Antara Penghormatan Dan Penyembahan

10299937_10152136605820886_2160699636362780106_n

 

SERI MUTIARA HIKMAH

Bagian 1

Antara Penghormatan Dan Penyembahan

Kumpulan tulisan bersumber dari ajaran-ajaran Mawlana Syekh Muhammad Hisyam Qabbani qs dan Syekh Gabriel Fouad Hadad

dirangkum oleh Muhammad Dedy Wicaksono

 

A’uudzu billahi minasy syaithanirrajiim

Bismillahirrahmanirrahiim

Walhamdulillah wassholatu wassalamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala aalihi wasahbihi wa man tabi’ahu bi-ihsanin ilaa yaumiddin

 

Pengenalan

Dewasa ini, di kalangan umat Islam urban, khususnya yang tidak dibesarkan dalam tradisi ulama-santri, penghormatan terhadap persona ulama’ atau Awliya’ Allah semakin berkurang.  Islam dan pengetahuan yang terkandung di dalamnya hanya dipandang sebagai sesuatu yang tekstual yang dapat dipelajari dengan cara membaca begitu saja di buku-buku ataupun sumber-sumber online.  Padahal sejak 1400 tahun yang lampau, tradisi keilmuan Islam amat mementingkan interaksi langsung antara sang guru, sang ulama dengan murid-muridnya.  Dalam interaksi inilah, tersampaikan tidak hanya apa-apa yang tersurat, melainkan juga yang tersirat.

Diriwayatkan bagaimana Imam Malik rahimahullah ketika meriwayatkan suatu hadits Nabi shall-Allahu ‘alayhi wasallam pada murid-muridnya, begitu berhati-hati beliau, dan tak jarang hingga menangis, karena kerinduan mendalam pada persona shallAllahu ‘alayhi wasallam yang beliau sampaikan perkataan atau perbuatannya. Jelas adab beliau seperti ini jarang turut termaktub dalam kitab-kitab beliau, kecuali kalau kita berguru pada mereka-mereka yang memang memiliki jalur keilmuan hingga beliau, yang mewarisi tidak hanya ilmu beliau, tetapi juga adab beliau.

Keterasingan umat Islam saat ini akan adab-adab seperti ini, salah satunya adalah karena derasnya arus reformasi menyesatkan dari salah satu aliran Islam yang muncul beberapa ratus tahun lalu di Najd [daerah timur semenanjung Arabia].  Aliran Islam ini, akhir-akhir ini dengan berbagai bentuknya, dengan dukungan pendanaan dan organisasi yang hebat semakin deras mencuci otak sekalangan umat Islam hatta mereka yang tadinya dibesarkan dalam tradisi Ahlussunnah al Jama’ah.  Akibatnya, tradisi luhur Ahlussunnah wal Jama’ah berupa adab penghormatan terhadap Awliya’ dan Ulama’ serta barang maupun anggota badan mereka, yaitu praktik “Tabarruk”, dianggap sebagai suatu perbuatan syirik oleh mereka, suatu dosa besar yang tak diampuni.

Benarkah tuduhan mereka seperti itu?  Apa sebenarnya hakikat syirik, dan apa pula hakikat beradab serta bertabarruk?  Samakah antara keduanya sehingga mereka yang menjalankan praktik tabarruk serta merta dapat dihukumi syirik?

Jadi, apakah syirik itu?  Sebagai muslim dan mukmin, insya Allah, kita telah memahami, bahwa salah satu makna kalimat tauhid, Laa ilaha IllaLlah, adalah “laa ma’buuda illaLlah“, tidak ada yang patut disembah kecuali Allah.  Juga tidak ada yang patut dijadikan tujuan kecuali Allah [“Laa Maqshuuda illaLlah“].  Sedangkan syirik, sebagai kebalikan dari Tauhid, adalah menjadikan sesuatu selain Allah, yaitu makhluk ciptaan Allah, sebagai sesuatu yang disembah pula di sisi Allah. Na’udzu billah min dzalik.  Subhanallah. Maha Suci Allah yang tidak memerlukan seorang penolong pun di sisi-Nya, dan tak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya.

Berangkat dari makna tauhid dan syirik mendasar tersebut, agak naif, jika kemudian penghormatan pada hamba-hamba Allah yang saleh, ditafsirkan sebagai suatu perbuatan syirik.

 

Antara Penghormatan dan Penyembahan

Hormat terhadap Ulama dan Awliya Allah, perlulah kita bedakan antara “penghormatan” dengan “penyembahan atau pengabdian”, antara “respect

dengan “worship“, atau dalam bahasa Jepang, antara “sonkei” dengan “suuhai“.  Seluruh Muslim tahu bahwa Atribut ketuhanan atau “Lordship” atau “Uluhiyyah” hanyalah milik Allah ‘Azza wa Jalla.  Tetapi kita dapat dan bahkan diwajibkan

dalam Islam untuk memberi penghormatan pada sesama makhluk Allah dalam

level yang berbeda-beda, sesuai dengan sebab yang ditentukan oleh Allah (swt).

Untuk memperjelasnya insya Allah, akan kita beberkan beberapa dalil nash sahih di bawah.  Namun sebelumnya, izinkan saya memberikan sedikit ilustrasi.

Ketika, misalnya, saya diundang oleh tiga orang berbeda.  Sebut saja misalnya:

1)     Adik angkatan saya (“Kouhai”) si Fulan,

2)    Pak Abdullah yang relatif sebaya (kolega) saya, dan

3)    Prof. X, yang adalah supervisor saya.

Jelas, dalam memenuhi undangan mereka masing-masing, tidak dapat saya perlakukan secara sama.  Kepada si Fulan, yang notabene adalah kouhai (junior) saya, mungkin saya cukup memenuhi adab (etika) standar, misalnya berpakaian menutup aurat, datang tepat waktu, sekalipun “giri-giri” [nyaris terlambat], atau malah boleh terlambat, asalkan saya menelponnya lebih dahulu.

Terhadap Pak Abdullah, yang relatif sepantar dan sebaya, saya harus tingkatkan adab saya.  Selain, adab standar, saya harus berusaha tepat waktu, menjaga perasaan beliau agar tidak tersinggung, dan lain-lain.

Kemudian untuk memenuhi undangan Prof. X (misalnya ketika saya baru kenal dengan beliau), saya lebih mesti berhati-hati.  Saya mesti menyiapkan jas, atau memaakai dasi kalau perlu.  Persiapkan apa yang mesti dibicarakan.  Datang lebih awal.  Lebih baik kita yang menunggu daripada ditunggu, dan lain-lain.  Apalagi, kalau yang mengundang adalah Perdana Menteri Jepang misalnya.  Wah, tentu harus lebih awal dan penuh kehati-hatian dalam persiapannya.

Demikian pula perlakuan yang mesti kita berikan pada orang tua kandung kita, guru, dengan orang yang lebih tua yang baru kita temui di jalan.  Jelas masing-masing ada perbedaan adab.  Terhadap orang tua kita cium tangannya, jangan membantah, dll. Terhadap guru kita taati nasihatnya dan berlaku sopan (bahkan hormat terhadap guru yang kafir pun adalah ajaran Islam).  Adapun terhadap orang yang lebih tua yang biasa, kita bisa memakai adab hormat yang standar.

Demikian sekedar ilustrasi.

 

Adab Hormat Terhadap Ulama Dan Awliya: Tinjauan Naql

Adapun adab hormat terhadap Ulama atau Awliya Allah ini yang perlu diingatkan kembali.  Sebetulnya dengan membaca ilustrasi dan contoh di atas, adalah wajar jika kita menaruh hormat pada para ‘ulama atau awliya Allah ini mengingat kedudukan mereka yang tinggi di sisi Allah.  Berikut saya kemukakan beberapa dalil:

Dalam suatu hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya (5:323), dan juga oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (1:122), dan ia menyatakannya shahih, dan ini disetujui oleh Imam Al-Dhahabi, Nabi (s) bersabda:

Man lam yuwaqqir kabirana wa lam yarham saghirana fa laysa minna.”

Barangsiapa tidak menaruh hormat pada orang yang lebih tua di antara kami atau tidak mengasihi yang lebih muda, tidaklah termasuk golongan kami.”

Ini yang disebut “tawqir an-Naas, menghormati manusia lain, dan mesti disesuaikan dengan status manusia tersebut.

Dalam hadits lain disebutkan:

Anzilu al-nasa manazilahum”

Berikan pada manusia sesuai dengan status/kedudukan mereka”

Diriwayatkan oleh Muslim dalam bab Introduksi di kitab Shahihnya, tanpa sanad, Sakhawi mengatakan dalam al-Jawahir ad-Durar bahwa hadits ini hasan, dan al-Hakim dalam kitab Ma’rifat ulum al-Hadits mengatakan bahwa hadits ini shahih dan diriwayatkan oleh Ibn Khuzayma.

Jelas tidak mungkin menyamakan semua orang, termasuk dalam penghormatannya. Penyamaan penghormatan akan mirip dengan paham Komunisme.  Islam tidak mengajarkan demikian.  Karena itu adalah wajar, jika misalnya, saya datang lebih awal, agar dapat membersihkan tempat salat misalnya karena khatib salat Jumat yang akan datang lain dari biasanya, atau datang lebih awal agar dpt lebih khusyu’ mendengar khotbah dari sang khatib yang lain dari biasa.

Allah juga memerintahkan:

wa la tansaw al-fadla baynakum [2:237]

Jangan kau lupakan kelebihan/kehormatan di antara kamu”

Dan inna akramakum `indallahi atqakum”[49:13]

Yang paling mulia di sisimu adalah yang paling taqwa di antaramu.”

Jelas, kalau kita lihat ada seseorang yang mesti kita hormati karena taqwanya, maka  kita mesti menghormati dia.

 

Dalam suatu hadits Nabi (s) lain:

Al-Ulama-u waratsatul Anbiya”

Ulama adalah pewaris Nabi

Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya sebagai mu’allaq, dan juga oleh Ahmad (5:196), diriwayatkan pula oleh Tirmidhi, Darimi, Abu Dawud, Ibn Hibban, Ibn Majah, Bayhaqi dalam Shu’abul Iman, dan juga oleh lainnya.

Sudah sepantasnya kita menghormati mereka dengan penghormatan setinggi-tingginya (yang tidak sampai pada level “worship“! “penyembahan”).

 

Penutup Bagian Pertama

Demikian pada bagian pertama telah kita ulas sebagian dalil pentingnya beradab menghormati para Ulama’ dan Awliya’.  Insya Allah, pada bagian berikutnya, kita akan melihat beberapa praktik penghormatan dan kecintaan pada para Ulama’ dan Awliya’ yang lazim dikenal sebagai tabarruk, yang secara literal bermakna mencari barakah.

 

Wallahu A’lam bissawab

Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.

Muhammad Dedy Wicaksono

 

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s