, setan, dan dunia. Oleh karena itu, ia wajib berjihad untuk melepaskan diri dari semua itu.  Sayyiduna Abu Yazid al-Busthami berkata, “Sepanjang hidupku, aku tidak pernah melaknat Iblis, karena aku khawatir ia akan membalas ucapanku dengan berkata,  ‘Tidakkah engkau malu melaknatku, sedangkan engkau telah berada di bawah perintahku selama 37 tahun?’” — dan ini sesuai dengan pemahaman kita. Termasuk rahasia dari bahaya penyakit-penyakit batin adalah: bahwa setiap penyakit batin membuat seorang hamba berada dalam keadaan jauh dari Allah dan dekat dengan dirinya sendiri. Sifat-sifat tercela itu menjauhkan hamba dari lingkungan kesucian (ḥadhīrat al-quds). Dan agar engkau dapat bersih dari najis-najis itu dan suci darinya, maka engkau harus berjihad untuk menyucikan keempat unsur (dalam dirimu).  Karena tanpa jihad (mujahadah), tidak akan diperoleh penghiasan (tahliyah) dan penyucian (nazhafah).

Dan Mawlana Syekh berkata, “Wahai anak-anakku, di antara kami tidak ada amalan yang tidak memerlukan tobat. Justru setiap amalan yang kami lakukan harus kami mohon ampun kepada Allah atasnya. Maka bagaimana mungkin kamu menganggap dirimu telah menghidupkan malam Mi’raj atau malam-malam Ramadhan dengan dzikir? Setiap amalan membutuhkan tobat dan istighfar.”  Dan tobat serta istighfar inilah yang memutuskan keakuan (ananiyah) dan sifat takabbur (ujub), karena ujub itulah yang menjadi sebab pengusiran Iblis dari pintu Allah.

Semoga Allah menjaga kita semua dan memberi kita petunjuk untuk tetap berada di jalan yang benar.

Bi ḥurmatil ḥabīb, bi ḥurmatil Fātiḥah

  1. Lihat ath-Thūr, 52:11, al-Mursalāt, 77:15, 19, 24, 28, 34, dan seterusnya.