Syekh Muhammad Hisyam Kabbani (q)
Judul dari setiap pelajaran adalah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
“Athi’u ‘l-Laaha wa athi`u ‘r-Rasula wa ‘uulil ‘amri minkum”
Patuhilah Allah, patuhi Rasul-Nya (s), dan patuhi ulil amri di antara kalian. (4: 59).
Dengan mematuhi Allah (swt), kalian mematuhi Nabi (s), dan dengan mematuhi Nabi (s), kalian mematuhi Allah (swt). Oleh sebab itu jagalah agar Tuhan dan Nabi (s) selalu berada di dalam kalbu kalian; dan bila kalian mematuhi guru kalian, berarti kalian mematuhi Nabi (s).
Guru sangat penting dan setiap orang harus mempunyai seorang guru. Tanpa guru, tak seorang pun dapat mengalami kemajuan dan tak seorang pun bisa menemukan jalan atau jalurnya. Bahkan Nabi (s) dan seluruh rasul yang diutus Allah ke dunia ini juga mempunyai guru. Mereka mempunyai Malaikat Jibril (a) sebagai guru mereka. Itulah sebabnya kita harus mempunyai seorang guru yang akan menunjukkan jalan kepada Nabi (s) dan kepada Allah. Jangan berpikir bahwa kalian dapat mencapai suatu tempat tanpa seorang guru, mustahil. Bila kalian menempuh jalan sendiri, kalian tidak akan mencapai tempat tertentu karena jika kalian kehilangan jejak, kalian benar-benar akan tersesat. Jadi, gunakanlah seorang pemandu yang mengetahui jalannya, yang telah melalui jalan itu sebelumnya, sehingga ia menjadi berpengalaman. Ia akan mengantar kalian dan membimbing kalian langsung menuju tujuan kalian tanpa pergi ke sana ke mari, atau ke suatu tempat yang bisa menyesatkan kalian.
Itulah sebabnya mengapa kita mempunyai Silsilah Keemasan yang merupakan mata rantai guru-guru yang sambung-menyambung dan kembali secara langsung, tanpa interupsi kepada Nabi (s). Inilah yang kita butuhkan, suatu jalinan langsung. Kita tidak menginginkan mata rantai yang terputus di suatu tempat. Sebuah pipa yang tertanam di dalam tanah dan membawa air dari satu desa ke desa yang lain harus benar-benar tersambung dengan baik. Jika ada sebuah lubang di suatu tempat, air itu tidak akan sampai. Jika mata rantai wali itu terputus, kalian tidak akan sampai kepada Nabi (s).
Beberapa orang mengatakan, “Kami adalah pengikut Sufisme, atau Buddha, atau Hindu, atau Kristen, atau Yahudi, atau yoga, atau reiki, atau meditasi transendental,” atau agama dan kepercayaan lainnya. Jika kalian bertanya kepada mereka, “Siapa guru kalian?” Mereka akan menjawab, “si Anu dan Anu,” lalu siapa guru dari “si Anu dan Anu” tadi? Sekarang kami bukannya ingin menentang suatu agama atau kepercayaan, karena semuanya itu akan mengantarkan kalian menuju tujuan yang kalian cari, tetapi pahamilah apa yang kami tanyakan, siapakah guru dari guru kalian? Orang itu tidak akan mengetahui bagaimana menjawab pertanyaan itu.
Seseorang mungkin mengatakan, “Asal mulanya berasal dari ajaran mistik dan dari orang-orang suci yang telah berusia 2.000, 3.000, atau 6.000 tahun.” Lalu bagaimana kondisi “pipanya” dalam kurun waktu ribuan tahun itu? Siapa guru-guru yang membentuknya, guru-guru dan guru-gurunya lagi yang meneruskannya? Tidak ada yang mengetahuinya, mereka hanya mengenal dua, tiga atau empat guru, setelah itu pengetahuan mereka terhenti.
Sebuah pohon yang tidak mempunyai akar tidak akan menghasilkan buah. Pohon yang perakarannya tidak kuat akan mudah diterpa angin karena fondasinya sangat lemah. Seorang guru tidak boleh “mengaitkan diri,” begitu saja tanpa ia mengetahui siapa gurunya, siapa guru-guru sebelumnya sampai guru yang mendirikan jalur tersebut. Itulah sebabnya guru-guru Sufi sejati merupakan guru-guru yang sangat terhubung dan merupakan guru-guru terkuat di dunia ini, mereka mempunyai hubungan yang benar, mereka mengetahui asal-usul mereka. Jika kalian tidak mengetahui asal-usul kalian, kalian tidak akan terhubung ke mana-mana atau kalian tidak mengetahui ke mana kalian terhubung.
Dapatkah kalian menyebutkan urutan guru-guru kalian mulai dari pendirinya hingga guru yang sekarang? Jangan hanya menyebutkan sebuah nama dari 3.000 tahun yang lalu. Kami menginginkan mata rantai yang tidak terputus, tanpa ada satu yang hilang. Kalian tidak akan menemukan mata rantai semacam itu dalam jalur spiritualitas atau filosofi apapun, kecuali di dalam Sufisme. Dan tanpa mata rantai seperti itu kalian tidak bisa ke mana-mana. Itulah sebabnya mengapa kalian memerlukan seorang guru Sufi untuk mengantarkan kalian menuju tujuan kalian.
Ini adalah ilmu yang diambil dari kalbu Nabi (s) dan dibawa melalui mata rantai guru-guru tersebut. Kalian tidak bisa menemukannnya di dalam buku apapun.
Grandsyekh kami, semoga Allah memberkati rahasianya, mengatakan bahwa Nabi (s), beberapa saat setelah dilahirkan, beliau diambil oleh para malaikat dari tangan ibunya. Dalam sekejap mata mereka sampai di Samudra al-Hayy. Allah mempunyai 99 Asmaul Husna wal Sifat, dan setiap Sifat merupakan Samudra Ilmu yang tak terhingga di mana tidak seorang pun dapat memahaminya. Salah satu Samudra Ilmu itu adalah Samudra dari Asma al-Hayy, Yang Maha Hidup. Barang siapa yang mengetahui rahasia dari Asma itu, ia tidak akan mati. Ia akan hidup selama-lamanya; tidak hanya sendiri, tetapi bersama setiap orang, karena setiap orang hidup melalui cahaya Ilahi di dalam kalbunya. Ketika kalian berenang di dalam Sifat dari Asmaullah tersebut, itu berarti kalian mempunyai cahaya itu sehingga kalian akan berada di dalam kalbu setiap orang, dan mengetahui apa yang dilakukan oleh setiap orang. Itulah tempat di mana Nabi (s) diambil oleh para malaikat yang diperintahkan untuk membersihkan kalbunya dalam “Ma’ul hayat,” Air Kehidupan. Segera setelah mereka meletakkan kalbunya di dalam Air Kehidupan, dengan segera beliau memiliki dan dibusanai dengan “An-Nuur al-Ilahi” Cahaya Ilahi. Dan setelah beliau dibusanai dengan Cahaya Ilahi tersebut, segalanya menjadi terbuka baginya, tidak ada lagi hijab yang tersisa. Setelah itu Nabi (s) dibusanai dengan Samudra Kekuatan Ilahi, “Bahrul Qudrah.”
Oleh sebab itu ketika keluar dari Ma’ul Hayat, Nabi (s) menerima tiga atribut. Pertama, beliau dibersihkan dengan Air Kehidupan dan diberikan kehidupan yang abadi. Kedua, beliau menerima Cahaya Ilahi. Pada saat itu, sebagaimana yang telah kami katakan, beliau mampu merasakan apa yang dirasakan oleh setiap orang dan berada di dalam kalbu setiap orang. Itulah arti dari ayat, “Wa`lamuu anna fikum rasuulallah,” “Ketahuilah bahwa Rasulullah (s) ada bersama kalian, di antara kalian dan di dalam diri kalian” [al-Hujurat: 7], karena beliau telah dibusanai dengan Cahaya Ilahi tersebut. Itulah sebabnya Nabi (s) dapat mengetahui apa yang kalian rasakan, bagaimana masa depan kalian, apa yang kalian lakukan, dan apa yang akan terjadi baik di dunia maupun di akhirat. Allah memberinya kekuatan itu.
Ketiga, Nabi (s) menerima Kekuatan Ilahi dari Samudra Kekuatan Ilahi. (Pembicaraan) ini bersumber dari ilmu tingkat tinggi dan harus dipahami dengan cermat. Itu adalah atribut dari “Bahrul Qudrah,” Samudra Kekuatan, yang pernah diminta oleh Nabi Musa (a) namun tidak diberikan oleh Allah. Nabi Musa (a) meminta agar Allah memberinya kekuatan dari Samudra Kekuatan agar bisa mengatakan kepada sesuatu, “Kun! Fayakun.” “Jadilah!” dan jadilah ia, Allah (swt) berfirman, “Tidak, lihatlah gunung itu, Aku akan memberikan cahaya kepada gunung itu. Jika gunung itu tetap berdiri di tempatnya, engkau akan diberikan kekuatan itu, tetapi jika gunung itu hancur lebur, kau tidak bisa menerima kekuatan itu, karena kau pun akan hancur.” Dan ketika Allah mengirimkan cahaya ke gunung itu, gunung itu menjadi hancur lebur, Nabi Musa (a) pun jatuh pingsan [al-A’raf: 143]. Itulah sebabnya Allah mengatakan bahwa kekuatan itu bukan untuknya melainkan untuk Nabi terakhir (s).
Allah telah memberi Nabi (s) Samudra Kekuatan itu sehingga beliau bisa mengatakan kepada sesuatu, “Kun! Fayakun.” “Jadilah!” dan jadilah ia—tanpa perlu meminta izin kepada Allah karena beliau berenang di dalam Samudra itu. Nabi (s) bersabda, “Maa shabballahu fii shadrii syay-an ilaa wa shababtuhu fi shadri Abii Bakri,” “Apapun yang telah dituangkan Allah ke dalam kalbuku, telah kutuangkan pula ke dalam kalbu Abu Bakar ash-Shiddiq (r)” (Maybudi, Razi, Ajluni, Suyuti), kemudian Abu Bakar (r) menyerahkan semuanya kepada Salman al-Farisi (r), Salman (r) kepada Qasim (r), Qasim (r) kepada Ja’far (r), Ja’far (r) kepada Tayfur [Bisthami] (q), Tayfur (q) kepada Sayyidina Khidir (a)—dan rahasia itu sampai kepada Grandsyekh dan Grandsyekh meneruskannya kepada Mawlana Syekh Nazim (q).
Bila Allah sudah memberikan sesuatu, Dia tidak akan mengambilnya kembali. Dia adalah al-Kariim, Yang Maha Pemurah. Makna dari kemurahan sejati adalah ketika kalian memberikan sesuatu, kalian tidak mengambilnya kembali dan tidak menyesal karena telah memberikannya, jika kalian masih menyesal, kalian bukan pemurah. Allah (swt) memberi kekuatan kepada Nabi (s) untuk mengatakan, “Jadilah!” kepada sesuatu maka jadilah ia, dan beliau menyimpan kekuatan itu untuk Hari Kiamat, untuk membawa semua orang ke dalam Surga. Nabi (s) tidak akan meninggalkan seorang pun. Beliau akan merangkul seluruh manusia dengan tangannya dan membawanya ke surga. Itulah Nabi kita, shallalaahu `alayhi wa sallam.
Setelah ketiga Atribut tersebut, muncullah lima tingkatan kalbu. Ketika Allah menyandangkan beliau, dalam waktu singkat kalbu Nabi (s) diberkati dengan Kekuatan Ilahi dari lima tingkatan kalbu, dan dari satu tingkat ke tingkat berikutnya hanya berlangsung dalam waktu singkat. Tingkat pertama adalah Maqam Kalbu, kemudian Maqam Rahasia, lalu Maqam Rahasia dari Rahasia, berikutnya Maqam Yang Tersembunyi dan terakhir Maqam Yang Paling Tersembunyi.
Grandsyekh dan Mawlana Syekh Nazim (q) berkata bahwa, setelah Nabi (s) dibusanai dengan semua tingkat ini, apapun dosa dan perilaku buruk dari umatnya, walaupun dosa setiap orang tidak terhitung lagi jumlahnya, bahkan jika dosa itu menyamai jumlah umat Nabi (s)—yang menurut ajaran Sufi jumlahnya mencapai 400 miliar—bagi Nabi (s) itu sama saja, bagaikan sesuatu yang dibersihkan dengan sebilas air. Seperti itulah cahaya yang telah diberikan Allah (swt) kepada Nabi (s) sehingga beliau dapat membersihkan seluruh dosa tersebut dan memberi manfaat kepada umatnya seolah-olah semuanya tidak terjadi.
Allah (swt) mengungkapkan kepada Nabi (s), “Kalian adalah umat terbaik yang Allah kirimkan kepada manusia.” Nabi (s) bersabda, “Afdhalul umma akhyarul umma akhirul umma,” “Umat terbaik, umat yang paling disukai adalah umat yang terakhir.” Kalian adalah umat terakhir. Menurut Grandsyekh, dunia ini tidak akan berusia lebih dari 50 tahun tahun lagi. Setelah 50 tahun sesuatu akan terjadi, sesuatu yang tidak pernah kalian dengar sebelumnya. Hari Kiamat akan terjadi setelah 50 tahun ini dan ditambah 40 tahun kemudian. Semuanya akan berakhir dalam 90 tahun dari sekarang. Melalui rahmat yang telah disandangkan kepada Nabi (s), seluruh dosa manusia akan dihapuskan. Grandsyekh berkata bahwa walaupun setiap orang mempunyai 400 miliar dosa, semuanya akan dihapuskan, walaupun jumlahnya mencapai jumlah seluruh ciptaan Allah yang meliputi alam semesta dan makhluknya. Dengan mudah semuanya dapat dihilangkan oleh Samudra Rasulullah (s), seolah-olah tidak ada dosa-dosa yang telah menyentuh kalian.
Nabi (s) bersabda, “Syafaatku adalah bagi mereka yang melakukan dosa-dosa besar di antara umatku.”
Orang-orang yang melakukan dosa-dosa kecil, akan mendapat ampunan Allah, karena mereka melakukan ibadah, menjaga kewajiban mereka dan bertobat dari kesalahannya. Orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar (kaba’ir), memerlukan syafaat Nabi (s), dan dengannya mereka akan diselamatkan.
Jangan berpikir bahwa Allah menciptakan makhluk-Nya lalu meninggalkannya begitu saja. Allah akan membusanai para awliya-Nya dan membusanai Nabi (s) dari Atribut dan Cahaya-Nya untuk membawa orang-orang dari penderitaan dan dosa menuju maqam tertinggi di akhirat.
Ketika Salman al-Farisi (r), salah satu Sahabat terbesar setelah Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq (r) yang berasal dari Persia, mengetahui dari buku yang dibacanya dan melalui tanda-tanda yang tidak biasa di gugusan bintang, yang menandakan bahwa Nabi terakhir akan muncul. Ia tahu bahwa akan terjadi suatu peristiwa besar di dunia ini. Untuk pergi ke Mekah, ia menjual dirinya sebagai budak kepada beberapa orang yang pergi ke Mekah, dan ia mengiringi unta milik orang yang membelinya sepanjang 5.000 mil dari Persia ke Mekah untuk bertemu Nabi (s). Sekarang kita malah enggan untuk menempuh 20 atau 40 mil dengan kendaraan, dan mengatakan bahwa itu terlalu jauh. Lihatlah perjalanan para awliya yang sangat panjang dan jauh untuk bertemu dengan Nabi (s).
Ketika Nabi (s) dilahirkan ke dunia ini oleh ibunya, Sayyidina Salman al-Farisi (r) mendengar kegembiraan binatang liar yang berteriak, “Allahu Akbar!” karena semua makhluk di alam semesta ini bergembira, termasuk binatang, pepohonan dan bintang-gemintang, karena Nabi terakhir (s) telah datang dan semuanya mengetahui bahwa Allah akan membusanai beliau dengan Cahaya-Nya—semuanya tahu dan bergembira, kecuali kita, manusia. Manusia iri terhadap Nabi (s) dan berkata, “Mengapa Allah memilihnya?”
Grandsyekh berkata, “Aku berbicara dari Samudra Ilmu yang akan dibukakan ketika Imam Mahdi (a) telah muncul. Luasnya ilmu yang kubuka ini bagaikan cahaya yang masuk ke dalam lubang jarum.” Jika Mawlana berbicara seolah-olah dari sebuah lubang jarum, maka apa yang kita bicarakan sekarang ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan hakikat sesungguhnya. Apa yang akan datang adalah sesuatu yang bisa membuat kalian kehilangan pikiran kalian.
Ini adalah keterangan mengenai pernyataan Sayyidina Abu Hurayrah (r) di dalam hadis, “Shabba Rasulullah fii qalbi wi’aanaini fa ammaa ahaduhumaa fa batsats-tuhu bii khalqi wa ammal akhara law batsats-tuhu laquthi’a hadzal bul’uum,” “Rasulullah (s) telah meletakkan dua macam ilmu di dalam kalbuku. Satu ilmu telah kusebarkan kepada orang-orang, tetapi bila ilmu yang lainnya kuungkapkan, mereka akan memenggal leherku.” (Bukhari). Apa yang Grandsyekh katakan tergolong ilmu tipe kedua—sesuatu yang berada di luar kebiasaan dan akan disebarkan di masa Imam Mahdi (a) nanti, yang sekarang disimpan di dalam kalbu orang-orang pilihan Allah.
Grandsyekh berkata bahwa hal ini telah dibukakan di dalam kalbu Nabi (s) sejak masa kelahirannya dan kalbu beliau bagaikan segelas air, transparan dari segala sisi. Kalbunya begitu bening dari cahaya Ilahi sehingga ke mana pun Nabi (s) memandang, beliau mendapatkan ilmu dan hikmah; dan oleh sebab itu beliau berbicara berdasarkan ilmu dan hikmah tersebut.
Grandsyekh berkata bahwa ketika ruh Nabi (s) diambil dari jasadnya oleh para malaikat dan dipersembahkan ke Hadratillah, ibunya khawatir kalau bayinya telah meninggal karena tubuhnya tidak bergerak selama satu jam penuh. Tetapi Jibril (a) segera datang dan berkata kepadanya, “Jangan takut, dan jangan ceritakan hal ini kepada orang-orang, biarkan saja. Allah telah mengambil ruhnya untuk dibersihkan dan untuk membukakan Atribut dari 99 Asmaullah–semua Samudra dari Asmaullah. Menurut agama Islam, Allah mempunyai 99 Nama, setiap Nama mencakup suatu Atribut Ilahi dan setiap Atribut merupakan sebuah Samudra Ilmu yang kedalamannya tidak diketahui oleh seorang pun.
قُل لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا
Qul law kaana al-bahru midaadan li-kalimaati rabbii la nafida al-bahru qabla an tanfada kalimaatu rabbii wa law ji’naa bimitslihi madada
Katakanlah: “Sekiranya lautan menjadi tinta (untuk menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (18:109)
Allah membasuh kalbu Nabi (s) dengan “Bismillah al-A`zham,” dengan Asmaullah yang Terbesar. Sampai sekarang setiap wali berusaha untuk mengetahui Asmaullah yang Terbesar, tetapi tidak ada yang mengetahuinya, karena rahasia itu belum dibukakan kepada seseorang, kecuali Nabi (s) sendiri yang telah menerima rahasia tersebut di dalam kalbunya. Semua hijab dihilangkan dari kalbu Nabi (s) ketika Allah membasuh kalbunya dengan sungai Kawtsar, sebuah sungai di Surga yang diberikan kepada Nabi (s) ketika Dia berfirman,
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ
“Innaa a`thaynaaka ‘l-Kawtsar”
“Sesungguhnya Kami telah memberimu Kawtsar.” [al-Kawtsar, 108: 1].
Jika seseorang mandi di dalamnya, kalbunya tidak akan pernah mati.
Itulah sebabnya Nabi (s) bersabda,
أنا حيٌّ في قبري
“Ana hayyun thariyyun fii qabri,”
“Aku hidup dan tetap segar dalam kuburku” (Suyuti).”
Ketika beliau (s) baru berusia 1 jam, Nabi (s) bertanya kepada Allah ketika Dia membasuhnya, “Wahai Tuhanku, bagaimana dengan umatku? Apakah Engkau akan membasuh umatku dengan air dari sungai ini? Jika tidak, aku tidak mau dibasuh sendiri. Aku harus bersama umatku, aku tidak bisa meninggalkan mereka.” Menurut Nabi (s), ketika beliau meminta hal ini kepada Allah, Allah membasuh seluruh umatnya dengan air dari Sungai Kehidupan itu. Allah membasuh dan membersihkan kalbu mereka sampai menjadi bersih dan transparan seperti yang dimiliki oleh Nabi (s), kemudian Allah menyerahkan mereka kepadanya, “Aku menyerahkan umatmu dalam keadaaan bersih, suci, lemah lembut, pemurah, tawaduk, saling mencintai dan menghormati sesamanya. Apakah engkau menerimanya?” Nabi (s) yang melihat mereka semua dalam keadaan bersih dan suci lalu berkata, “Aku menerimanya.” Ketika beliau mengatakan akan membawa mereka, Allah menunjukkan kepadanya bagaimana mereka akan membuat banyak dosa ketika diturunkan ke dunia ini. Nabi (s) bersabda, “Wahai Tuhanku, apa yang telah Kau lakukan?” Allah menjawab, “Lupakan saja, cahaya tidak akan hilang dari dalam hati mereka. Mereka akan menutupi cahaya itu dengan kegelapan, tetapi itu akan seperti noda, dan Aku akan memberimu awliya yang akan menjadi pembantumu agar mereka dapat membersihkan dan mengkilapkan kalbu mereka.”
Kita adalah umat yang diampuni, Ummatan marhuuma, Ummatan maghfuurah. Allah telah mempercayakan kita kepada Nabi (s) dengan Kemurahan-Nya. Kalian akan mendengar lebih banyak lagi pelajaran ini. Namun tetap saja apa yang kita bicarakan ini hanyalah hal-hal yang sepele. Ketika Grandsyekh memberi izin untuk berbicara dari ilmu semacam itu, pelajaran ini bukan untuk didengar oleh semua orang. Mereka yang mendengar adalah orang-orang yang istimewa dan topik ini hanya bisa dibuka dengan izin Grandsyekh dan Mawlana Syekh Nazim (q).
Setelah Nabi (s) menerima umatnya dengan cahaya mereka, dan setelah Allah menunjukkan dosa-dosa yang akan mereka lakukan, Nabi (s) meminta beberapa pembantu. Allah segera memberinya 7.007 wali Naqsybandi untuk membantu beliau membersihkan umatnya. Di antara mereka terdapat 313 wali yang tingkatannya lebih tinggi. Dan di antara mereka terdapat 40 master dari Silsilah Keemasan, jalan kita menuju Nabi (s). Keempat puluh master kita berusaha melakukan yang terbaik untuk membersihkan setiap orang dari dosa-dosanya melalui cahaya yang telah diberikan Allah ke dalam kalbu mereka. Kalian beruntung bahwa kalian berada di tangan salah satu master tersebut—master terakhir dalam mata rantai ini, guru yang keempat puluh.
Apakah Kawtsar itu? Menurut riwayat yang tertulis, Kawtsar adalah nama sebuah sungai di Surga, tetapi menurut pemahaman dan pengetahuan Sufistik, Kawtsar adalah nama salah satu Grandsyekh. Grandsyekh itu, dengan air di mana Allah membuat simbol dengan namanya dapat menghilangkan dosa-dosa semua pengikutnya, dan menghadirkan mereka dalam keadaan bersih kepada Nabi (s) setiap malam. Itulah sebabnya kalian harus bergembira karena kalian telah terhubungkan dengan salah satu master yang agung dalam Silsilah Keemasan ini.
Grandsyekh, dan master kita, Mawlana Syekh Nazim (q) bertanya, “Mengapa Allah memberi kenabian kepada Nabi (s)? Apakah hanya untuk dirinya sendiri?” Grandsyekh berkata, “Tidak!” Allah telah memberi kekuatan itu dan membusanainya dengan tajali dari 99 Asmaullah wal Sifat dan semua cahaya ini demi umatnya. Semua itu agar Nabi (s) dapat membusanai kita semua dengan cahaya yang serupa, membagi bersama kita semua atribut dari Sunnahnya, dengan tajali lahir dan batin. Allah telah berfirman kepada Nabi (s), “Wahai Nabi-Ku tercinta, Aku akan bertanya kepadamu secara pribadi—Aku ingin setiap orang dari umat ini menjadi seperti dirimu…” Ini adalah suatu rahasia yang besar dan luar biasa, yaitu bahwa Nabi (s) bertanggung jawab untuk membuat setiap orang dari umatnya agar seperti beliau. Dalam beribadah, beliau akan membagi seluruh ibadahnya untuk kita, hal ini untuk membersihkan dan membusanai diri kita dengan semua yang telah didapatkannya, dan untuk menghadirkan kita kepada Allah dalam keadaan suci dan murni, melalui kekuatan Syafaat yang telah dikaruniai oleh Allah (swt) kepadanya. Inilah tugas beliau.
Grandsyekh dan Mawlana Syekh Nazim (q) berkata, “Setiap saat Nabi (s) mengalami peningkatan dua kali lipat dalam mendekati Hadratillah, “Yataraqqa mitslayni mitslayn,” dalam sekuen geometrik yang berkembang, setiap saat meningkatkan jarak sebelumnya dua kali lipat. Beliau mengalami kemajuan, dan secara bersamaan beliau juga membawa umatnya—tanpa diskriminasi, tanpa perbedaan. Umat ini adalah kumpulan dari hamba-hamba; dan hamba adalah hamba, budak adalah budak! Tidak ada perbedaan di antara mereka! Mereka semua adalah budak di hadapan Allah, dan Nabi (s) melihat mereka sebagai satu kesatuan dan membawanya bersamanya.
Nabi (s) bersabda, an-naasu sawaasiyyata ka asnaan al-masyti – “Manusia adalah sama seperti gigi-geligi sisir.”
Ilmu ini akan dibukakan pada masa Imam Mahdi (a) dan Nabi `Isa (a). Sekarang, ini hanyalah aromanya saja dari apa yang akan muncul nanti. Ketika orang-orang berbicara kepada kalian tentang Sufisme, apa yang mereka katakan? Mereka bagaikan anak-anak dibandingkan dengan master dari Silsilah Keemasan yang mengambil ilmunya dari kalbu Nabi (s). Apa yang akan dibukakan nanti akan mengecilkan apa yang dikatakan oleh orang yang mengaku sebagai guru Sufi itu. Mereka akan mendapati bahwa mereka hanyalah anak-anak. Ilmu mereka bukan apa-apa. Itulah sebabnya Sayyidina Muhyiddin Ibnu al-`Arabi (q), setelah menulis Al-Futūhāt al-Makkīyyah berkata, “Aku tidak mengerti apa yang kutulis.” Ia biasa tidur dengan sebuah pena di sisinya, ketika bangun, ia mendapati bahwa pena itu telah menulis sesuatu. Demikian pula ketika ia menulis, “Fusus al-Hikam” dan buku-bukunya yang lain. Walaupun ia tidak mengerti, sekarang mereka malah “menjelaskan” apa yang sebenarnya tidak mereka pahami. Apa yang akan kalian pahami dari yang mereka katakan? Derajat pengetahuan yang tinggi dalam Sufisme tidak bisa dibuka begitu saja, walaupun kalian berpikir telah melihatnya. Jika kalian mempunyai televisi, kalian dapat melihat sesuatu tetapi tidak bisa merasakannya. Di dalam Sufisme, jika kalian tidak bisa merasakan dan mengalami sendiri kejadian itu, kalian tidak bisa meraih tingkatan di mana ilmu itu dideskripsikan.
Sufisme adalah “dzawq,” rasa. Kalian mempunyai beragam makanan. Orang-orang mengambil makanan terbaik dan mereka mencoba untuk merasakannya dari sini [menunjuk ke mulut] sampai ke sini [menunjuk pangkal atas kerongkongan]. Setelah kedua titik itu, semua makanan akan sama saja. Sama halnya ketika kalian menonton televisi, seolah-olah itu berlangsung “dari sini ke sini.” Kalian tidak mengecap atau merasakan sesuatu. Jika kalian tidak bisa merasakannya, itu bukan Sufisme, tetapi pantulan cermin dari Sufisme atau sebuah imaji. Dan semua “Syekh” ini—sesungguhnya mereka tidak bisa dipanggil dengan panggilan itu—karena seorang Syekh derajatnya tinggi—semua orang ini yang menerangkan Sufisme tidak merasakan atau mengecap. Padahal kedua hal itu hal yang paling penting dalam Sufisme.
Sekarang kalian akan mengatakan, “Kau juga berbicara seperti mereka. Mengapa engkau tidak mengecap dan merasakan?” Saya akan mengatakan kepada kalian bahwa belum ada izin untuk membawa kalian dan membuat kalian untuk mengecap dan merasakan. Ini akan terjadi pada masa Imam Mahdi (a). Kalau tidak, dunia ini tidak bisa menampung kalian lagi. Jika kalian memberi anak kecil sebuah permen, ia akan menukarkan berlian untuk permen itu sehingga ia akan kehilangan berlian itu. Jika kalian diberikan ilmu semacam itu, kalian akan menyia-nyiakannya bila tidak ada dukungan dari Imam Mahdi (a) yang akan segera datang. Dukungan itu sangat dibutuhkan. Tanpa dukungan itu, kalian tidak akan mempunyai pintu yang dibukakan bagi kalian untuk mencicipi dan merasakan.
Seorang pemimpin Sufi harus memiliki `Ilmu‘l-Yaqīn, `Aynu‘l-Yaqīn, Haqqu‘l-Yaqīn. Pertama adalah `Ilmu‘l-Yaqīn yaitu perlunya mengetahui bahwa ada ilmu seperti itu dan untuk mendengar tentang hal itu. Ketika kalian mendengarnya, kalian masuk ke tingkat kedua, tetapi pertama kalian harus mendengarnya. Oleh sebab itu, Allah di dalam al-Qur’an, dan juga semua guru Sufi dari Jalaluddin Rumi (q), Ibnu al-`Arabi (q), Hallaj (q), dan Abu Yazid al-Bisthami (q) menyebutkan bahwa mendengar adalah hal yang pertama. Ilmu tidak datang dengan melihat terlebih dahulu tetapi dengan mendengar melalui seorang guru, bahkan bagi seorang tuna netra. Di lain pihak orang yang tuli, tidak bisa memulai untuk mendapatkan ilmu. Ketika malaikat Jibril (a) mendatangi Nabi (s), hal pertama yang dikatakannya adalah “Iqra”, “bacalah”, dan Nabi (s) mendengarnya. Itulah sebabnya Sufisme memberi perintah yang dipenuhi dengan mendengar bukan dengan melihat.
Tingkat pertama ini tidak diraih dengan mendengar saja namun tidak menjaganya, tetapi dengan mendengar, menerima, dan memenuhi atau menjalankannya dengan suatu tindakan! Jika Syekh kalian mengatakan, “Pergilah ke gunung dan tinggal di sana sampai aku datang!” selama Syekh belum datang, kalian akan tinggal di sana selama bertahun-tahun, sampai ia muncul; jika kalian tidak melakukannya, berarti kalian masih anak-anak dalam ilmu Sufi. Dalam Tarekat Naqsybandi kalian harus patuh, dan kepatuhan muncul melalui pendengaran, jika kalian melakukannya, barulah kalian menuju ke tingkat kedua.
Suatu ketika, Grand-Grandsyekh Syekh Syarafuddin (q) berbicara di dalam pertemuan guru-guru besar, di mana pada saat itu Grandsyekh (`Abdullah) sedang dalam perjalanan ke sana—ketika itu ia masih muda—karena mereka bertemu di tempat terpencil di luar kota. “Anakku `Abdullah (q) telah mencapai suatu tingkat di mana orang belum pernah mencapainya—aku pun tidak, begitu pula dengan seluruh guru dalam Silsilah Keemasan. Ia baru berusia 18 tahun sedangkan aku 60, tetapi ia telah mencapai tingkatan yang lebih tinggi dariku dan guru-guru lainnya yang telah wafat di dalam Silsilah Keemasan. Jika aku mengirimkan seorang anak berusia 7 tahun untuk berkata kepadanya, ‘Syekhmu menyuruhmu untuk segera pergi haji ke Mekah,’ dari Daghestan, kota di tengah wilayah Rusia, ia akan segera memikirkannya, tanpa datang kepadaku untuk meminta konfirmasi apakah ini benar atau tidak, “Siapa yang membuat anak itu berbicara? Syekhku sudah mengetahui sebelum aku mengetahuinya. Kalau tidak, bagaimana aku menerimanya sebagai Syekhku tetapi masih mengganggap beliau tidak mengetahui segalanya? Jika Syekhku tidak mengetahuinya, lalu siapa yang mengetahuinya?” Ia segera mempercayai anak itu, dan tanpa pulang ke rumahnya untuk memberitahu ibu atau istrinya bahwa ia akan pergi haji, tanpa membawa pakaian, uang atau makanan, ia akan langsung menuju ke Mekah yang berjarak 10.000 mil, berjalan tanpa bertanya apa-apa. Ia tahu bahwa perintah itu berasal dariku dan dengan mudah ia akan mengubah arah langkahnya.”
Ini adalah “Wahdatu ‘l-af`al,” Penyatuan segala tindakan atau perbuatan atau ucapan—kalian harus melihat segala sesuatu berasal dari Allah. Ini adalah tingkat yang lebih tinggi dalam ilmu Sufi. Kalian tidak bisa lagi melihat bahwa orang melakukan suatu perbuatan, tetapi kalian harus menganggap mereka sebagai suatu instrumen di tangan Tuhan. Tinggalkan anak-anak—jika Syekh Nazim (q) mendatangi kalian dan berkata, “Pergilah ke Mekah.” Kalian akan berkata, “Baiklah Syekh, aku akan membeli tiket, aku akan lihat apakah istriku mengizinkanku untuk pergi…” Dalam Tarekat Naqsybandi kalian tidak boleh melakukan semua ini. Kalian harus segera pergi.
Tingkat kedua adalah `Aynu‘l-Yaqīn, penglihatan yang benar. Pada saat itu kalian akan melihat segala hal di sekitar kalian, tetapi tanpa perasaan. Itu akan seperti layar yang diangkat hanya pada tingkat ketiga, Haqqu‘l-Yaqīn, hakikat dari kebenaran— kalian berada di sana dan mengalami kejadian itu. Jika Grandsyekh mengatakan apa yang tadi kita katakan mengenai Nabi (s), bagaimana beliau (s) diambil dan bagaimana kalbunya dibersihkan, ketika mendengar hal ini, kalian akan mengalami kejadian itu, seolah-olah kalian hidup dan merasakan semuanya pada saat itu. Jika Mawlana Syekh Nazim (q) berbicara mengenai kejadian yang berlangsung 500 tahun yang lalu misalnya, kalian akan hidup seolah-olah kalian hidup di masa itu, kalian mendengar, melihat dan merasakan apa yang mereka dengar, lihat, dan rasakan, seolah-olah kalian adalah salah satu dari mereka.
Ini adalah cita rasa Sufi dan ilmu dari Tarekat Naqsybandi yang menghubungkan para salik kepada Silsilah Keemasan. Ini tidak bisa dibuka sampai masa Imam Mahdi (a), kecuali, untuk beberapa pengikut tertentu, Mawlana Syekh Nazim (q) membukakannya dengan seizin Nabi (s). Itu bukanlah hal yang umum bagi semua orang. Yang lain harus menunggu dukungan dari kekuatan Imam Mahdi (a) untuk memasuki tingkatan itu, kalau tidak orang akan dikutuk keras karena membicarakan apa yang mereka lihat.
Dalam Tarekat Naqsybandi, Syekh tidak akan menjadikan kalian berbeda dengan orang lain dan ini adalah jalan yang sempurna, kalian melihat Syekh yang memiliki semua kekuatan ini, merasakan segala sesuatu dan mengalami semua peristiwa, dan melukiskannya, namun demikian beliau tetap berperilaku sebagai orang yang biasa. Syekh tidak akan membukakan ilmu bagi kalian jika kalian belum siap dan jika beliau melihat bahwa kalian akan memperlihatkan apa yang diberikannya pada kalian kepada masyarakat umum. Itulah sebabnya mengapa belum ada izin agar pintu itu dibuka.
Wa mina-llāhit-tawfīq bi hurmatì‘l-Fātihah.
http://www.naqshbandi.org/teachings/suhbats/the-naqshbandi-golden-chain/